Kota Bogor Bertransformasi Jadi Kota Toleran
Pada 2017, Kota Bogor di posisi ke-92 kota toleran, yang berarti termasuk intoleran. Kini, Kota Bogor melesat di peringkat ke-17 kota toleran berkat berbagai upaya menyelesaikan masalah GKI Yasmin atau GKI Bogor Barat.
Kota Bogor di Jawa Barat pernah disebut dan dinilai sebagai kota intoleran. Penilaian itu tak lepas dari polemik berkepanjangan terkait pembangunan Gereja Kristen Indonesia Yasmin selama 15 tahun. Namun, seiring berjalannya waktu, Kota Bogor benar ingin mewujudkan kota toleran sesuai prinsip ”Tepas Salapan Lawang Dasakerta”.
”Tepas Salapan Lawang Dasakerta”atau Teras Sembilan Pintu Desakerta, di Bundaran Tugu Kujang, Kota Bogor, itu mengingatkan setiap orang tentang dialog kedamaian, persahabatan, keindahan, kesatuan, kesantunan, ketertiban, kenyamanan, keramahan, dan keselamatan.
Pemerintah Kota Bogor perlahanan berusaha mengikis penilaian kota intoleran dengan upaya menyelesaikan masalah GKI Yasmin. Setelah berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk Tim 7, pada Juli 2021 Pemkot Bogor menghibahkan aset lahan seluas 1.668 meter persegi dan mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB) pada Agustus 2021 untuk mendirikan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Bogor Barat. Itu menjadi langkah panjang yang telah ditempuh dalam peyelesaian rumah ibadah yang dulu disebut GKI Yasmin.
Baca Juga: GKI Bogor Barat Diresmikan Setelah Penantian 15 Tahun
Pada Minggu (9/4/2023), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian serta Wali Kota Bogor Bima Arya meresmikan GKI Bogor Barat. Peresmian yang bertepatan dengan peringatan Paskah itu sebagai kado semangat kebangkitan serta harapan untuk meraih kemenangan bersama.
Upaya penyelesaian polemik GKI Yasmin itu mendongkrak nilai indeks kota toleran (IKT) 2022. Berdasarkan indeks Setara Institute, kini Kota Bogor menduduki peringkat ke-17. Indeks ini naik dari tahun 2021 yang ada di peringkat ke-33. Adapun pada indeks 2020, Kota Hujan itu berada di peringkat ke-67.
Meningkatnya indeks itu diukur dalam beberapa variabel, seperti tindakan pemerintah dan variabel kota dengan jumlah penduduk di atas satu juta jiwa, sehingga dianggap punya kompleksitas tinggi. Dari dua variabel itu, Kota Bogor berada di peringkat ke-4.
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang indeks toleransinya naik secara signifikan secara nasional. Tindakan pemerintah melalui kepemimpinan Bima Arya meyumbang skor terbesar bagi pencapaian Kota Bogor pada IKT 2022.
Berbagai program pemerintah kota untuk mendorong toleransi melalui program budaya, penciptaan ruang bersama, dan perhatian khusus kepada minoritas menjadi kunci meningkatnya IKT Kota Bogor.
Peneliti Setara Institute, Iif Fikriyati Ihsani, mengatakan, kepemimpinan dan kinerja Pemkot Bogor mampu menyelesaikan persoalan kebebasan beragama yang selama ini cukup berlarut karena terjadi pro dan kontra serta miskomunikasi.
”Wali Kota Bima Arya bergerak menyelesaikan itu dan berhasil. Duduk bersama berkomunikasi untuk saling menerima dan mencari penyelesaiannya. Gereja Yasmin ini menjadi penilaian karena di situ dilihat upaya tindakan pemerintah,” ujar Iif, Selasa (11/4/2023).
Kota-kota yang masuk dalam 10 besar atau yang tidak pernah keluar dari kota intoleran, seperti Cilegon, Depok, dan Padang, dikarenakan kerap terjadi favoritisme kepada kelompok tertentu dan adanya pengabaian apabila terjadi masalah sosial, khususnya kepada kelompok minoritas. Pemerintah bukannya mengajak berkomunikasi, melainkan justru menyarankan agar kelompok rentan atau minoritas mengalah atau memaklumi.
Langkah pemerintah seperti itu dinilai sebagai tindakan meredam amarah dan melindungi warga minoritas. Padahal, langkah itu sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Ruang dialog dan interaksi antarwarga justru ditutup.
”Gambaran kota-kota di 10 besar intoleran itu sempat dialami oleh Kota Bogor, seperti dalam kasus GKI Yasmin yang tidak terselesaikan,” kata Iif.
Selain tindakan penyelesaian GKI Yasmin hingga kepastian umat beragama beribadah, Pemkot Bogor bersama warga lintas agama dan suku juga membangun kemajemukan dan kebinekaan dengan menghadirkan hajatan atau festival kebudayaan.
Semua orang dari latar belakang hadir menyaksikan dan menikmati sajian budaya itu. Hal ini dibangun untuk meredam polarisasi agama.
”Yang menjadi identitas seseorang itu bukan agamanya, melainkan bahwa ia adalah Indonesia. Perayaan kebudayaan seperti ini perlu dihadirkan di kota-kota lainnya untuk membangun interaksi dan relasi manusianya. Membangun manusia sama pentingnya dengan pembangunan fisik,” tutur Iif.
Oleh karena itu, kata Iif, penting bagi pemerintah daerah untuk memasukkan pembangunan manusia, terutama dalam hal agenda kerukunan, kebangsaan, atau pemberdayaan masyarakat ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Dari RPJMD akan terlihat visi dan misi pemimpin dalam membangun daerahnya. Sayangnya, hampir 70 persen kota-kota di Indonesia belum memasukkan agenda pembangunan manusia itu ke dalam RPJMD.
Pada top 10 kota toleran, pemerintah daerahnya serius dalam narasi pembangunan manusia. Hal itu terlihat dari RPJMD hingga ke praktik-praktik di lapangan. Seperti Kota Bogor, meski secara peringkat belum masuk 10 kota toleran, mampu melesat ke arah positif dari tahun ke tahun menuju kota yang semakin toleran.
Indeks ini menjelaskan bahwa merawat toleransi bukanlah hal mudah, terutama bagi kota-kota yang masuk kategori kota urban dengan kompleksitas sosial yang tinggi, seperti Kota Bogor.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengungkapkan, peringkat ke-17 merupakan capaian besar mengingat Kota Bogor pernah berada di tingkat terendah kota intoleran. Pada 2017, dari 94 kota, kota Bogor berada di posisi ke-92. Lalu, pada 2018 naik sedikit di posisi ke-88. Sejak itu, Pemkot Bogor berkomitmen terus berbenah dan menjalin kolaborasi hingga saat ini.
Berbagai festival kebudayaan hingga penyelesaian GKI Yasmin menjadi langkah penting mewujudkan toleransi dan menjaga warga Kota Bogor agar tetap guyup.
”Indeks ini menjelaskan bahwa merawat toleransi bukanlah hal mudah, terutama bagi kota-kota yang masuk kategori kota urban dengan kompleksitas sosial yang tinggi, seperti Kota Bogor,” kata Bima.
Peresmian GKI Pengadilan Bogor Barat bagi Bima memberikan rasa penyesalan sekaligus bahagia. Rasa penyesalan itu karena tidak mampu menyelesaikan konflik dengan cepat sesuai mimpi anggota jemaat. Bima pun meminta maaf atas 15 tahun yang harus dilalui dan dihadapi umat.
Namun, setelah 15 tahun itu, ada rasa bahagia untuk umat dan semua pihak yang terlibat dalam diskusi kerukunan sehingga bangunan rumah ibadah bisa digunakan. Gereja itu menjadi sumber hikmah bahwa keberagaman dan toleransi tidak akan bisa tumbuh hanya dengan retorika dan narasi semata.
Tak hanya sumber hikmah, menurut Bima, Gereja GKI Bogor Barat menjadi monumen spesial karena tidak sekadar tempat ibadah, tetapi juga pengingat abadi tentang kebersamaan akan tercipta ketika semua menerima dan memahami perbedaan, serta merawat keberagaman dalam keberagaman.
Baca Juga: Tonggak Baru Penyelesaian Izin Pembangunan GKI Yasmin
Orkestrasi toleransi dan keberagaman bisa terwujud dengan kebesaran hati dan kekuatan nyali oleh semua pihak. Orkestrasi tercipta karena kunci dialog yang mengedepankan dasar kesetaraan dan keterbukaan sehingga membawa kepercayaan dan berujung pada kesepakatan.
”Almarhum Gus Dur pernah mengatakan menerima perbedaan bukan satu kelemahan, tetapi awal dari satu kekuatan. Cerita perjalanan panjang bisa menambahkan keyakinan bagi para pemimpin untuk terus memuliakan manusia dan menjadikan kota di Indonesia sebagai kota untuk semua,” kata Bima.
Setelah 15 tahun polemik, kini Kota Bogor terus berkomitmen untuk bertransformasi menjadi kota toleran. Kota bogor membangun kekuatan menerima perbedaan untuk mewujudkan semangat Tepas Salapan Lawang Desakerta.