Saat ”Wong Cilik” Berburu Rezeki di Ibu Kota
Menjelang hari raya seperti saat ini, sebagian warga, terutama umat Islam, akan lebih rutin berbagi rezeki kepada sesama. Hal ini menjadi penarik bagi kaum miskin untuk berburu rezeki, seperti yang terlihat di Jakarta.
Sepekan pertama di bulan puasa tahun ini menandai hampir sebulan Wardoyo (61) berada di Ibu Kota. Pria asal Pekalongan, Jawa Tengah, ini berani mengadu nasib ke Jakarta demi mendapatkan rezeki, setelah merasa frustrasi dengan penghasilan sebagai buruh tani di kampung halaman. Dengan modal seadanya, ia berharap keberkahan bulan Ramadhan bisa memberinya rezeki selama di Ibu kota.
”Daripada di kampung tidak ada kerjaan, berharap saja bisa dapat rezeki lebih di sini, apalagi sekarang bulan puasa,” kata Wardoyo.
Wardoyo terbilang cukup nekat datang ke Ibu kota dengan uang tabungan seadanya. Ia rela merogoh kocek hingga Rp 120.000 untuk tarif bus dari Pekalongan ke Jakarta.
Dengan keahlian minim, Wardoyo memulai petualangan di Ibu kota dari tempat pemberhentian bus saat itu, di kawasan Pasar Tanah Abang. Tidak ada pilihan lain, bekerja sebagai pemulung menjadi opsi tunggal saat itu dengan bermodal sebuah karung goni pemberian rekan pemulung lainnya. Karung itu pun turut menjadi teman tidurnya setiap malam.
Baca Juga: Satpol PP DKI Jakarta Antisipasi Serbuan Penyandang Masalah Sosial Saat Ramadhan
”Kalau tidur, di mana saja bisa, entah di emperan atau posko-posko. Dengan karung saja, yang penting ndak basah,” ujarnya.
Setelah beberapa hari memulung, Wardoyo menyisihkan pendapatannya untuk membeli gerobak kepada rekan pemulung lainnya. Dengan tambahan sisa tabungan yang dibawa dari kampung, ia kembali merogoh koceknya hingga Rp 300.000 untuk mendapatkan gerobak berdiameter sekitar 40 x 140 sentimeter.
Kini, dengan gerobak sederhana tersebut, Wardoyo punya kendaraan sekaligus rumah tinggal sementara. Gerobak ini juga sekaligus yang membuatnya terhindar dari basah saat hujan mengguyur Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Di sisi lain, hujan deras sore itu membuat Wardoyo hanya bisa terdiam dalam gerobaknya. Dengan berkurangnya jam kerja, berarti pemasukannya juga akan turut berkurang.
Beruntunglah selama Ramadhan ini, ekonomi Wardoyo sedikit terbantu. Ia kerap mendapatkan santunan dari sejumlah orang ketika dirinya sedang berada di jalan raya, baik itu dalam bentuk uang tunai, bahan pokok, maupun makanan. Santunan ini sekaligus menjaga pemasukan Wardoyo tetap terjaga.
”Alhamdulillah, semoga uangnya bisa terkumpul banyak. Kalau mencukupi, semoga bisa dipake buat usaha di kampung,” ujarnya.
Baca Juga: ”Manusia Gerobak” di Jakarta Enggan Pindah ke Panti Sosial
Momen Ramadhan kerap memunculkan fenomena pergerakan musiman para pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) seperti Wardoyo di Jakarta. PPKS musiman itu di antaranya pengemis, pengamen, dan pemulung.
Razima (34), warga asal Jangga, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, merupakan bagian dari PPKS tersebut. Ia baru dua minggu berada di Jakarta karena mengikuti ajakan rekan-rekannya tanpa mengetahui pekerjaan yang akan dilakoni nanti.
Sedikit lebih beruntung dibandingkan dengan Wardoyo, Razima masih punya kerabat di Jakarta. Dengan demikian, dia masih punya tempat untuk tinggal sementara.
Di Jakarta, akhirnya ia memilih bekerja menjadi pengamen. Dengan bermodal pengeras suara sewaan untuk menyetel musik, dia memilih beroperasi di sekitar kawasan Tanah Abang hingga beberapa pusat perbelanjaan di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.
”Dapatnya lumayan. Kalau untuk makan, biasanya sore ada yang suka ngasih,” ujarnya.
Baca Juga: Penyandang Disabilitas Mental di Panti Sosial Terlupakan
Razima berencana, jika uang penghasilannya tetap tinggi, ia akan kembali ke Indramayu seusai Idul Fitri pada April nanti. Akan tetapi, ia tidak menutup kemungkinan untuk menetap dan bekerja di Jakarta.
”Kalau di sini bisa terus lancar, menetap di sini saja. Toh, di kampung juga pekerjaan tidak menentu,” kata Razima.
Jebakan kemiskinan
Sering kali godaan rezeki sesaat ini membuat sejumlah PPKS terus nyaman berada di Ibu kota. Di sisi lain, tidak sedikit dari mereka malah terjebak dalam lingkaran kemiskinan di Jakarta.
Empat tahun lalu, tepatnya beberapa hari sebelum puasa tahun 2019, Madi (49) bersama beberapa rekan tukang becak di Pacitan, Jawa Tengah, memutuskan datang ke Jakarta. Merasa semakin kehilangan harapan hidup lebih baik dengan bekerja sebagai tukang becak, Madi berhasrat bisa mengais banyak rezeki saat bulan penuh berkah di Ibu kota.
Saat itu, tanpa ada banyak keahlian, Madi memutuskan menjadi cosplay badut di sejumlah titik keramaian di Jakarta. Selama bekerja tersebut, ia mengaku mendapatkan hasil yang lumayan. Madi banyak mendapat santunan dari kemurahan kaum ekonomi kelas atas Ibu Kota.
Dengan hasil yang cukup melimpah selama Ramadhan, Madi bisa menyisihkan pendapatannya untuk dikirimkan kepada keluarganya di Pacitan. Dari sana, ia mulai tergoda dengan kemudahan mengais pundi-pundi rezeki di Ibu Kota. Ia lantas memboyong istri dan dua anaknya.
Baca Juga: Walaupun Tak Nyaman, Jalanan Tetap Dipilih Gelandangan Ketimbang Panti Sosial
Dalam situasi seperti ini, pekerjaan apa pun dilakukan selagi bisa menghasilkan uang.
Seusai bekerja menjadi manusia cosplay tersebut, Madi mulai beralih menjadi pedagang asongan. Namun, usaha tersebut ternyata tidak membuat kehidupannya lebih baik.
Pandemi Covid-19 pada awal 2020 kian membuat usahanya sepi pembeli. Dalam situasi kebingungan, dengan tidak ada dana untuk balik ke kampung halaman, Madi memutuskan tetap di Jakarta. Dari pedagang asongan, ia kemudian harus terperangkap menjalani pekerjaan sebagai pemulung sampah plastik.
”Dalam situasi seperti ini, pekerjaan apa pun dilakukan selagi bisa menghasilkan uang,” ujar Madi.
Madi biasanya memulung sejak pukul 05.00-19.00. Hari itu, hingga pukul 19.00, karung miliknya belum juga terisi penuh. Perkiraannya, dalam karung tersebut hanya berisi sekitar 5 kilogram. Dengan per kilogram bernilai Rp 5.000, berarti Madi kemungkinan hanya akan membawa pulang uang sebanyak Rp 25.000.
Biasanya dalam sehari Madi hanya bisa mengumpulkan Rp 30.000-60.000. Tambahan pemasukan dari istrinya yang bekerja sebagai tukang cuci serabutan hanya cukup membantu uang makan sehari-hari mereka.
”Sekarang, untuk balik ke kampung halaman saja, uangnya tidak cukup. Kalau pulang juga, mau kerja apa di sana? Bekerja seperti ini saja, selagi masih halal,” tuturnya.
Baca Juga: Panti Sosial Belum Membuat Nyaman Gelandangan
Ancaman razia
Sejatinya, Wardoyo, Madi, Razima, serta PPKS lain harus bekerja dengan perasaan waswas. Ancaman razia petugas dari pemerintah daerah setempat selalu mengintai mereka setiap hari.
Sebelum dan selama bulan Ramadhan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta gencar melakukan razia memberantas kemunculan PPKS baru. Dalam kurun 1 Februari 2023-15 Maret 2023, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Satpol PP DKI Jakarta mencatat, sebanyak 1.504 PPKS diamankan. Dari angka tersebut, sebanyak 657 orang merupakan warga dengan KTP luar Jakarta.
Warga dengan KTP Jawa Barat menjadi penyumbang terbesar, yakni sebanyak 215 orang, diikuti Jawa Tengah (138), serta Banten (74). Adapun sisanya merupakan warga dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua serta tidak beridentitas.
”PPKS yang dirazia akan dibawa ke panti sosial. Di sana akan didata dan disaring. Warga KTP DKI dibina di sejumlah panti, sementara warga luar Jakarta akan dipulangkan ke daerahnya,” ujar Kepala Satpol PP DKI Jakarta Arifin.
Adapun sejak 23-27 Maret 2023, Satpol PP DKI Jakarta merazia sebanyak 103 PPKS. Dari angka tersebut, sebanyak 24 orang merupakan pengemis, 20 pengamen, serta 13 pemulung. Sisanya merupakan manusia gerobak, cosplay boneka/badut, dan manusia silver.
Arifin mengimbau masyarakat untuk tidak memberi uang kepada PPKS. Hal tersebut bisa memotivasi warga lain untuk melakoni pekerjaan serupa guna mendapatkan uang secara instan. Hal Ini juga untuk menekan angka urbanisasi yang kerap terjadi saat momen Ramadhan dan Idul Fitri.
Apalagi, menurut Arifin, Aturannya cukup jelas tercantum dalam Pasal 40 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Dalam ayat ketiga dinyatakan, setiap orang atau badan dilarang membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
”Kami akan terus melakukan operasi (penertiban PPKS) selama Ramadhan, bahkan setelah Lebaran. Kami juga berharap kerja sama dari masyarakat untuk tidak memberi sehingga angka ini bisa kami tekan,” ujarnya.
Ini fenomena yang selalu berulang. Pemerintah perlu mencari solusi untuk mengatasi hal ini. Apalagi, kalau secara kasatmata, angkanya selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Tak terhindarkan
Dihubungi terpisah, sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, mengungkapkan, ancaman PPKS dadakan termasuk dari luar Jakarta tidak bisa dihindarkan. Ada sejumlah faktor yang memengaruhi hal tersebut.
Asep menyebutkan, faktor pertama, karena adanya masalah umum ketimpangan ekonomi antara Jabodetabek dan luar Jabodetabek. Ketimpangan membuat orang dari luar akan rela bertaruh nasib ke Ibu kota.
Faktor kedua, adanya momentum bulan Ramadhan. Saat Ramadhan, sebagian masyarakat, terutama umat Islam, akan lebih rutin berbagi rezeki kepada sesama. Hal ini membuat orang dari daerah melihatnya sebagai peluang untuk memanfaatkan kebaikan kaum ekonomi kelas atas warga Jabodetabek.
”Biasanya, uang tersebut hanya untuk investasi, baik itu usaha, memperbaiki rumah, atau bahkan membeli sawah,” katanya.
Namun, hal itu tidak selalu berhasil. Bahkan, ada yang terjebak kemiskinan di Jakarta dan tidak bisa lagi pulang ke kampung. Mereka terpaksa kerja seadanya di Ibu kota sehingga peran pemerintah untuk mengatasi masalah ini hingga ke akarnya menjadi penting.
”Ini fenomena yang selalu berulang. Pemerintah perlu mencari solusi untuk mengatasi hal ini. Apalagi, kalau secara kasatmata, angkanya selalu meningkat dari tahun ke tahun,” ujar Asep.