”Manusia Gerobak” di Jakarta Enggan Pindah ke Panti Sosial
Orang yang memilih tinggal dan bekerja sekaligus berkelana di Jakarta dengan gerobaknya alias ”manusia gerobak” enggan pindah ke panti sosial. Sebab, itu dinilai justru akan menyulitkan mereka bekerja mendapatkan uang.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga saat ini, sejumlah ”manusia gerobak” masih menetap di gerobak kayu sebab tidak memiliki hunian yang layak. Sebagian dari mereka beraktivitas di beberapa wilayah di Ibu Kota, seperti di kawasan Tanah Abang dan sepanjang Jalan Menteng, Jakarta Pusat.
Ubad (58), laki-laki asal Sukabumi, Jawa Barat, yang dulunya kuli panggul ini tidak ingin jika harus tinggal di panti sosial. Ia nyaman menggunakan gerobaknya yang ditarik ke mana-mana secara manual itu untuk bekerja sekaligus tempat tinggal. Menurut dia, tinggal di panti sosial sama saja membatasinya untuk bekerja dan memilih mendapatkan bantuan berupa sejumlah uang dari pemerintah sebagai modal usaha.
”Saya menolak kalau harus tinggal di panti sosial karena saya tidak akan bisa bekerja lagi mengumpulkan sampah plastik dan kardus. Lebih baik saya mulai usaha warung kecil-kecilan. (Itu pun) Kalau dimodali pemerintah,” katanya saat ditemui saat sedang beristirahat di trotoar pinggir jalan kawasan Pasar Jaya, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (26/10/2022).
Menurut Ubad, jika tinggal di panti sosial, dirinya tidak akan bisa mendapatkan penghasilan untuk dapat kembali ke kampung halamannya di Sukabumi. Ia pernah bekerja sebagai kuli panggul di Sukabumi sejak dirinya lulus sekolah dasar dengan penghasilan Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan kemudian beralih menjadi pemulung dengan penghasilan Rp 50.000-Rp 60.000 per hari.
”Sejak 2021, saya sudah pindah ke Jakarta seorang diri dan jadi kuli panggul juga. Tapi, sekarang jadi pemulung dan tinggal di gerobak ini,” katanya saat bersiap mendorong gerobak kayu berukuran 2 meter x 1 meter menyusuri kawasan Tanah Abang.
Suratmin (80), ”manusia gerobak” lain asal Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, yang rutin mengumpulkan sampah botol dan kardus berpendapat sama. Menurut dia, tinggal di panti sosial akan membatasi ruang gerak dan berpotensi bakal sulit keluar dari sana.
”Tidaklah, lebih baik saya tinggal di gerobak ukuran 2 meter x 1 meter ini dan berkeliling setiap hari. Sejak tahun 2000-an, saya sudah di sini dan lebih baik memulung meskipun hanya dapat Rp 30.000-Rp 40.000 per hari,” katanya, Rabu siang, saat makan soto pemberian penjual soto di Jalan Menteng, Jakarta Pusat.
Dibandingkan pindah ke panti sosial, para ”manusia gerobak” berharap pemerintah membuat program khusus bagi mereka untuk mendapatkan bantuan berupa uang sebagai modal usaha. Suratmin bahkan ingin membuka kembali warung makan sederhana yang dulu pernah dimilikinya saat pertama kali tiba di Jakarta.
Citra buruk
”Manusia gerobak” mengaku takut kalau melihat petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP) berpatroli dan mengajak mereka pindah ke panti sosial. Hal itu diungkapkan Muhammad Wahyudin (54) dan Ehsan (44) yang masing-masing berasal dari Cirebon dan Cikarang, Jawa Barat. Keduanya menjadi ”manusia gerobak” sejak tahun 1993 dan 1980.
”Kami kadang takut kalau lihat satpol PP patroli di sekitar sini karena mereka akan menyuruh kami pindah ke panti sosial dan kami tidak mau,” kata Wahyudin.
Manusia gerobak tidak mau masuk panti sosial karena akan sulit beradaptasi. Lalu, pemerintah harusnya melibatkan mereka dalam setiap perencanaan sebelum memutuskan sesuatu.
Direktur Ruang Jakarta (Rujak) Center of Urban Studies Elisa Sutanudjaja menilai, para ”manusia gerobak” tidak akan pernah mau pindah ke panti sosial karena telah menganggap citra panti sosial buruk. Selain itu, mereka akan sulit dapat penghasilan di panti.
”Saya setuju kalau mereka (manusia gerobak) tidak mau pindah ke panti sosial. Menurut saya, mereka akan sulit bekerja lagi dan sebenarnya mereka takut dengan petugas sebab citranya sudah buruk,” katanya.
Elisa bercerita mengenai pengalaman salah seorang tunawisma yang dahulu pernah tinggal di panti sosial tahun 2016. Menurut dia, tunawisma tersebut tidak boleh memanfaatkan ponsel, bahkan dimintai tebusan berupa sejumlah uang agar dapat keluar dari panti sosial.
”Tunawisma tidak boleh menggunakan ponsel pada saat itu. Selain itu, mereka dimintai uang tebusan oleh oknum jika ingin keluar dari sana,” katanya, Rabu.
Adanya panti sosial bagi para ”manusia gerobak” sejatinya tidak menjadi penting sebab mereka lebih menginginkan pendapatan dan bantuan berupa modal usaha. Menurut Elisa, perlu adanya program pemerintah khusus untuk membantu manusia gerobak mendapatkan modal usaha.
”’Manusia gerobak’ ini sebenarnya berperan besar dalam mata rantai persampahan di DKI Jakarta karena mereka membantu mengurangi jumlah sampah dengan menjual botol plastik dan kardus,” kata Elisa.
Anggota Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Jakarta, Enny Rochayati, menilai, adanya panti sosial justru akan menimbulkan kemiskinan baru. Menurut dia, ketika manusia tidak taat pada aturan panti sosial, mereka akan dikeluarkan sehingga mereka memulai semuanya dari nol dan menimbulkan kemiskinan baru.
”’Manusia gerobak’ tidak mau masuk panti sosial karena akan sulit beradaptasi. Lalu, pemerintah harusnya melibatkan mereka dalam setiap perencanaan sebelum memutuskan sesuatu,” katanya.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, terdapat dua Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya (Hasil Penertiban). Panti sosial tersebut memiliki daya tampung 1.050 orang pada 2021.