Enam Bulan Diterapkan, Penumpang dengan Tarif Integrasi Tergolong Minim
Tarif integrasi MRT, LRT, dan Transjakarta diterapkan dalam enam bulan terakhir. Namun, hanya 11,9 persen penumpang yang rutin menggunakan tarif integrasi. Masih banyak kendala dalam penerapan tarif integrasi itu.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tarif integrasi Jaklingko yang meliputi tiga moda transportasi, yakni MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan Transjakarta, diterapkan dalam enam bulan terakhir. Namun, hanya 11,9 persen penumpang yang rutin menggunakan tarif integrasi itu. Masih ada banyak kendala dalam penerapan tarif integrasi, khususnya dari aspek keandalan aplikasi dan kartu uang elektronik.
Demikian mengemuka dalam forum grup diskusi yang diselenggarakan Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) bertema ”Integrasi Tarif dan Skema PSO yang Tepat Sasaran”, Selasa (28/3/2023).
Seperti diketahui, pemberlakuan tarif terintegrasi mengacu pada Keputusan Gubernur Nomor 733 Tahun 2022 tentang Besaran Paket Tarif Layanan Angkutan Umum Massal. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan layanan tarif integrasi untuk penggunaan tiga moda angkutan umum di bawah pengelolaan Dinas Perhubungan DKI Jakarta dengan tarif maksimal Rp 10.000 dalam durasi perjalanan tiga jam.
Ketua DTKJ Haris Muhammadun memaparkan, dalam survei terkait tarif terintegrasi yang diikuti 1.550 responden, 63,9 persen pengguna angkutan umum di DKI Jakarta pernah menggunakan tarif integrasi Jaklingko. Sisanya, 36,1 persen, belum pernah menggunakan tarif integrasi.
”Dengan 63,9 persen pernah menggunakan tarif integrasi, tentu ini tren positif untuk meningkatkan penggunaan angkutan umum di Jakarta,” kata Haris.
Meski demikian, untuk penggunaan tarif integrasi secara rutin atau penuh, yakni 5-6 kali dalam seminggu, hanya ada 11,9 persen. Adapun responden yang menggunakan tarif integrasi 3-4 kali dalam seminggu ada 21,4 persen dan yang menggunakan 1-2 dalam seminggu ada 66,7 persen.
Penggunaan tarif integrasi untuk moda Transjakarta dan MRT atau sebaliknya tercatat paling banyak yaitu sebesar 700 responden atau 65,7 persen. Kemudian penggunaan Transjakarta yang dilanjutkan dengan MRT dan dilanjutkan lagi dengan Transjakarta sebesar 22,1 persen.
Untuk kombinasi penggunaan Transjakarta dan LRT ada 183 responden atau 15,5 persen. Kombinasi penggunaan MRT-Transjakarta-LRT atau dari tiga moda itu ada 12,2 persen, kombinasi Transjakarta-LRT-Transjakarta 6,7 persen, serta kombinasi penggunaan Transjakarta -MRT-Transjakarta-LRT ada 9,9 persen.
”Kalau kita lihat, pengguna tarif integrasi ini paling besar adalah kombinasi Transjakarta dan MRT. Apakah ini karena prasarananya sudah memungkinkan atau sudah lebih baik dari yang lainnya? Atau mungkin karena memang jalur MRT itu ada di sepanjang Lebak Bulus-Bundaran HI yang itu juga merupakan jalur Transjakarta?” ungkap Haris.
Dari survei itu, diketahui pula 61,8 persen penumpang menggunakan kartu uang elektronik (KUE) atau kartu perbankan yang diaktivasi. Adapun yang menggunakan aplikasi Jaklingko hanya 15,4 persen serta yang menggunakan keduanya sebanyak 22,58 persen.
”Dari profiling, ternyata aplikasi Jaklingko belum bisa menjadi andalan. Ke depan, kedua fasilitas ini tetap perlu disediakan,” jelas Haris.
Aplikasi Jaklingko tidak terlalu banyak diminati, di antaranya karena pemilihan moda secara otomatis pada aplikasi kurang efektif. Selain itu, pengguna juga tidak bisa mendaftarkan kartu uang elektronik yang pernah diaktivasi ke dalam aplikasi.
”Artinya, ini menjadi masukan bagi integrator, dalam hal ini PT JakLingko Indonesia, untuk disempurnakan aplikasinya,” jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menjelaskan, penerapan tarif yang terintegrasi menjadi upaya Pemprov DKI Jakarta meningkatkan penggunaan angkutan umum oleh masyarakat.
Sejumlah kendala dalam penerapan tarif integrasi, di antaranya, belum seluruh transaksi dikelola PT Jaklingko Indonesia sehingga integrasi data perjalanan belum dapat terealisasi. Selain itu, ada 50 unit gate MRT yang belum diganti sesuai standar, masih ada masalah pada validator bus non-BRT atau mesin tap on bus (TOB), hingga masih ada kendala pada validator Mikrotrans. (Syafrin Liputo)
Dengan adanya tarif integrasi maksimal Rp 10.000, masyarakat yang hendak memanfaatkan tarif integrasi mesti mengaktivasi kartu pembayarannya. Berdasarkan data Dishub DKI Jakarta, pada Oktober 2022 terjadi tren positif terkait penggunaan tarif integrasi.
”Total sampai dengan Januari 2023 untuk yang menggunakan kartu uang elektronik ataupun multitrip yang diaktivasi menjadi kartu integrasi ini adalah 342.000 kartu,” kata Syafrin.
Walakin, Syafrin mengakui, penggunaan tarif integrasi oleh masyarakat dalam bermobilitas dengan menggunakan lebih dari satu moda atau multitrip masih kecil. Penggunaan kartu transportasi untuk multitrip pada periode Desember 2022 hanya 4.791 pelanggan dari total 209.482 perjalanan. Demikian pula periode Januari 2023, ada 4.950 penggunaan multitrip dari 203.874 perjalanan.
”Yang menggunakan QR juga masih relatif sedikit sehingga ini tentu perlu sosialisasi supaya penggunaan tarif intégrasi ini optimal,” jelas Syafrin.
Ia pun menyebutkan sejumlah kendala dalam penerapan tarif integrasi, di antaranya, belum seluruh transaksi dikelola PT Jaklingko Indonesia sehingga integrasi data perjalanan belum dapat terealisasi. Selain itu, ada 50 unit gate MRT yang belum diganti sesuai standar, masih ada masalah pada validator bus non-BRT atau mesin tap on bus (TOB), hingga masih ada kendala pada validator Mikrotrans.
Sejumlah kendala itu semestinya segera dibenahi agar penerapan tarif integrasi optimal. ”Ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri yang kami harapkan ke depan bisa kami minimalisasi atau kami hilangkan,” ungkap Syafrin.