Warga Kampung Bayam masih menagih janji Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Jakpro untuk mendapatkan hunian layak. Tertutupnya ruang dialog dan tak ada respons dari pihak terkait membuat nasib warga makin tak tentu.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga Kampung Bayam melayangkan banding administratif pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Jakarta Propertindo. Hal ini menyusul tak diresponsnya surat keberatan administratif terhadap pemulihan korban penggusuran Kampung Bayam.
Sekitar 30 warga Kampung Bayam melakukan aksi menuntut PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang tak juga memberi unit dan pengelolaan Kampung Susun Bayam. Mereka mengajukan banding administratif bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
”Jadi, ke sini, bandingnya dikirimkan kepada Penjabat Gubernur DKI selaku atasan PT Jakpro sebagai BUMD,” ujar pendamping dari LBH Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi, di Balai Kota, Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Hal ini membuktikan tak ada itikad Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI juga Jakpro untuk memenuhi hak atas tempat tinggal yang layak.
”Kita bisa pertanyakan bagaimana keseriusan Pemprov DKI memenuhi tempat tinggal bagi warga Kampung Bayam,” katanya.
Selain itu, Jakpro dan Penjabat Gubernur DKI dianggap tak terbuka dan tak memberi kepastian hukum pada warga Kampung Bayam untuk unit yang selama ini dijanjikan. Akibatnya, para warga pun mengontrak, sebagian kecil lainnya membangun tenda di sekitar Jakarta International Stadium (JIS).
Warga yang tergabung dalam Persaudaraan Warga Kampung Bayam (PWKB) menuntut empat hal. Pertama, Penjabat Gubernur DKI memerintahkan PT Jakpro untuk memberikan unit pada Kampung Susun Bayam. Kedua, adanya jaminan bagi warga untuk dapat menghuni Kampung Susun Bayam dengan harga terjangkau melalui diskusi dua arah.
Mereka juga berharap agar warga mendapat hak pengelolaan atas tempat tinggalnya kelak. Terakhir, adanya pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak, tanpa penggusuran.
”Secara mental, kami sudah siap bekerja sama dengan Jakpro, tapi sampai hari ini, kami tidak diizinkan masuk. Kami belum menerima kunci,” kata perwakilan PWKB, Asep Suwenda.
Padahal, para warga Kampung Bayam telah terverifikasi, memenuhi syarat, dan mengantongi surat keterangan (SK) dari Wali Kota Jakarta Utara. Asep menambahkan, mereka telah memiliki koperasi berbadan hukum. Artinya, warga-warga telah memenuhi administrasi serta persyaratan lain yang ditentukan PT Jakpro.
Sebelumnya, PT Jakpro berjanji bahwa warga bisa menempati hunian mulai 1 Maret 2023. Namun, hingga saat ini, tak ada tanda-tanda mereka dapat tinggal di kampung susun itu.
Jihan mengatakan, jika banding administratif ini tak ditanggapi juga oleh Pemprov DKI, artinya pemerintah tak serius menyelesaikan persoalan. Selain itu, LBH Jakarta dan warga juga berencana melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena adanya unsur pembiaran dari pemerintah.
Seharusnya, tanpa gugatan ke PTUN, Pemprov DKI maupun PT Jakpro bisa menunjukkan itikad baiknya, membuka dialog. Sebab, selama ini warga Kampung Bayam hanya diundang, sosialisasi, tanpa diskusi berimbang untuk bersuara.
Perwakilan PWKB lainnya, Shirley Aplonia, menyebut dialog terakhir terjadi pada November 2022. Sejak itu, belum ada tindak lanjut dari Pemprov DKI dan PT Jakpro walau beberapa aksi telah dilakukan.
Vice President Secretary PT Jakpro Syachrian Syarief mengatakan, pihaknya masih mengevaluasi legalitas pengelolaan Kampung Susun Bayam. Tujuannya, warga dapat masuk hunian dengan benar secara hukum dan tanpa adanya maladministrasi.
Kelanjutan nasib warga
Pemprov DKI dan PT Jakpro yang tak merespons memperkuat kesan pembiaran pada nasib warga Kampung Bayam. Mereka kini terkatung-katung menanti tindak lanjut pemerintah.
Menurut Koordinator Urban Poor Consortium Gugun Muhammad, Pemprov DKI dan PT Jakpro telah melanggar terhadap kewajiban pemenuhan hunian warga. Akibatnya, warga jadi sengsara dan terlunta-lunta.
Pemprov DKI tetap harus bertanggung jawab karena proyek JIS terealisasi atas persetujuannya. Sumber dana dan pemegang kendali juga berasal dari pemerintah walaupun pelaksananya atas kendali PT Jakpro.
”Jadi, Jakpro hanya pelaksana dari Pemprov. Pemprov yang mesti bertanggung jawab,” kata Gugun.
Gugun menambahkan, akar permasalahan selama ini pada cara pandang. Ada cara pandang yang salah bahwa aset pemerintah, khususnya di lokasi premium seperti JIS, dianggap tak layak bagi orang miskin.
Ini ego politik, tetapi kemudian berdampak pada masyarakat. Saya pikir ini enggak benar.
Selain itu, ada anggapan yang salah bahwa aset badan usaha milik negara dapat mengeruk keuntungan berlaku pula bagi warga miskin. Tak ada dialog dan pengambilan keputusan bersama di antara pihak terkait sehingga jawaban diambil sepihak.
”Pemprov (DKI) maunya begini, enggak mau juga dengerin keinginan warga,” katanya.
Unsur politis dinilai berpengaruh pada isu yang berlarut-larut. Proyek JIS berjalan pada masa kepemimpinan Anies Baswedan sehingga ketika kepemimpinan berganti, penerusnya tak menindaklanjuti.
”Ini ego politik, tapi kemudian berdampak pada masyarakat. Saya pikir ini enggak benar,” kata Gugun.
Apabila warga dibiarkan tanpa kepastian, hidupnya akan makin sulit. Sebab kompensasi yang pernah diberikan tak memungkinkan untuk membeli tempat tinggal baru.
Ia menyarankan agar warga dapat menempati hunian sekaligus pemenuhan hak asasi manusia. Pembicaraan soal tarif, pengelolaan, dan hal teknis lain dapat dimusyawarahkan setelahnya.
Kampung Akuarium dan Kampung Kunir dapat menjadi contoh. Kedua tempat itu dikelola koperasi dengan harga sewa yang sangat terjangkau pada masyarakat, berkisar Rp 34.000-Rp 40.000 per unit.
Kampung-kampung ini, termasuk Kampung Bayam, termasuk warga terprogram. Mereka terdampak pembangunan yang dibuktikan dengan SK Wali Kota untuk hunian.
Mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2018 Tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan, rumah susun sewa terprogram yang tarifnya belum ditetapkan berkisar Rp 272.00-Rp 372.000 untuk tipe 30. Tipe 36 terprogram di rentang Rp 294.000-Rp 394.000, bergantung tingkatan lantai. PT Jakpro menetapkan tarif sekitar Rp 750.000. Hal ini pula yang terus meruncingkan perselisihan antara Jakpro dan warga Kampung Bayam.
”Warga Kebun Bayam itu sudah punya SK Wali Kota, artinya mereka warga terdampak, terprogram,” kata Gugun. Namun, jalannya persoalan ini kembali lagi pada kemauan politik Penjabat Gubernur DKI.