Delapan Hari Banjir, Hilir Sungai di Bekasi Terlalu Lama Dilupakan
Banjir yang merendam permukiman warga di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, selama delapan hari terakhir masih belum surut. Banyak faktor yang memperparah banjir Bekasi.
BEKASI, KOMPAS — Banjir yang merendam permukiman warga di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, selama delapan hari terakhir masih belum surut. Intensitas hujan, drainase yang terputus, hingga sedimentasi di hilir dan muara sejumlah sungai saling berkait memperparah banjir Bekasi.
Wilayah Desa Pantai Harapan Jaya, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, sudah delapan hari dilanda banjir. Sebagian warga masih mengungsi ke rumah kerabat. Ada yang memilih bertahan karena khawatir harta benda tersisa lenyap diambil orang.
Banjir yang merendam desa itu mengakibatkan sebagian jalan penghubung desa tergenang dan tak bisa dilintasi kendaraan. Warga harus bersusah payah menerjang banjir atau menggunakan perahu ketika beraktivitas di luar rumah.
Warga setempat, yang lahir pada era 1990-an, menyebut, banjir dengan ketinggian sedikitnya 1,5 meter pada dua hari lalu dan kini mulai surut menjadi 30 sentimeter sampai 1 meter, merupakan bencana terparah yang pernah melanda desa mereka. Namun, bagi generasi 1960-an, banjir yang terjadi kali ini membawa kembali ingatan mereka di awal 1960-an.
”Dulu, banjir itu bisa bertahan sampai tiga bulan. Tetapi, saat itu kami tetap beraktivitas seperti biasa karena rumah kami dari panggung,” kata Aam (65), Jumat (3/3/2023), di Desa Pantai Harapan Jaya.
Banjir yang terjadi kala itu berasal dari Sungai Ciherang. Sungai itu disebut warga sebagai hilir dari Kali Piket, Kali Cikarang, Kali Larangan, dan Kali Bekasi. Pada 1970-an, pemerintah pusat membangun saluran Cikarang Bekasi Laut atau CBL.
Selain membangun sodetan CBL, Aam juga masih ingat, pada 1979, pemerintah pusat mengeruk muara Ciherang. Pengerukan di muara kala itu mencapai kedalaman 12 meter. Pengerukan pada masa itu merupakan pengerukan terakhir yang pernah dilakukan pemerintah pusat.
”Sejak saat itu wilayah kami tidak pernah kebanjiran. Rumah panggung kami tinggalkan dan mulai membangun rumah tembok,” kata ayah empat anak itu.
Warga Desa Pantai Harapan Jaya pun selama 20 tahun bebas banjir. Luapan banjir mulai kembali dirasakan warga pada 2000-an. Banjir tahunan perlahan-lahan membesar dan yang terparah kembali terjadi pada 2023.
Banjir tahun ini pun berasal dari Sungai Ciherang. Luapan Sungai Ciherang dari pengamatan Jumat siang turut merendam persawahan yang baru ditanam, menjelang pemupukan, sampai padi mulai yang berbulir dan yang siap dipanen di beberapa titik wilayah sejumlah kecamatan, mulai dari Sukakarya, Sukawangi, Sukatenang, hingga Muara Gembong.
CBL ubah Bekasi
Sejarawan Bekasi, Ali Anwar, mengatakan, pembangunan CBL pada 1970 dan rampung pada 1980-an turut mengubah wajah Bekasi. Saat saluran itu selesai dibangun, areal persawahan dan rawa-rawa di Bekasi seakan tak lagi berguna atau berubah jadi daratan. Air dari hulu sejumlah sungai langsung mengalir melalui CBL dan masuk ke laut.
”Karena dianggap tak banjir lagi setelah dibangun CBL, terjadi pembangunan kompleks perumahan dengan skala besar. Padahal, Bekasi ini sejak dulu dikenal sebagai daerah persawahan dan rawa-rawa,” kata Ali, Jumat siang.
Pemukiman kala itu meluas dari Kota Bekasi hingga wilayah Kabupaten Bekasi. Permukiman-permukiman itu dibangun di lahan bekas rawa yang sedimentasinya masih muda dan belum meninggi tanpa ada pengurukan terlebih dahulu.
”Banyak perumahan dibangun tanpa meninggikan tanahnya. Jadi, saat terjadi hujan, air akan menggenangi wilayah itu atau terparkir dan banjir,” kata Ali.
Faktor lain yang menyebabkan terjadi luapan banjir di sejumlah sungai di Bekasi akibat pembangunan masif di selatan Bekasi, yakni Bogor dan Cianjur, Jawa Barat. Pembangunan masif di selatan mengakibatkan air dari hulu tak meresap dan langsung mengalir ke hilir membawa lumpur ke Kali Piket, Kali Cikarang, Kali Bekasi, hingga Citarum. Endapan material yang terus menumpuk bertahun-tahun jadi penyebab mendangkalnya hilir sungai di Bekasi yang bermuara di pantai utara Laut Jawa.
Banyak faktor
Penjabat Bupati Bekasi Dani Ramdan mengatakan, banjir yang terjadi di wilayahnya pada tahun ini dipengaruhi beragam faktor. Selain curah hujan yang tinggi dan drainase yang terputus, banjir juga terjadi akibat ketidakpatuhan pengembang perumahan. Ada banyak pengembang perumahan yang saat membangun hunian di kawasan baru abai dalam membangun peil banjir.
”Kalau berkaitan dengan luapan sungai, banjir kali ini sumbernya dari Sungai Cikarang, Sungai CBL, Sungai Cibeet, dan Sungai Citarum,” kata Dani, Jumat malam.
Dani pun mengakui bahwa ada pendangkalan di Sungai Ciherang. Namun, upaya pengerukan di sungai itu masih sulit terlaksana.
”Sebelum kejadian banjir, kami sudah berkoordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum untuk normalisasi, tetapi mereka punya keterbatasan anggaran. Muara Ciherang dan CBL ini yang belum teranggarkan,” kata Dani.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi, hingga Kamis (2/3/2023) pukul 16.00, jumlah wilayah yang terdampak banjir dengan ketinggian air 10-160 cm masih mengenai 20 dari total 23 kecamatan di daerah itu. Sementara itu, total keluarga yang terdampak banjir mencapai 23.969 keluarga atau 95.535 jiwa.
Dani menyebut, banjir yang terjadi pada tahun ini, meski cakupannya luas, sebaran banjir bersifat sporadis. Kawasan industri di Bekasi juga disebut bebas dari genangan banjir. ”Nilai kerugian dampak banjir masih kami hitung. Saat ini sedang kami koordinasikan,” katanya.
Pakar hidrologi Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, mengatakan, banjir di Kabupaten Bekasi dalam sepekan terakhir menunjukkan ada persoalan pada saluran air. Pembenahan Sungai Citarum juga perlu disambut dengan perhatian di bagian hilir, terutama tata ruang yang mengedepankan infrastruktur drainase yang terkoneksi.
”Banjir di Kabupaten Bekasi ini menunjukkan fenomena buruknya keterhubungan dari drainase di kawasan-kawasan kecil menuju anak-anak Sungai Citarum. Permasalahan lain yang dihadapi di daerah hilir adalah arus balik dari permukaan laut yang meningkat akibat pasang,” katanya.
Kondisi tersebut kian kompleks karena pembangunan wilayah masih belum mengutamakan posisi drainase yang ideal. Padahal, infrastruktur, seperti penampungan dan pompa air, memerlukan saluran yang saling terhubung agar kinerjanya optimal.
”Penyelesaian banjir memerlukan perhatian seluruh pihak. Koordinasi antardaerah diperlukan, terutama di wilayah yang dilewati anak-anak sungai, karena air mengalir tanpa melihat wilayah,” ujarnya.