”Janjinya hari ini bakal ada titik terang, buktinya sekarang mendung melulu. Bukan cuma mendung di luar, tetapi juga di dalam hati,” kata Astuti, warga Kampung Bayam yang belum bisa menempati hunian yang dijanjikan.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga gusuran Kampung Bayam masih diliputi ketidakpastian atas hunian yang telah dijanjikan kepada mereka. Di sisi lain, PT Jakarta Propertindo atau Jakpro sebagai pengembang dan pengelola Kampung Susun Bayam berdalih masih perlu mematangkan persiapan relokasi agar pengelolaan nantinya tidak membebani mereka sebagai badan usaha.
Pada 2019, warga Kampung Bayam digusur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena lahannya akan dibangun megaproyek Stadion Internasional Jakarta (JIS). Setelah digusur, warga mendapat uang kerahiman dan dijanjikan hunian. Hunian itu terwujud dalam bentuk Kampung Susun Bayam (KSB) yang pembangunannya rampung Oktober 2022. Namun, hampir lima bulan berselang, warga Kampung Bayam tak kunjung menempati hunian yang dijanjikan itu.
Warga Kampung Bayam, Astuti (38), Rabu (1/3/2023), mengatakan, dirinya dan warga lainnya belum mendapat kejelasan waktu untuk menempati unit KSB dan kejelasan tarif sewa. Pada 20 Februari 2023, Astuti dan 74 warga lain, yang merupakan anggota Persaudaraan Warga Kampung Bayam (PWKB) sekaligus calon penghuni KSB, berunjuk rasa di Balai Kota DKI Jakarta. Mereka meminta kejelasan kepada penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dan Jakpro atas KSB.
Saat unjuk rasa, lanjut Astuti, mereka dijanjikan ada titik terang paling lambat 10 hari setelah unjuk rasa, yaitu hari ini. Namun, terang yang dijanjikan tak kunjung muncul.
”Janjinya hari ini bakal ada titik terang, buktinya sekarang mendung melulu. Bukan cuma mendung di luar, tetapi juga di dalam hati,” kata Astuti saat ditemui di tenda yang mengokupansi jalan masuk KSB di area JIS, Jakarta Utara.
Astuti tinggal bersama 19 orang lainnya di tenda beratap terpal biru dan bertiang bambu. Terdapat palet kayu berlapis karpet plastik dan kasur di tengah tenda. Barang-barang seperti mesin cuci, pakaian, dan alat dapur disimpan di setiap pojokan tenda. Di area depan terdapat gerobak mi ayam dan meja tempat Astuti menjajakan dagangan.
Lantai tanah masih menyisakan air bekas hujan semalam. Selain tampias, air dari jalan juga kerap masuk ke dalam tenda. Debu dan angin dengan mudah masuk ke dalam. Dalam kondisi demikian, mereka yang merupakan lima keluarga itu terpaksa bertahan di sana lantaran tak mampu mengontrak rumah.
Terhitung sejak November 2022 mereka menempati tenda. Awalnya, setelah digusur, warga Kampung Bayam tinggal terpencar di kontrakan. Setelah KSB rampung dibangun, mereka meminta menempati hunian itu. Namun, Astuti mengatakan, Jakpro belum mengizinkan lantaran KSB masih perlu dicek fisik.
Jakpro pun menjanjikan KSB bisa ditempati warga pada 20 November 2022. Badan usaha milik daerah (BUMD) milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini juga memberikan kompensasi kepada warga untuk kembali mengontrak rumah. Saat itu belum muncul pembicaraan terkait tarif sewa.
Namun, ketika waktu yang dijanjikan tiba, Jakpro mematok harga sewa Rp 565.000-Rp 715.000 per bulan. Menurut Astuti, harga itu terlalu mahal dan tidak mempertimbangkan pekerjaan warga PWKB yang mayoritas pemulung, pedagang, dan pekerja serabutan.
Saya mau, kok, bayar, tetapi harganya kudu wajar, kayak di Kampung Akuarium.
”Saya paham kalau tinggal di sana enggak mungkin gratis. Saya mau, kok, bayar, tetapi harganya kudu wajar, kayak di Kampung Akuarium,” ucap Astuti.
Warga Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, mengeluarkan uang sekitar Rp 200.000 setiap bulan. Rinciannya, Rp 34.000 untuk sewa hunian, Rp 70.000 untuk keperluan kebersihan dan keamanan, serta Rp 100.000 disimpan di koperasi.
Agus Rianto (42), warga PKWB, sepakat dengan Astuti. Ia menilai, tak tepat apabila Jakpro menggunakan tarif umum dengan mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2018 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan. Sebab, mereka adalah warga gusuran (terprogram) sehingga harusnya dikenai tarif lebih murah.
Dalam pergub tersebut, unit bertipe 30 untuk warga terprogram dikenai tarif sewa Rp 272.000-Rp 372.000. Adapun unit bertipe 36 dikenai tarif sewa Rp 294.000-Rp 394.000 per bulan.
”Kalau tarifnya semahal itu, kami jadi bertanya-tanya, sebenarnya ini kampung susun untuk siapa? Soalnya kami enggak bisa membayarnya,” ujar Agus.
Peralihan aset
Di sisi lain, Direktur Utama Jakpro Iwan Takwin mengatakan, pihaknya masih mematangkan persiapan relokasi. Persiapan itu meliputi penyusunan strategi pengelolaan, pembuatan prosedur standar operasi (SOP) penempatan warga, dan pola operasi utilitas hunian.
”Kami harus memikirkan strategi pengelolaan, termasuk tarif, karena ini murni tidak komersial. Kami sebagai badan usaha tidak ingin menjadi beban. Di sisi lain, kami ingin aksi sosialnya tetap ada,” kata Iwan saat ditemui di Ancol Taman Impian, Jakarta Utara, Jakarta, Selasa (28/2/2023).
Dengan demikian, lanjut Iwan, pematangan strategi itu akan disusun secara paralel dengan penyusunan SOP. Ia menargetkan, warga bisa menempati KSB sesegera mungkin.
Secara terpisah, pendamping warga Kampung Bayam, Gugun Muhammad dari Urban Poor Consortium, mengatakan, dilema Jakpro sebenarnya bisa diatasi, antara lain, dengan mengalihkan aset ke Pemprov DKI. Dengan cara itu, kata Gugun, Jakpro jelas tak akan terbebani nantinya.
Apabila sudah dialihkan ke Pemprov DKI, KSB bisa menggunakan skema pengelolaan yang sama dengan Kampung Akuarium. Di kampung itu, Pemprov DKI menerapkan sewa hibah oleh koperasi. Gugun mengatakan, peralihan ke Pemprov DKI kerap dibicarakan. Ia memahami transisi itu akan membutuhkan waktu. Selama menunggu proses rampung, ada solusi terdekat yang bisa dilakukan Jakpro.
”Warga dibiarkan saja dulu untuk masuk. Ini, kan, kita lihat dari sisi kemanusiaan. Soal pembiayaanya nanti bagaimana, Pemprov bisa subsidi. Solusi sementara saja sambil masa peralihan,” ujar Gugun.