Asa dan Kecemasan di Rumah Layak Huni Kampung Akuarium
Kampung Susun Akuarium telah selesai dibangun dan diresmikan, siap menampung warga yang digusur dari lahan itu tahun 2016. Di tengah asa warga, masih ada persoalan terkait status lahan tapak.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Nur Janah (50) mendongakkan kepala ke arah bangunan lima lantai bercat putih yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggalnya. Bangunan itu adalah Rumah Susun Akuarium yang diresmikan Gubernur Anies Baswedan di Hari Kemerdekaan Ke-76 RI, Selasa (17/8/2021). Rumah layak huni impian Nur akan segera terwujud.
Perempuan kelahiran Jakarta itu tinggal bersama suami dan anak bungsunya di shelter pascapenggusuran Kampung Akuarium tahun 2016. Tempat tinggalnya menyerupai bilik papan dengan kamar berukuran 3x3 meter. Ia berbagi ruang berukuran sama dengan keluarga Yati.
”Tinggal di shelter ada lima tahun. Sebelumnya, pas digusur, kita tinggal di tenda yang gampang kehujanan, kepanasan. Terus itu dibongkar lagi dan dibikin shelter,” katanya. Ia menghuni Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, tidak lama sejak anak pertamanya lahir tahun 1989.
Rumahnya kini bisa dibilang jauh dari layak. Kebanyakan aktivitas hanya bisa dilakukan di satu ruangan sesak barang dan minim pencahayaan. Demi privasi, sebuah lantai tambahan atau mezanin dibuat sebagai tempat tidur anaknya.
Memasak dilakukan di depan rumah yang menampung berbagai peralatan rumah tangga. Untuk mandi dan kakus, harus berbagi dengan sekurangnya 100 keluarga lain di shelter tersebut. Selama di sana, Nur dan warga lain membayar biaya bulanan untuk air dan membeli token listrik.
Tak ada biaya sewa tempat tinggal juga berarti akses sinar matahari dan udara bebas yang terbatas. Atap dan lapisan aluminium foil yang menudungi shelter warga RT 012 RW 004 Kelurahan Penjaringan itu menghalangi sinar matahari. Sirkulasi udara buruk karena padatnya rumah dan keberadaan pembatas di sekeliling shelter.
Meski begitu, ibu empat anak itu menilai tempat tinggalnya saat ini masih lebih baik daripada rumah tetap yang ia miliki sebelumnya. Rumah itu kerap terkena banjir setiap malamnya karena air laut pasang. Rumah lamanya juga sempat terbakar tahun 2011 sehingga harus direnovasi.
Empat bulan setelah rumah lamanya dibangun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang saat itu dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama memutuskan menggusur rumah dan kampungnya pada April 2016. Penggusuran dilakukan karena daerah itu berdiri di atas kawasan yang bukan peruntukkannya, sehingga akan dialihfungsikan untuk kepentingan pemerintah. Kebijakan itu sesuai Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTRPZ).
”Setelah digusur, saya sekeluarga pernah kontrak rumah, sebulan Rp 700.000. Namun, saya enggak betah. Dulu, kalau bapaknya kerja, saya sering ikut keluar liatin puing-puing (gusuran). Penginnya di sini-sini saja, di Kampung Akuarium. Namanya udah kedagingan, ya,” ujarnya.
Status lahan
Harapan untuk memiliki rumah layak pun segera terwujud setelah pemprov membangun Kampung Susun Akuarium di dekat shelter mereka. Pembangunan Tahap 1 Kampung Susun Akuarium dengan anggaran Rp 62 miliar itu telah rampung dan menghasilkan dua blok bangunan lima lantai yang terdiri atas 107 unit hunian.
Pembangunan setahun terakhir melalui dana kewajiban pengembang sesuai Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Pembiayaan dan Pembangunan Rumah Susun Murah/Sederhana Melalui Konversi oleh Para Pemegang Izin Pemanfaatan Ruang.
Nur sendiri belum bisa melihat hunian yang akan ia tinggali. Ia juga belum tahu apa akan ada biaya sewa yang dikenakan kepada warga. Ia hanya mendengar selentingan kabar bahwa hunian itu memiliki ruang utama, satu kamar tidur, kamar mandi dan dapur yang cukup untuk mereka.
Ketua Koperasi Akuarium Bangkit Mandiri Dharma Diani mengatakan, setiap penghuni Kampung Susun Akuarium nantinya wajib bertanggung jawab mengelola blok huniannya masing-masing. Mengenai besaran biaya yang dikenakan kepada penghuni kampung susun masih dalam pengkajian. ”Seperti pesan Pak Gubernur, nanti akan dibahas dengan musyawarah dan semangat kesetaraan,” katanya.
Dua blok Kampung Susun Akuarium yang sudah terbangun, yaitu blok B dan D, terdiri atas 1 unit difabel, 3 kios usaha, dan 1 ruang galeri untuk memamerkan cagar budaya yang ditemukan di kawasan kampung. Izin mendirikan bangunan (IMB) Kampung Susun Akuarium terbit pada 31 Maret 2021, disusul sertifikat laik fungsi (SLF) pada 16 Agustus 2021.
Anies Baswedan, dalam sambutan peresmian Kampung Susun Akuarium, menyebut pembangunan tersebut menjadi program strategis Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam peningkatan kualitas kawasan permukiman dan masyarakat.
”Ini bertujuan untuk memfasilitasi warga DKI Jakarta, memenuhi rasa keadilan dalam bermukim, dan memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang layak huni, nyaman, dan terjangkau,” terangnya.
Pembangunan akan dilanjutkan mendirikan tiga blok lainnya di atas lahan seluas 10.575 meter persegi. Lima blok bangunan direncanakan akan dapat menyediakan 241 unit hunian. Kolaborasi dengan pemegang izin pembangunan PT Almaron Perkasa juga akan diteruskan.
Situs arkeologi
Dari sisi lokasi pembangunan, Kampung Susun Akuarium aslinya berada di kawasan cagar budaya Kota Tua. Sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pembangunan permukiman harus didahului dengan penggalian arkeologi.
Candrian Attahiyat, arkeolog yang tergabung dalam tim ahli cagar budaya DKI Jakarta, menjelaskan, penggalian arkeologi di kawasan itu sudah dilakukan. Tim menemukan bagian fondasi bangunan laboratorium oseanografi yang dibangun pada 1922 (Kompas.id, 19/8/2020).
Dengan penggalian sedalam 2 meter, tim arkeolog menemukan bagian dari fondasi itu sepanjang 8 meter. ”Tim sudah merekomendasikan supaya temuan itu diuruk kembali dan diberi tanda khusus, serta di atasnya tidak boleh ada bangunan. Tim tidak akan merekonstruksi, tetapi menggambar kembali denah laboratorium itu,” katanya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta Sarjoko menambahkan, sesuai studi ekskavasi oleh tim arkeologi, benda-benda temuan sudah didokumentasikan dan diamankan. ”Sesuai aspirasi warga nantinya akan dapat dibuatkan semacam ruang galeri di lantai dasar,” ujarnya.
Walau sudah ada upaya penyelamatan pada situs arkeologi, sejak tahun lalu pembangunan Kampung Susun Akuarium disorot Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono. Pembangunan Kampung Akuarium mestinya harus sesuai dengan peraturan yang ada.
Kala itu, ia menegaskan bahwa jika di lahan itu dibangun permukiman, Gubernur sama saja melanggar Perda Nomor 1 Tahun 2014. ”Itu karena revisi peruntukan dalam RDTR saja belum ada,” kata Gembong.
Langkah Pemprov DKI Jakarta itu dinilainya sama dengan melegalkan kesalahan terkait masih berlakunya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014.
Adalah kewajiban pemerintah menyediakan hunian layak dan kesejahteraan warga seperti Nur dan lainnya. Namun, sepatutnya upaya itu ditempuh dengan bersih dari potensi masalah di kemudian hari.