Sidang Kembali Ditunda, Keseriusan Para Tergugat Dipertanyakan
Persidangan gugatan gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) kembali diundur selama tiga minggu. Sementara laporan dugaan kasus GGAPA kembali mencuat di DKI Jakarta pada awal tahun 2023 ini.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang lanjutan gugatan perwakilan kelompok atau class action korban gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (7/2/2023), kembali ditunda lantaran empat tergugat tidak hadir. Penggugat yang terdiri atas 25 orangtua korban meminta para tergugat serius dalam menanggapi kasus tersebut.
Mayoritas orangtua korban, yang berasal dari DKI Jakarta itu, menuntut pertanggungjawaban 11 tergugat. Ada tiga kelompok tergugat, yaitu tiga lembaga pemerintah, dua perusahaan farmasi, dan enam perusahaan penyalur obat. Tiga lembaga pemerintah itu adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dalam persidangan yang terlambat sekitar dua jam itu, empat tergugat, yakni CV Samudera Chemical, PT Logicom Solution, CV Budiarta, dan Kementerian Keuangan, sudah dua kali tidak menghadiri sidang. Di sisi lain, perwakilan tergugat dari perusahaan farmasi, yakni PT Universal Pharmaceutical Industries dan PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, menghadiri sidang. Lalu, tiga perusahaan penyalur obat, yaitu PT Mega Setia Agung Kimia, CV Mega Integra, dan PT Tirta Buana Kemindo, juga hadir dalam persidangan.
Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Pusat Yusuf Pranowo mengatakan, pihaknya memberikan satu kali kesempatan kepada pihak-pihak tergugat yang belum bisa hadir untuk bisa menghadiri persidangan. Jika pada pemanggilan ketiga para tergugat tersebut masih tidak hadir, persidangan akan tetap berlangsung sesuai dengan prosedur.
”Artinya, mereka di mata hukum dianggap melepaskan haknya untuk mempertahankan haknya di depan persidangan. Majelis hakim akan menunda persidangan karena ada yang tidak hadir. Mereka di luar wilayah hukum pengadilan Jakarta Pusat sehingga panggilan kami adalah panggilan delegasi, yakni meminta pemanggilan kepada pengadilan wilayah hukum tempat tergugat tersebut berada,” ujar Yusuf.
Persidangan lanjutan yang tertunda itu akan kembali digelar pada Selasa (28/2/2023). Para orangtua korban pun tertunduk lesu tatkala hakim mengetuk palu dan memutuskan sidang ditunda. Padahal, mereka telah memenuhi kursi-kursi bagian kiri ruang persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sejak pukul 10.00 WIB.
Sebelumnya, sidang perdana gugatan perwakilan kelompok (class action) korban GGAPA, Selasa (17/1/2023), juga ditunda. Hal itu karena beberapa pihak tergugat dan dua pihak tergugat utama yang merupakan produsen farmasi, yaitu PT Afi Farma dan PT Universal Pharmaceutical Industries, tidak hadir.
Tim kuasa hukum orangtua korban, Julius Ibrani, menyampaikan, negara mempunyai dua pilihan dalam kasus ini, yaitu menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat atau hadir dalam persidangan, sebagai bentuk tanggung jawab kepada para korban. Menurut Julius, negara harus bertanggung jawab dengan membuka peristiwa seterang-terangnya, menarik peredaran obat-obatan yang menyebabkan GGAPA, dan menguji obat-obatan tersebut secara terbuka.
”Sayangnya, dalam dua persidangan ini belum menggambarkan keseriusan atau tanggung jawab untuk membuka informasi,” kata Julius kepada wartawan.
Safitri (42), orangtua korban GGAPA, menyayangkan sikap pemerintah dan sejumlah tergugat yang cenderung tidak terang-terangan dalam kasus ini. Safitri berharap, pemerintah bersikap tegas dalam mengambil kebijakan, terlebih ratusan nyawa anak telah melayang dan ratusan lainnya mengalami kondisi yang memprihatinkan.
”Kami bersikukuh untuk melakukan gugatan ini karena untuk saat ini, obat dengan generik yang dikonsumsi anak kami yang bermasalah. Tapi bukan tidak mungkin di kemudian hari muncul obat-obat lain,” jelas Safitri.
Sampai sekarang selang-selang yang ada di hidung dan tenggorokan anak saya belum dicopot. Efek lainnya, anak saya menjadi kaku atau lumpuh sehingga kami harus mengikuti fisioterapi secara rutin. Sekarang kondisinya sudah mendingan.
Safitri merupakan salah satu orangtua perwakilan kelompok pertama dari total tiga kelompok penggugat. Kelompok pertama itu terdiri atas 18 penggugat, yang anaknya meninggal akibat mengonsumsi obat sirop produksi PT Afi Farma. Lalu, kelompok kedua merupakan enam penggugat yang anaknya masih menjalani perawatan, baik inap maupun jalan, akibat mengonsumsi obat sirop PT Afi Farma. Sementara kelompok ketiga adalah korban yang anaknya meninggal karena mengonsumsi obat dari PT Universal Pharmaceutical Industries.
Kasus baru
Dari produk obat sirop kedua perusahaan farmasi tersebut, ditemukan kandungan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas sehingga merusak ginjal anak. Terbaru, kasus GGAP kembali ditemukan pada dua anak di DKI Jakarta pada akhir Januari 2023.
Satu di antaranya meninggal dan dinyatakan positif setelah mengonsumsi obat penurun demam dengan jenama Praxion. Sementara korban lain yang dinyatakan suspek masih dalam perawatan setelah mengonsumsi obat sirop dan obat tablet penurun demam.
”Bukan khawatir lagi, itu obat yang digunakan oleh anak saya juga waktu itu. Obat ini jangkauannya lebih luas, ini obat paten. Ini walaupun masih diinvestigasi ya, saya hanya menduga, ini jangkauannya lebih luas,” lanjut Safitri.
Atas temuan kasus tersebut, Kementerian Kesehatan melalui keterangan resminya pada Senin (6/2/2023) menjelaskan, setelah tidak ditemukan adanya kasus baru sejak awal Desember tahun lalu, Dinas Kesehatan DKI Jakarta melaporkan adanya kasus GGAPA. Juru Bicara Kementerian Kesehatan M Syahril mengatakan, Kemenkes akan bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk menelusuri dan memastikan penyebab yang menjadi faktor risiko gangguan ginjal akut.
Juli (59), orangtua korban, menceritakan, dia tidak menyangka obat yang dimaksudkan untuk menurunkan demam putra bungsunya itu justru merenggut nyawa anak yang saat itu duduk di bangku kelas VI SD pada Oktober 2022. Selama kurang lebih tiga minggu anaknya dirawat, Juni merasa negara sama sekali tidak hadir.
”Harapan kita cuma satu. Pemerintah ini melek. Tengoklah yang masih dirawat. Padahal, Kemenkes juga sudah menyatakan kesalahannya dan dia juga sudah janji akan bertanggung jawab,” ujar Juli.
Riang Triaji (28), orangtua korban yang masih menjalani perawatan, menuturkan, anaknya yang masih usia balita ternyata harus mengalami kondisi yang memprihatinkan. Bermula dari demam setelah menerima imunisasi, Riang tidak menyangka bahwa obat penurun demam justru membuat anaknya cuci darah hingga sekujur tubuhnya dipenuhi selang.
”Sampai sekarang selang-selang yang ada di hidung dan tenggorokan anak saya belum dicopot. Efek lainnya, anak saya menjadi kaku atau lumpuh sehingga kami harus mengikuti fisioterapi secara rutin. Sekarang kondisinya sudah mendingan,” kata Riang, yang saat ditemui terduduk lesu di luar ruang persidangan.
Riang meminta pemerintah agar sigap menangani kasus GGAPA ini. Pria yang terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai petugas keamanan berharap juga supaya tidak ada lagi korban-korban lain seperti buah hatinya.
Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama mengatakan, terhitung sejak 2022 sampai 7 Februari 2023, jumlah korban bertambah menjadi 64 anak berdomisili DKI Jakarta yang mengalami GGAPA setelah adanya laporan terbaru. Dari 64 kasus tersebut, 43 korban meninggal, 18 dinyatakan sembuh, dan 3 masih dalam perawatan.