Ratusan Kasus Kekerasan Anak di Jakarta akibat Minimnya Pelindungan dan Kesadaran Masyarakat
Mayoritas pelaku kekerasan anak bukan orang-orang asing yang tidak dikenal, melainkan justru dilakukan oleh orang terdekat, seperti kerabat, keluarga, bahkan oleh orangtua kandung.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang tahun 2022 jumlah kekerasan terhadap anak di DKI Jakarta tercatat mencapai 768 kasus. Minimnya pengetahuan tentang pelindungan dan kebutuhan perkembangan anak menjadi penyebab terjadinya kekerasan anak di DKI Jakarta.
Selama Januari 2023 Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta menerima sedikitnya 79 laporan kekerasan terhadap anak. Laporan ditangani Dinas PPAPP dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta dengan memberikan pendampingan psikologi dan hukum.
Kepala Dinas PPAPP DKI Jakarta Tuty Kusumawati menyampaikan, laporan kekerasan terhadap anak mayoritas terjadi di lingkungan terdekat mereka. Hal ini menunjukkan perlu adanya peningkatan pengetahuan orangtua ataupun lingkungan sekitar anak tentang pelindungan dan kebutuhan perkembangan anak.
”Kekerasan terhadap anak adalah fenomena yang kompleks karena kekerasan tidak terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat ditangani secara sporadik maupun sepihak. Kompleksitas masalah muncul mulai dari pencegahan, penanganan, hingga rehabilitasi korban sehingga upaya untuk menyelesaikan persoalan kekerasan bersifat multisektor dan multi-stakeholder,” ujar Tuty, dihubungi pada Senin (6/2/2023).
Kekerasan terhadap anak, menurut dia, dapat dicegah melalui sosialisasi pengasuhan anak yang baik dan benar, lingkungan sosial yang positif bagi anak, kebijakan pelindungan anak, dan pemahaman terhadap dampak kekerasan. Dengan demikian, keluarga dan masyarakat diharapkan dapat menjadi ujung tombak untuk memastikan keselamatan anak.
Ada dua faktor penyebab terjadinya kekerasan, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal merujuk pada pengalaman pelaku yang pernah mendapatkan perlakuan kasar semasa kecil sehingga menjadi pemicu untuk melakukan hal yang sama pada anak. Adapun faktor eksternal yang dapat memicu terjadi kekerasan pada anak adalah faktor ekonomi dan faktor lingkungan atau media sosial.
”Untuk mengetahui faktor penyebab utama kasus kekerasan yang terjadi di beberapa wilayah DKI Jakarta, kita juga perlu melakukan identifikasi mendalam. Itu dilakukan untuk melihat kepentingan terbaik bagi anak sehingga korban dapat diberikan pendampingan dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan,” tutur Tuty.
Jarang kelihatan juga orangnya. Paling sesekali beli pamper di warung depan sana bareng sama anaknya. Makanya, orang-orang pada kaget, tiba-tiba ada buser datang.
Apabila menemukan tindak kekerasan, masyarakat dapat melaporkannya ke UPT P2TP2A dengan layanan URC 24 jam pada nomor 081317617622 atau Jakarta Siaga 112. Selain itu, ada sejumlah posko pengaduan yang tersebar di sejumlah titik, seperti 25 pos pengaduan di lima kota administrasi, Pos Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di stasiun MRT Jakarta, stasiun LRT Jakarta, halte Transjakarta, Terminal Terpadu Pulo Gebang, Perguruan Tinggi Swasta Jakarta, serta di seluruh ruang publik terpadu ramah anak di Jakarta.
Kasus kekerasan anak hingga berujung tewas, salah satunya, menimpa balita berumur 2 tahun berinisial A. Balita malang itu tewas setelah dianiaya dan dicekik oleh Nurwita Kurniastuti (20), ibu kandung A, di sebuah kontrakan di Kelurahan Klender, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Senin (23/1/2023).
Berdasarkan keterangan warga sekitar, Nurwita tinggal mengontrak di sana selama kurang lebih satu bulan. Selama itu, warga tidak pernah mendengar suara tangisan bayi dari kontrakan dua lantai yang dihuni oleh Nurwita bersama A.
”Jarang kelihatan juga orangnya. Paling sesekali beli pamper di warung depan sana bareng sama anaknya. Makanya, orang-orang pada kaget, tiba-tiba ada buser datang,” ujar Bambang (30), warga Rukun Warga (RW) 009 Kelurahan Klender.
Atas perbuatannya, Nurwita ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat menggunakan Pasal 76C juncto Pasal 80 Ayat 3 dan Ayat 4 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 338 KUHP dengan ancaman hukuman pidana 20 tahun penjara.
Kekerasan lainnya juga menimpa AF (2). Balita tersebut meninggal akibat mengalami kekerasan oleh Antonius Sirait dan Titin Hariyani, kakek dan nenek tiri yang merawatnya di Kelurahan Pekayon, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (17/1/2023). Diketahui, pasangan tersebut tega menyiksa AF lantaran kesal harus merawat AF yang ditinggalkan begitu saja oleh Sri Wahyuni, ibu kandung AF.
Menurut warga sekitar, Sirait dan Titin merupakan warga yang baru mengontrak sekitar akhir 2021. Di kontrakan tersebut, pasangan suami-istiri itu dikenal sebagai pedagang bensin yang ramah.
”Tetangga sering mendengar anak kecil menangis seperti pada umumnya, tapi kabar terakhir menangis sebentar langsung diam dan disekap. Ketika di puskesmas sudah meninggal, saya dipanggil ke puskesmas,” kata Ketua RT 005 RW 001 Kelurahan Pekayon Sudiyono (Kompas.id, 20/1/2023).
Atas perbuatannya, Sirait dan Titin dijerat Pasal 76C juncto Pasal 80 Ayat 3 UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 351 Ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan hingga mengakibatkan kematian dengan ancaman 15 tahun penjara. Sementara Wahyuni dijerat Pasal 76B juncto Pasal 77 dan atau Pasal 76C juncto Pasal 80 Ayat 4 UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan terancam hukuman 20 tahun penjara karena telah menelantarkan anaknya sendiri.