Banjir di Jakarta berasal dari hulu, hujan lokal, dan rob. Ketiganya tak lepas dari bentang alam, perkembangan masyarakat, dan dinamika di dalamnya. Penyelesaian banjir pun sama rumit dan berkeloknya dengan alur sungai yang melintasi Ibu Kota.
Dengan luas wilayah mencapai 650 kilometer persegi atau 65.000 hektar, ketinggian tanah Jakarta berada pada angka 0 sampai 10 meter di atas permukaan laut dari titik 0 Tanjung Priok, dan 5 hingga 50 meter di atas permukaan laut dari Kanal Banjir sampai batas selatan Jakarta (H Ma’mun: Mengenal Banjir Jakarta, 2012).
Pengajar Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Rudy P Tambunan merujuk AJ Pannekoek (1949), ahli geologi dari Belanda, dataran rendah Jakarta adalah paneplain atau daerah datar yang sedatar meja. Artinya, gravitasi sangat kecil dan itulah sebabnya sungai yang ada di Ibu Kota berkelok-kelok.
Dengan gravitasi yang kecil, sungai berusaha mengalirkan airnya ke laut sehingga terjadi gaya sentripetal (berbelok ke dalam) dan sentrifugal (berbelok keluar). Hasilnya adalah meander (sungai berkelok-kelok.
”Sebanyak 13 belas sungai yang mengalir ke Jakarta membentuk meander. Lantas, terjadi perubahan dari bentang alam jadi permukiman penduduk. Ketika terjadi genangan, jika tidak ada rumah, tidak akan jadi masalah. Tapi, ketika ada rumah ada manusia, akhirnya disebut banjir, muncullah masalah sosial. Jadi masalah alam yang berubah menjadi masalah sosial,” kata Rudy, Sabtu (4/2/2023).
Bentang alam tertutup oleh rumah bisa dijumpai di Jatinegara (Otista, ruko-ruko sebelum simpang Cawang) dan Kalibata.
H Ma’mun dalam bukunya mencatat, ada tiga prinsip pengendalian banjir Ibu Kota berdasarkan Pola Induk Penelitian Banjir Tahun 2005. Pertama, penampungan aliran 13 sungai; kedua, drainase wilayah dataran tinggi; dan ketiga, drainase wilayah dataran rendah.
Penampungan 13 aliran sungai dapat dilakukan dengan Kanal Banjir, saluran pengendali Cengkareng (Cengkareng Drain), dan saluran pengendali Cakung (Cakung Drain). Penampungan tersebut berfungsi menangkap, mengubah, dan menampung air dari sungai supaya tidak melalui tengah kota.
Untuk drainase di dataran tinggi, menggunakan sistem gravitasi. Sementara dataran rendah menggunakan sistem polder (waduk dan polder).
Rudy menyebutkan, skema penanganan banjir di Jakarta sudah ada dan selalu diperbarui. Terakhir, Netherlands Engineering Consultants (Nedeco) disetujui oleh Jepang (JICA).
Namun, Jakarta dulu berkembang secara leap frog (lompatan katak). Pemerintah terlambat membangun sarana dan prasarana. Padahal, rencana induk 1965-1985 sudah menggambarkan skema untuk mengembangkan Jakarta.
Lima permasalahan
Dalam skema tersebut sudah diingatkan, ada lima permasalahan. Banjir yang sudah berlangsung sejak pemerintahan Hindia-Belanda, jaringan jalan yang belum sesuai dengan perkembangan kota, pemerintah tidak mampu menyediakan rumah bagi masyarakat, kebersihan sampah dan kebersihan kota, dan lemahnya administrasi pertanahan.
”Lima masalah ini akhirnya berkaitan dengan masalah penanganan banjir. Begitu bilang ke penduduk yang sering terkena banjir, mereka menjawab enggak apa-apa banjirnya hanya dua kali setahun kok daripada kami harus pindah (preferensi masyarakat),” ujar Rudy.
Selain infrastruktur pengendalian banjir, masyarakat juga harus menyesuaikan cara hidupnya. Misalnya memastikan saluran air itu berisi air, bukan berisi sampah.
Untuk menanggulangi banjir, pemerintah sedang menjalankan Program 942. Program ini meliputi pembangunan sembilan polder, empat waduk, dan revitalisasi dua sungai di Jakarta. Program yang berjalan sejak 2021 ini kerap bersinggungan dengan masyarakat.
Kepala Seksi Perencanaan Bidang Pengendalian Banjir dan Drainase Dinas Sumber Daya Air Jakarta Maman Supratman menceritakan, hampir selalu ada dua kubu yang setuju dan tidak setuju terhadap infrastruktur pengendalian banjir.
”Kami harus ketemu, ngobrol, sosialisasi dulu. Beberapa masyarakat ada yang pengin lebih detail sehingga butuh waktu jelaskan. Jadi progress proyek terhambat,” kata Maman, Jumat (3/2/2023).
Kompleksnya banjir di Jakarta membutuhkan penanganan secara menyeluruh dari hulu ke hilir, mulai dari meresapnya air hingga mengalirkan ke laut.
Muh Fakhrudin, Peneliti Ahli Utama pada Pusat Riset Limnologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menekankan pentingnya penyelesaian banjir secara menyeluruh dari hulu ke hilir. Pada hulu, air seharusnya banyak meresap ke dalam tanah lalu sisanya mengalir ke hilir.
”Kendalikan penggunaan lahan di hulu supaya air bisa meresap untuk kendalikan banjir dan konservasi air tanah,” ujar Fakhrudin, Jumat sore.
Dari hulu, air mengalir ke zona tengah yang punya banyak situ atau waduk. Situ berfungsi untuk mengurangi banjir dan mengisi air tanah.
Fakhrudin mengatakan, zona tengah memerlukan waduk untuk parkir air, sedangkan hilir membutuhkan polder dan pompa karena sebagian wilayah utara Jakarta berada di bawah permukaan air laut.
”Andalkan pompa, tidak bisa yang lain karena waktunya pendek untuk masukan air ke polder atau alirkan ke laut. Kalau dilakukan dengan bagus, komitmen, dan konsisten, (banjir) bisa ditangani,” kata Fakhrudin.
Untuk insfrastruktur pengendalian banjir yang tengah bergulir, program 942 ditargetkan rampung pada Maret 2023. Sementara normalisasi Sungai Ciliwung saat ini telah mencapai 16 km dari target 33 km. Adapun perkembangan pembangunan sodetan Kali Ciliwung-Kanal Banjir Timur sudah mencapai 77 persen dengan target berfungsi pada April 2023.
Pemerintah saat ini juga masih berupaya membebaskan lahan di bantaran Sungai Ciliwung agar pengendalian banjir optimal.