Swastanisasi Air di DKI Jakarta Berakhir, Cakupan Pelayanan Baru 65 Persen
Kerja sama PAM Jaya dengan PT Aetra dan PT Palyja resmi berakhir. Pengelolaan oleh swasta selama 25 tahun menyisakan persoalan cakupan air bersih di Jakarta yang masih 65 persen.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya atau Perumda PAM Jaya resmi mengakhiri kerja sama dengan PT Aetra dan PT PAM Lyonnaise Jaya atau Palyja. Selesainya kerja sama ini menandai berakhirnya swastanisasi pengelolaan air bersih di DKI Jakarta yang telah berjalan selama 25 tahun.
Penandatanganan berita acara serah terima aset antara PAM Jaya dengan Aetra dan Palyja dilakukan di Kantor Perumda PAM Jaya Pejompongan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2023). Pihak yang menandatanganinya yaitu Direktur Utama PAM Jaya Arief Nasrudin, Presiden Direktur PT Aetra Lafrik Bano Rangkuty, dan Presiden Direktur PT Palyja Robert Rerimassie. Sehari sebelumnya, Selasa (31/1/2023), kontrak kerja sama pengelolaan air antara PT Aetra dan PT Palyja dan PAM Jaya resmi berakhir.
Arief mengatakan, berakhirnya kontrak ini menjadi titik poin baru pengelolaan air di Jakarta setelah 25 tahun dikelola swasta, yaitu Aetra di wilayah timur dan Palyja di wilayah barat. Semua aset dua perusahaan ini diambil alih oleh PAM Jaya, termasuk merekrut ulang semua karyawan Aetra dan Palyja.
Selama dua setengah dekade dikelola swasta, cakupan air minum bersih di Jakarta baru 65,8 persen. Dari kerja sama ini, telah terpasang sekitar 400.000 pipa air baru di Jakarta.
”Cakupan air bersih di Jakarta ditargetkan 100 persen pada 2030 dan masih kurang 34 persen. Sekarang tersisa 6-7 tahun untuk memasang 1,1 juta pipa air agar memenuhi target. Ini pekerjaan yang tidak mudah, tetapi bisa diwujudkan dengan kerja sama banyak pihak,” ujarnya.
PAM Jaya akan menambah instalasi pengolahan air minum di Ciliwung, Pesanggrahan, dan Buaran untuk mencapai target 100 persen cakupan air di Jakarta pada 2030. Selain itu, sumber air bersih juga akan ditambahkan dari sistem penyediaan air minum Jatiluhur dan Karian Serpong.
Sebagian warga yang belum terlayani air bersih mayoritas berada di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Direktur Pelayanan PAM Jaya Syahrul Hasan menjelaskan, kurangnya cakupan ini bukan karena jarak wilayah, melainkan air bakunya belum tersedia. Saat ini, jumlah debit air yang dikelola PAM Jaya, yaitu 20.000 liter per detik, untuk mencapai cakupan 100 persen layanan diperlukan 11.000 liter per detik air baru.
”Saat ini terdapat 13 instalasi pengolahan air minum (IPA). Untuk mencapai target cakupan, kita akan menambah tiga IPA baru dari dalam Jakarta dan dua sumber dari luar Jakarta. Dua sumber air dari luar Jakarta ini dikelola pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),” kata Syahrul.
Tiga IPA baru yang akan dibangun ialah IPA Ciliwung dengan debit 200 liter per detik dan IPA Pesanggrahan dengan debit 750 liter per detik. Adapun satu IPA baru akan dibangun PT Moya di Buaran dengan debit 2.000 liter per detik. Dua sumber air bersih lain dari luar Jakarta akan disalurkan dari sistem penyediaan air minum Jatiluhur sebesar 4.000 liter per detik dan Karian Serpong sebesar 3.200 liter per detik.
PAM Jaya telah menandatangani kontrak terkait pengelolaan air melalui sistem bundling atau gabungan dengan PT Moya Indonesia pada 14 Oktober 2022. Dalam hal ini Arief mengatakan, peran Moya bukan swastanisasi seperti Aetra dan Palyja yang mengelola air di Jakarta dari hulu hingga hilir.
”Pelayanan distribusi air bersih mutlak tidak boleh ada swastanisasi. Dalam hal ini, peran pelayanan dan pengontrolan kualitas air ada di PAM Jaya. Moya tidak berperan sampai titik akhir, perannya hanya di tengah, mereka membangun pipa dan jaringan pipanya,” katanya Arief.
Moya merupakan investor infrastruktur yang mengelola enam dari 13 IPA yang saat ini ada. Adapun peran Moya ialah memproses air curah yang kemudian dibeli PAM Jaya.
”Esensi pelayanan air minum itu di hilir, dalam hal ini PAM Jaya yang melakukannya. Kami yang menentukan air itu akan dibawa ke mana, kendali pelayanan ada pada PAM Jaya. Masyarakat berinteraksi secara langsung juga dengan kami,” kata Direktur Teknik PAM Jaya Untung Suryadi.
Sebelumnya, Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan dan Hak atas Air atau Gerak telah bersurat secara terbuka kepada Penjabat Gubernur pada Senin (30/1/2023). Salah satu poin tuntutan dalam surat ini adalah evaluasi menyeluruh pengelolaan air oleh swasta agar tidak mengulangi permasalahan serupa.
”Pengelolaan air yang dilakukan dengan skema swasta tidak maksimal karena orientasinya keuntungan. Selama 25 tahun, cakupannya hanya 65 persen. Kami bertanya-tanya apa saja yang telah dilakukan selama itu dan mengapa dalam pengelolaan ini tetap membutuhkan peran swasta,” ucap Jihan Fauziah Hamdi, anggota Gerak.
Periset di Human Geography and Spatial Planning Department, Utrecht University, Bosman Batubara, mengatakan, memang tidak ada jaminan pengelolaan air oleh pemerintah daerah akan menjadi lebih baik. Namun, 25 tahun swastanisasi ini menunjukkan bahwa pengelolaan oleh swasta pun tidak maksimal. Hal ini kontradiktif dengan argumen yang mengatakan kinerja pengelolaan oleh swasta pasti bagus.
”Kontrol warga kota terhadap pengelolaan PAM Jaya itu penting, akses terhadap air adalah bagian dari hak warga negara. Tanpa kontrol yang kuat dari warga, maka pelayanannya akan begitu-begitu saja, seperti yang sudah terjadi,” kata Bosman.