Jakarta Tetap Berkuasa meski Ibu Kota Negara Pindah
Jika menilik sejarah, Kota Jakarta identik dengan pusat perekonomian dan kekuasaan. Hal ini tidak terlepas dari posisi strategisnya yang menjadi ”bandar” perdagangan rempah, kopi, dan kuliner.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peneliti sejarah dan gastronomi memaparkan pengaruh rempah, kopi, dan kuliner dalam perkembangan Kota Jakarta. Signifikansi ketiga hal tersebut membentuk Jakarta menjadi pusat perdagangan dan politik, mulai dari kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa hingga menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Di tengah proses pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur, Jakarta disebut akan tetap menjadi kota yang berdaya dan berkuasa.
Pembicaraan ini berlangsung dalam Festival Cerita Kota di Museum Bahari, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (28/1/2023), dalam acara Heritage Talks bertajuk ”Rempah, Kopi, dan Kuliner Jakarta”. Pembicara yang hadir adalah Direktur Riset dan Pengembangan Indonesia Hidden Heritage Creative Hub (IHHCH) Ary Sulistyo dan ahli gastronomi di Gastro Tourism Academy, Repa Kustipia.
Acara ini dihadiri puluhan pengunjung yang sudah mendaftar daring untuk menghadiri acara tersebut dari hari-hari sebelumnya. Festival juga dimeriahkan dengan bazar, kompetisi mewarnai, sesi nonton film bersama, workshop memasak, serta banyak kegiatan lainnya. Meski sedang gerimis, banyak orang datang untuk kemeriahan festival tersebut.
Dalam Heritage Talks, Ary Sulistyo memaparkan, sejarah Kota Jakarta hingga menjadi kota megapolitan seperti sekarang tidak lepas dari pengaruh fungsinya sebagai pusat pelabuhan semenjak abad ke-15. Saat itu, kata Ary, Jakarta masih berupa kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, yang menjadi titik temu perdagangan dari berbagai penjuru dunia. Kawasan pelabuhan ini yang sekarang menjadi Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
”Jadi pada masa ini, kawasan Jakarta hanya di bagian pelabuhan ini saja. Namun, aktivitas perdagangan sangat ramai sekali pada masa itu. Pedagang yang singgah di pelabuhan Sunda Kelapa bukan hanya yang berasal dari pulau Nusantara, yakni Sumatera, Malaka, dan Sulawesi, tetapi juga dari Eropa, China, dan Timur Tengah,” tutur Ary, penulis buku Gudang-gudang Tua di Jakarta.
Ary menjelaskan, posisi strategis Sunda Kelapa membuat pelabuhan ini menjadi pusat singgah banyak pedagang dari berbagai penjuru. Hal ini didukung dengan kondisi Laut Jawa yang memiliki gelombang yang relatif tenang. Tidak lama, Sunda Kelapa yang bermula sebagai kawasan pelabuhan menjadi pusat perdagangan di Pulau Jawa. Akibatnya, banyak komoditas keluar-masuk melalui pelabuhan tersebut, terutama rempah-rempah.
Menurut Ary, posisi Sunda Kelapa pada masa itu sangat menguntungkan perekonomian kawasan tersebut. Ia menyebut kawasan ini seperti ”bandar rempah”, yakni pusat transit komoditas rempah yang diperdagangkan banyak pihak.
”Secara strategis, kawasan pelabuhan perdagangan akan juga menjadi pusat kekuasaan. Maka dari itu, saat itu banyak pihak yang mulai melirik untuk mengambil alih, salah satunya adalah kerajaan Portugis,” ujarnya.
Perkembangan Sunda Kelapa terus berlangsung ketika Kerajaan Demak mengambil alih kawasan tersebut pada 22 Juni 1527. Kemudian, nama kawasan itu diganti menjadi Jayakarta, diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti kejayaan yang diraih dengan usaha. Hampir seabad setelah itu, tepatnya pada 30 Mei 1619, Jayakarta direbut Belanda yang sekaligus merubah namanya menjadi Batavia.
Pada masa itu, perdagangan rempah menjadi lebih gencar daripada sebelumnya, terutama dengan monopolisasi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pada masa itu juga, komoditas lain, seperti kopi, masuk ke Nusantara dan mulai ditanam pertama kali di kawasan Pondok Kopi, yang sekarang berada di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Semenjak itu, mulai muncul banyak kopi speciality di kawasan Nusantara.
Repa Kustipia menuturkan, kopi speciality adalah kopi khusus yang ditanam dan diracik di daerah-daerah tertentu. Di Indonesia, beberapa kopi jenis itu adalah kopi Aceh Gayo, kopi Mandailing, kopi Toraja, kopi Kintamani, dan lain sebagainya. Kata Repa, kopi menjadi salah satu komoditas yang ramai diperdagangkan melalui Pelabuhan Batavia.
”Jakarta, saat dulu masih Batavia, adalah tempat yang signifikan bagi perkembangan Kopi di Indonesia karena Pelabuhan Batavia merupakan hub penyebaran kopi ke seluruh Indonesia. Awal mula Belanda membawa kopi adalah melalui Batavia, dan ditanam di kawasan Pondok Kopi,” ujar Repa.
Selain membahas signifikansi Jakarta bagi Kopi, Repa juga menuturkan fungsi rempah-rempah yang secara holistik berpengaruh pada banyak aspek. Menurut dia, rempah berfungsi secara politik, budaya, kesehatan, masakan, serta teknologi dan industri. Rempah-rempah mendorong imperialisme kerajaan Belanda hingga menguasai Nusantara dan mengubah nasib bangsa Indonesia ke depannya.
Masa depan
Kini, Jakarta telah bertransformasi menjadi salah satu kota megapolitan yang paling berpengaruh di Indonesia, bahkan di kawasan Asia Tenggara. Ibu kota negara ini merupakan episentrum perdagangan dan pemerintahan, bahkan dikatakan sebagai pusat kemajuan peradaban di Indonesia. Menurut Ary, tidak dapat dimungkiri, Jakarta merupakan rujukan pembangunan kota-kota lain di Indonesia.
Kata Ary, meski ke depan status Ibu Kota Negara akan berpindah, posisi Jakarta sebagai kota berkuasa tidak akan beralih. Menurut dia, posisi strategis serta modal sejarah Jakarta terlalu signifikan untuk dapat digeser oleh kota yang baru saja dibangun. Selain itu, infrastruktur pembangunan yang terus digencarkan di Jakarta juga membuat kota ini tidak akan kehilangan relevansi sebagai kota berdaya.
“Tentunya, Jakarta akan terus menjadi kota berkuasa apabila pengelolaan pemerintah dilakukan dengan baik. Tidak hanya dari sisi infrastruktur, penguatan di sisi agribisnis dan budaya juga diperlukan,” ungkap Ary.
Repa menambahkan, kebudayaan Betawi juga perlu di dorong. Salah satunya adalah dengan memajukan kuliner khas Betawi di level pariwisata hingga dapat diperjualbelikan kepada turis-turis yang datang ke Jakarta. Salah satu caranya dengan inovasi untuk memodernisasi berbagai kuliner Betawi. Kerak telor yang biasanya ditaburi abon, misalnya, dapat diganti dengan makanan asing, seperti smoke beef.