Tangan Tak Terlihat dalam Kasus Sembilan Pembunuhan
Terkuaknya sedikitnya sembilan pembunuhan terkait kasus Ciketing Udik, Kota Bekasi, Jabar, ada unsur kebetulan. Hal ini serupa dengan terungkapnya kasus mutilasi di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Mutilasi dan sembilan korban pembunuhan di akhir dan awal tahun yang terungkap dari Bekasi, Jawa Barat, tak cukup hanya direspons sebagai tindakan sadis. Kasus-kasus itu setidaknya memberi gambaran dan juga kritikan terkait daya endus negara. Tak cukup dengan menanti campur tangan tak terlihat atau menunggu kecerobohan penjahat agar kriminalitas yang sulit dicerna nalar terkuak.
Narasi tiga dari lima orang yang terkapar di Ciketing Udik, Bantargebang, Kota Bekasi, berakhir klimaks. Ada sembilan korban tewas dibunuh. Korban yang tewas di Ciketing Udik antara lain AM (40) serta dua anaknya, RA (23) dan MR (17).
”Ada fakta baru bahwa narasi yang dikembangkan mati keracunan tidak benar, tetapi itu pembunuhan,” kata Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Korban pembunuhan tak berhenti di tiga orang itu. Ada enam orang yang ternyata dibunuh di luar Bekasi, di antaranya lima korban di Cianjur dan satu korban terakhir berada di Garut, Jabar.
Dari hasil investigasi polisi, pelaku adalah Wowon alias Aki, Solihin alias Duloh, dan Dede. Ketiganya orang dekat para korban. Bahkan, salah satu pelaku adalah suami dari korban AM.
Kasus pembunuhan berantai itu ditempuh para pelaku demi memastikan praktik penipuan dengan bumbu supranatural pada korban yang dijanjikan kesuksesan dan kekayaan palsu berjalan mulus. Korban yang disasar pelaku juga merupakan para tenaga kerja wanita yang sedang bekerja di luar negeri.
”Setelah korban serahkan harta benda mereka, lalu dihilangkan (nyawanya). Ini termasuk saksi-saksi yang mengetahui,” kata Fadil.
Ini mengenai kasus yang sudah terjadi, baru kemudian diketahui kalau berantai.
Makna pembunuhan berantai
Menurut kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, kasus pembunuhan di Ciketing Udik tak bisa disebut sebagai serial killer. Pembunuhan berantai biasanya aparat berada dalam posisi mengejar kasus yang terjadi satu demi satu.
”Ini mengenai kasus yang sudah terjadi baru kemudian diketahui kalau berantai,” kata Adrianus saat dihubungi, Kamis (19/1/2023) malam.
Adrianus menilai terkuaknya peristiwa pembunuhan dalam kasus Ciketing Udik ada unsur kebetulan, yakni berawal dari laporan dugaan keracunan yang berujung temuan kasus pembunuhan berantai yang telah terjadi dalam beberapa tahun ke belakang. Terungkapnya kasus ini juga serupa dengan terungkapnya kasus mutilasi di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, pada akhir 2022.
Kasus mutilasi itu juga bermula dari laporan orang hilang bernama MEL (34). Saat polisi menyelidiki laporan orang hilang itu, potongan tubuh seorang perempuan bernama Angela (54) tersimpan di kontrakan MEL lebih dari satu tahun.
”Dari segi pengungkapan ternyata masih banyak kejahatan yang tidak terungkap. Artinya, daya deteksi hukum dan daya deteksi masyarakat ternyata tidak tinggi,” kata Adrianus.
Fenomena terungkapnya kejahatan sadis yang terkesan kebetulan itu menjadi kritikan bagi semua pihak. Kritikan bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara bahwa menambah personel polisi pun tak menambah daya endus.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Abe widyanta, menyebut, jumlah anggota personel kepolisian turut berperan mengendus kasus-kasus kejahatan yang ada di masyarakat. Kekurangan personel kerap jadi hambatan dalam membongkar dan mengendus kasus dan potensi kriminalitas yang terjadi di suatu wilayah. Namun, upaya melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat tak hanya soal kuantitas.
”Sumber daya manusia polisi juga harus dipertanyakan. Ini jadi otokritik bersama, seberapa kualifikasi polisi kita menanggapi tantangan zaman yang makin kompleks,” kata Abe.
Tantangan polisi yang kian kompleks sering berbenturan dengan kepercayaan masyarakat. Ada kecendrungan kuat, masyarakat tak mau berurusan dengan aparat, salah satunya karena tak ingin ribet.
Relasi sosial
Korban yang terbunuh dan sekian lama terkubur tanpa sepengetahuan pihak luar di Cianjur juga menimbulkan pertanyaan. Kenapa korban dengan jumlahnya yang cukup banyak baru terungkap? Bagaimana relasi sosial dan hubungan korban dengan lingkungan sekitar? Seberapa peduli lembaga sosial setempat saat korban-korban itu menghilang?
”Proses ketetanggaan, relasi sosial berdasarkan teritori, atau hubungan sosial yang sangat dekat di lingkungan itu perlu dipertanyakan. Apakah ada perubahan sosial yang terjadi dengan kita, satu dengan yang lain tidak saling terkoneksi, menjadi atomistik, individualistik. Lalu orang abai antara satu dan yang lain,” kata Abe.
Praktik dukun oleh pelaku pun dinilai sudah seharusnya tersebar luas di wilayah desa tempat tinggal pelaku. Aparat desa seharusnya sudah mengetahui hal itu. Artinya, mungkin saja praktik itu sudah dianggap lazim lalu dibiarkan tanpa memberi respons serius.
Situasi itu menunjukkan kalau urusan hidup bersama di wilayah tempat bermukim pelaku dan korban perlu kembali diperkuat agar terkoneksi. Kepekaan-kepekaan sosial dinilai memudar karena setiap individu kerap berjuang dan survive demi diri sendiri dan keluarga.
”Saking sulitnya untuk bertahan hidup, jangankan memperhatikan orang lain, mengurus keluarga sendiri saja kerap sulit. Jaringan pengaman sosial, keamanan, kenyamanan, barangkali sudah goyah,” ujarnya.
Dukun dan aparat
Praktik penipuan berkedok kekuatan supranatural penggandaan uang yang jadi latar belakang pembunuhan dan terbongkar dari Ciketing Udik sebenarnya bukan persoalan baru. Kasus serupa pada 2021 muncul di Magelang, Jawa Tengah.
Kasus lain yang juga menyabet perhatian publik, yakni kasus Dimas Kanjeng, di Probolinggo, Jawa Timur, pada 2017. Dimas Kanjeng menyuruh anak buahnya membunuh dua santrinya yang akan membeberkan penipuan penggandaan uang.
Uang jadi produk yang dicari banyak orang dan zaman modern pun masih ada yang percaya praktik irasional itu.
”Ini kejahatan yang menggunakan praktik manipulasi. Ada yang ingin mendapatkan tujuan secara instan tanpa mau lelah lalu memercayakan itu kepada dukun. Uang jadi produk yang dicari banyak orang dan zaman modern pun masih ada yang percaya praktik irasional itu,” katanya.
Pelaku yang memanipulasi para korban pun secara sadar dan tahu kalau ada ceruk atau celah dari alam bawah sadar sebagian golongan masyarakat yang bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk mendapat keuntungan. Praktik manipulasi ini bakal sering dijumpai lantaran sebagian masyarakat tak belajar dan beranjak dari pengalaman yang irasional berbalut penipuan.
Kesadaran sebagian masyarakat dalam merespons praktik-praktik penipuan itu harusnya dijawab pemerintah dan aparat. Cianjur yang juga sebagian warganya bekerja sebagai pekerja migran menunjukkan kalau di wilayah itu banyak remiten.
”Ini menunjukkan kalau sangat potensial menjadi sasaran kriminalitas. Lintas dinas pun harus melihat bahwa remiten selama ini dipergunakan untuk apa. Apakah dipergunakan untuk investasi atau hanya konsumtif,” kata Abe.