Femisida dalam Kasus MR Membakar Mantan Istrinya
Kasus percobaan pembunuhan berencana oleh MR terhadap mantan istrinya dapat dikategorikan sebagai femisida. Femisida bentuk kekerasan berbasis jender paling ekstrem yang didorong superioritas, dominasi, hingga posesif.
JAKARTA, KOMPAS — MR (43) nekat membakar mantan istrinya, DW (38), dan SB (39) menggunakan bensin. MR membakar DW dan SB yang saat itu tengah duduk di Jembatan Jalan Jelambar Aladin RT 004 RW 006 Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (4/1/2023) pukul 19.00.
”MR berselisih paham dengan SB sejak sebelum MR menikah dengan DW. Jadi memang sudah bersaing untuk mendapatkan DW. Selisih paham terjadi terus-menerus ketika akan proses cerai dengan DW,” kata Kepala Kepolisian Sektor Metro Penjaringan Komisaris M Probandono Bobby Danuardi di Polsek Metro Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (9/1/2023).
Bobby menyebutkan, MR dan DW telah menikah secara siri selama 16 tahun. Usai berpisah dengan DW pada 2021, MR disebut memendam amarah dan cemburu melihat DW dan SB menjalin hubungan. Saat melihat kedua orang itu duduk bersama di Jembatan Jalan Jelambar, timbul niat untuk membakar DW dan SB. MR merasa yang menyebabkan DW meminta cerai darinya.
Baca juga: Diduga Cemburu, Mantan Suami Bakar Mantan Istri dan Kekasihnya
Kejadian malam naas itu diawali saat MR sedang menjadi kenek angkot milik rekannya dan melintas di Jembatan Jalan Aladin. Saat MR melihat DW dan SB duduk bersama, MR berhenti sekitar 300 meter dari lokasi DW dan SB duduk. MR membeli bensin seharga Rp 5.000 dengan bungkus plastik bening ukuran 1 kilogram dan dibungkus kembali dengan keresek kecil warna hitam. MR juga mengambil korek gas berwarna hijau milik penjual bensin tersebut.
Setelah membeli bensin tersebut, MR langsung menghampiri DW dan SB. Ketika mulai mendekat, MR langsung menyiramkan bensin ke tubuh DW dan SB dan menyalakan korek gas yang dibawanya sehingga api menyambar dan membakar tubuh kedua korban.
”DW menyeburkan diri ke kali dibantu adiknya dan SB menyeburkan diri sendiri ke kali untuk memadamkan api. DW selamat dibawa ke RSCM, sementara SB meninggal di TKP. SB tidak langsung meninggal, dalam beberapa menit ketika diangkat korban masih bergerak sedikit dan kemudian meninggal lalu dibawa ke RS Polri Kramat Jati,” kata Bobby.
Hasil otopsi sementara, dokter forensik menyatakan terdapat pasir dan lumpur di dalam tubuh SB. Sementara paru-parunya mengembang karena terdapat air. Bobby menyebutkan, kemungkinan SB meninggal karena tenggelam, tetapi luka bakar ditubuhnya sekitar 60 persen sehingga mengakibatkan kematian.
DW saat ini masih dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta Pusat. DW telah mendapatkan penanganan operasi, luka bakar di tubuhnya sekitar 60 persen. Hingga saat ini DW belum bisa dimintai keterangan karena masih berada di ruang isolasi.
Barang bukti yang ditemukan di antaranya satu buah kemeja kotak-kotak bercorak warna coklat, hitam, oranye, kuning, dan merah yang terdapat bekas terbakar milik SB yang dipakai saat kejadian, satu buah tas pinggang warna hitam dan ada bekas terbakar milik SB, satu buah kemeja berwarna biru motif kotak-kotak milik DW, sebuah sandal perempuan warna hitam yang sebagian meleleh milik DW, dan satu buah korek sas warna hijau.
Kanit Reskrim Polsek Penjaringan Jakarta Utara Komisaris Harry Gasgari menambahkan, keberadaan MR diinformasikan oleh tokoh masyarakat berinisial DJ karena melihat MR kala itu. Ketika ditangkap, MR tidak melakukan perlawanan dan mengakui semua perbuatannya. Adapun korek api gas berwarna hijau dibuang ke Jatinegara, Jakarta Timur.
”Sempat pergi ke Jatinegara, kami sisir semua lokasi yang memungkinkan karena pelaku tinggal tidak menetap sehingga kami cukup kesulitan. Butuh waktu lebih kurang 36 jam. Kami berhasil mendapatkan info MR karena menyebar informasi ke tokoh masyarakat. MR ditangkap di daerah Tanggul Jagung saat pelaku sedang istirahat,” ujarnya.
MR tidak memiliki pekerjaan tetap. Selama ini ia hanya membantu pekerjaan temannya untuk menjadi kenek angkutan umum. ”Apa saja dikerjakan untuk mendapatkan uang,” katanya.
Artinya, ada jeda waktu di sini bukan tindakan spontan. Jadi dia sudah merencanakan, makanya kami kenakan pasal pembunuhan berencana.
MR dikenai pasal pembunuhan berencana dan atau pembunuhan dan atau penganiyaan yang menyebabkan korban luka berat dan meninggal dalam Pasal 340 KUHP dan atau Pasal 338 KUHP dan atau Pasal 351 Ayat 2 dan Ayat 3 KUHP yang ancamannya hukuman mati dan seumur hidup.
Bobby menambahkan, dikenakan pasal berencana karena ada jeda waktu ketika MR sedang jadi kenek di dalam angkutan lalu MR melihat korban sedang duduk berdua dan merencanakan kemudian membeli bensin dan membakar.
”Artinya ada jeda waktu di sini bukan tindakan spontan. Jadi dia sudah merencanakan, makanya kami kenakan pasal pembunuhan berencana,” ujarnya.
KDRT
Kakak DW, Sri Handayani (43), mengutarakan, MR sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada DW selama masih tinggal seatap. Selama menikah dengan status nikah siri, ketiga anak mereka ikut dengan orangtua DW sehingga KDRT yang dilakukan MR tidak diketahui oleh anak-anaknya.
”Dulu, ketika bertemu anak-anak di rumah orangtua, ada lebam dan bekas cubitan di badan adik saya. Namun, ia tidak mau mengakui kalau terjadi KDRT, selalu beralasan yang lain. Ia baru mengaku beberapa kali dipukul baik di dalam maupun luar rumah ketika sudah bercerai,” tutur Sri.
Baca juga: Beralasan Sakit Hati, Kakak Beradik Membunuh Remaja FM
Sri menuturkan, DW berpikir berulang-ulang untuk berpisah dengan MR karena MR mengancam akan mencelakai anak mereka jika ia memutuskan berpisah. Walaupun pada akhirnya DW bisa berpisah dari MR.
”Saya berharap pelaku dapat dihukum seberat-beratnya. Pelaku sudah menghilangkan nyawa seseorang dan membuat adik saya cacat, kasarnya. Luka bakarnya hampir di seluruh tubuh apalagi bagian muka yang pasti terlihat oleh orang lain,” ujarnya.
Bobby menyebutkan, polisi masih fokus mendalami pelaku. Terkait KDRT, korban DW masih dalam perawatan dan berada di rumah sakit sehingga belum bisa dimintai keterangan.
Femisida
Dihubungi terpisah, komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Rainy Hutabarat, menjelaskan, kasus pembakaran mantan istri oleh mantan suami merupakan bentuk femisida pasangan intim. Femisida adalah percobaan pembunuhan atau pembunuhan berdasarkan jender. Femisida merupakan bentuk kekerasan berbasis jender paling ekstrem yang didorong oleh superioritas, dominasi, agresi, sikap posesif, dan misogini.
”Kekerasan masih berlanjut ketika hubungan berakhir, bahkan ia dapat berbentuk jenis yang baru, ini disebut post-separation violence. Dalam hal ini, perceraian tidak menjamin perempuan bebas dari kekerasan oleh mantan pasangannya. Apalagi jika mantan pasangannya merasa memiliki dan berkuasa atas mantan istrinya,” kata Rainy.
Berdasarkan kajian Komnas Perempuan, faktor penyebab femisida pasangan intim yaitu cemburu, sakit hati, korban ingin bercerai, kecurigaan perselingkuhan, korban menikah siri, hingga faktor ekonomi, seperti stres karena menganggur dan berutang,
”Kemiskinan juga mampu mendorong femisida dan kekerasan berbasis jender yang lain, termasuk status pengangguran pasangan. Dalam hal ini, status pengangguran dapat mendorong pasangan menjadi lebih agresif dalam melakukan kekerasan terhadap perempuan karena ego superioritasnya terganggu,” ujar Rainy.
Komnas Perempuan merekomendasikan institusi kepolisian untuk memilah data terkait kasus femisida agar pembunuhan berbasis jender tidak diperlakukan sebagai tindak kriminalitas pada umumnya.
Istilah femisida belum dikenal dalam perundang-undangan di Indonesia. Namun, hukum di Indonesia sudah mengatur mengenai pembunuhan terhadap perempuan seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU KDRT, UU Perlindungan Anak, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selain itu, pembunuhan terhadap perempuan terkait perdagangan orang diatur dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun, jumlah kasus femisida selama beberapa tahun terakhir di Indonesia bisa dilihat dari Putusan Mahkamah Agung sepanjang 2015-2022. Dari 100 putusan yang mengarah pada femisida oleh suami, 83 perkara menyebabkan korban meninggal, sedangkan 17 lainnya berpotensi meninggal. Cara membunuhnya mayoritas dicekik, ditindih, dipukul, dan dibekap (Kompas, 28/11/2022).
Komnas Perempuan merekomendasikan institusi kepolisian untuk memilah data terkait kasus femisida agar pembunuhan berbasis jender tidak diperlakukan sebagai tindak kriminalitas pada umumnya. Dalam hal ini termasuk penguatan kapasitas aparat penegak hukum agar memahami kekerasan berbasis jender. Selain itu, perlu diintegrasikan hak keluarga korban dalam hukum dan kebijakan penanganan kekerasan berbasis jender, termasuk pemulihan psikis anak.