Penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa Butuh Partisipasi Keluarga
Faktor penyebab ODGJ/ODMK meliputi faktor ekonomi, faktor lingkungan, trauma, dan napza. Selain faktor tersebut, minimnya pemahaman penanganan dan keterbatasan ekonomi juga membuat kondisi ODGJ/ODMK semakin parah.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan orang dengan gangguan jiwa dan orang dengan masalah kejiwaan di DKI Jakarta tidak cukup berhenti pada pembinaan Dinas Sosial DKI Jakarta. Upaya menanggulangi masalah orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ dan orang dengan masalah kejiwaan atau ODMK sangat membutuhkan partisipasi keluarga dan lingkungan sekitar tempat tinggal mereka.
Badan Pusat Statistik pada 2021 mendata, ada tiga unit Panti Sosial Bina Laras (PSBL) di DKI Jakarta yang menampung ODGJ/ODMK dengan kapasitas 2.470 orang. Selanjutnya, Dinas Kesehatan DKI Jakarta pada tahun yang sama mencatat, sejumlah 22.022 ODGJ kluster berat memperoleh pelayanan kesehatan di DKI Jakarta. Adapun PBSL merupakan bagian dari Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial DKI Jakarta.
Kepala Satuan Pelaksanaan Pembinaan PSBL Harapan Santosa 3 Lusiana mengatakan, warga binaannya berasal dari sejumlah wilayah, seperti DKI Jakarta dan sekitarnya, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan ada pula yang berasal dari luar pulau. Walakin, keseluruhan warga binaan tersebut, lanjut Lusiana, merupakan orang-orang yang terjaring dalam razia di DKI Jakarta.
”Awalnya, mungkin mereka ingin mencari pekerjaan di DKI Jakarta. Lalu, mereka tinggal di tempat saudara atau tinggal sendiri. Namanya tinggal di Jakarta, tekanan stresnya tinggi dan mungkin juga mereka sudah ada gejala kejiwaan sejak dari asalnya,” kata Lusiana.
Dilansir dari laman resmi PT Lintas Rel Terpadu (LRT) Jakarta, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti menyampaikan, sekitar 0,16 persen atau sekitar 17.000 warga DKI Jakarta mengalami gangguan jiwa. Adapun Kementerian Kesehatan menyebutkan, satu dari lima penduduk Indonesia atau setara 20 persen dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia berpotensi mengidap masalah gangguan kejiwaan.
Menurut Lusiana, ada berbagai macam faktor penyebab ODGJ atau ODMK, mulai dari faktor ekonomi, faktor lingkungan, trauma, hingga napza. Selain faktor tersebut, tambah Lusiana, minimnya pemahaman penanganan dan kondisi ekonomi membuat kondisi ODGJ atau ODMK semakin parah.
”Bisa jadi, awalnya mereka ODMK, lalu menjadi ODGJ karena tidak diberi obat saraf karena mungkin keterbatasan ekonomi dan minimnya edukasi penanganan ODGJ di masyarakat sehingga mereka tidak ditangani secara tepat,” lanjut Lusiana.
Secara umum, ODGJ atau ODMK yang terjaring di jalanan DKI Jakarta akan melalui proses tahapan pembinaan sampai mereka dianggap memiliki kembali fungsi sosial di masyarakat. Lusiana menjelaskan, awalnya mereka yang terjaring akan dibawa ke PSBL Harapan Santosa 1 di Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, atau kluster berat untuk mendapatkan penilaian atau asesmen awal. Lalu, mereka yang telah berkembang secara fungsi sosial, kata Lusiana, akan dirujuk ke PSBL Harapan Santosa 2 di Cipayung, Jakarta Timur, atau kluster sedang.
”Tahapan selanjutnya atau tahapan terakhir mereka akan kami terima di PSBL Harapan Santosa 3 atau kluster ringan di Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Selain itu, kami juga menerima warga binaan dari Panti Sosial Bina Insan. Setelah mereka ini dianggap sudah mampu kembali ke masyarakat, warga binaan akan kami kembalikan kepada kerabat atau keluarganya masing-masing, dengan catatan, mereka harus minum seumur hidup,” ucap Lusiana.
Devia Harun (26), tenaga pelayanan sosial di PSBL Harapan Santosa 3, masih ingat betul ketika mengantarkan salah satu warga binaannya kembali ke keluarganya di Sukabumi, Jawa Barat. Devia menceritakan, keluarga warga binaannya tidak menyangka bahwa kerabatnya itu masih hidup dan dirawat di Jakarta.
Masih banyak masyarakat yang memiliki stigma negatif pada para ODGJ/ODMK. Padahal, mereka itu, kan, yang sakit jiwanya. Secara fisik, aktivitas mereka sama seperti orang normal dan mereka juga memiliki perasaan.
”Rasanya sedih sekaligus lega. Ada kepuasan tersendiri karena salah satu warga binaan bisa kembali ke keluarganya,” katanya.
Devia menambahkan, pihaknya turut memberikan edukasi kepada keluarga tersebut untuk tetap memberikan obat dan memperhatikan kejiwaan warga binaannya itu. Terkait obat, lanjut Devia, PSBL Harapan Santosa 3 memberikan stok obat selama 3 bulan.
Selain itu, warga binaan juga telah memiliki jaminan fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sehingga saat mereka kembali ke keluarganya, mereka bisa mendapatkan obat dari fasilitas kesehatan yang terdaftar. Selanjutnya, bagi mereka yang masih di sekitar DKI Jakarta, Dinas Sosial DKI Jakarta akan mengirimkan obat ke rumahnya.
Devia juga berharap kepada masyarakat agar terbuka terhadap keberadaan ODGJ atau ODMK. Meski tidak dapat sembuh, bagi Devia, para ODGJ atau ODMK itu, dapat memperoleh penanganan pertama dari keluarganya.
"Masih banyak masyarakat yang memiliki stigma negatif pada para ODGJ atau ODMK. Padahal, mereka itu kan yang sakit jiwanya. Secara fisik, aktivitas mereka sama seperti orang normal dan mereka juga memiliki perasaan," ujar Devia.
Sebagai yang bertanggung jawab atas 23 warga binaan, tugas Devia tidaklah mudah. Dia menceritakan, suatu kali, salah seorang warga binaan pernah mengirimkan surat cinta kepadanya.
Di PSBL Harapan Santosa 3, warga binaan terbagi dalam tiga tempat tinggal, yakni Wisma Mawar, khusus perempuan dengan jumlah mencapai 166 orang; dan Wisma Anggrek serta Wisma Kenanga, khusus laki-laki dengan masing-masing dihuni 171 orang dan 168 orang. Adapun masing-masing warga binaan dari tiga wisma tersebut memiliki warna pakaiannya tersendiri untuk membedakan satu sama lain.
"Hari ini, baju kuning dari Wisma Mawar, lalu baju hijau untuk Wisma Kenanga yang usianya di sekitar 20 tahun sampai 40-an tahun. Selanjutnya, Wisma Anggrek berbaju oranye. Usia mereka rata-rata menjelang lanjut," ucap Devia.
Varian kegiatan
Selama berada di PSBL Harapan Santosa 3, para warga binaan memiliki berbagai macam kegiatan yang rutin dilakukan dalam satu minggu. Mulai dari pagi sekitar pukul 05.00 WIB, warga binaan mandi didampingi pendamping.
Selanjutnya, warga binaan berkeliling kompleks panti dan dilanjutkan dengan senam. Lalu, pada pukul 07.00 WIB, mereka sarapan bersama pendamping. Adapun sebelum sarapan, mereka dibimbing untuk mencuci tangan.
Pada pukul 08.30 WIB, mereka menerima bermain bersama dan juga mendapat berbagai macam pelatihan seperti membuat keset, pel, sapu, sandal, pernak-pernik aksesoris, dan kursus salon. Siang harinya, pada pukul 12.00 WIB, warga binaan akan makan bersama dengan pembinaan cuci tangan terlebih dahulu.
Setelah makan siang, warga binaan berkesempatan istirahat satu jam. Lalu, pada pukul 13.00 WIB, mereka akan menerima asesmen berupa terapi sosial, berkomunikasi, terapi psikis, membaca cerita, dan juga berkreasi dalam panggung gembira. Sementara khusus Jumat, sejak pagi hingga siang warga binaan menerima materi kerohanian dan dilanjutkan nonton film bersama pada sore hari.
Acara sore selanjutnya, warga binaan diarahkan untuk mandi. Setelah itu, mereka akan menerima makanan ringan yang dilanjutkan istirahat selama satu jam. Lalu, pada pukul 18.00 WIB, warga binaan kembali berkumpul untuk santap malam bersama. Setiap selesai sarapan dan makan malam, mereka diwajibkan meminum obat.
Lalu, pada pukul 19.00 WIB, para warga binaan diperkenankan untuk beristirahat. Walakin, mereka juga diperbolehkan untuk menonton TV hingga pukul 22.00 WIB.