Terminologi Potensi Pergerakan Tanah Dinilai Tidak Tepat
Fenomena erosi sungai makin tinggi karena intensitas curah hujan makin tinggi dan cepat. Ada potensi banjir bandang yang menggerus.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD DKI Jakarta memberikan peringatan dini potensi pergerakan tanah di Ibu Kota. Ahli menilai, terminologi pergerakan tanah tidak tepat. Hal ini perlu diperhatikan agar upaya mitigasi dapat disesuaikan dengan fenomena yang terjadi.
BPBD DKI Jakarta, Kamis (1/12/2022), menyebut 10 kecamatan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur masuk dalam potensi pergerakan tanah menengah berdasarkan hasil pemetaan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Informasi peringatan dini pergerakan tanah yang diunggah di situs resmi dan media sosial BPBD DKI Jakarta tersebut menjadi bagian dari langkah kesiapsiagaan bagi masyarakat.
Kecamatan tersebut meliputi Cilandak, Jagakarsa, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Mampang Prapatan, Pancoran, Pasar Minggu, dan Pesanggrahan di wilayah Jakarta Selatan. Selain itu, Kecamatan Kramatjati dan Pasar Rebo di wilayah Jakarta Timur.
”Daerah yang mempunyai potensi menengah dapat terjadi gerakan tanah. Jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan, atau jika lereng mengalami gangguan,” ujar Kepala Satuan Pelaksana Pengolahan Data dan Informasi Kebencanaan BPBD DKI Michael Sitanggang, Selasa (6/12/2022).
BPBD DKI Jakarta mengimbau masyarakat di kawasan sekitar sungai agar tidak menebang pohon di sekitar lereng dan tidak melakukan pemotongan lereng secara tegak lurus. Hal ini untuk menghindari kejadian tanah longsor. Selain itu, jika terjadi hujan deras, masyarakat diharapkan tidak melakukan aktivitas di sekitaran lereng.
Meskipun demikian, Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung Heri Andreas menyatakan, fenomena pergerakan tanah biasanya terjadi di area berbukit dan biasa disebut tanah longsor. Daerah berbukit terdapat gradien topografi yang tinggi hingga ekstrem sehingga area itu berpotensi terjadi pergerakan tanah.
”Secara terminologi bahasa ilmiah, tidak tepat (istilah) pergerakan tanah (itu). Sebaiknya lebih diperhatikan. Ini penting agar upaya mitigasi dapat disesuaikan dengan fenomenanya. Contoh pergerakan tanah, yaitu gempa di Cianjur karena ada longsor. Di Jakarta, itu erosi bantaran sungai atau riverbank erosion,” ujarnya.
Topografi di Jakarta, menurut Heri, relatif landai dan bukan perbukitan sehingga yang mungkin terjadi adalah erosi di bantaran sungai. Erosi bantaran sungai terjadi karena masih ada bantaran yang cukup tinggi terhadap muka sungai atau curam.
Fenomena erosi sungai makin tinggi karena intensitas curah hujan makin tinggi dan cepat. Ada potensi banjir bandang yang menggerus.
Menurut dia, fenomena erosi bantaran sungai berbahaya karena ketika volume air tinggi, rumah yang berada di pinggir sungai bisa ambles dan hanyut. Secara aturan, bantaran sungai tidak boleh dihuni karena merupakan ruang terbuka hijau. Namun, kenyataan di lapangan banyak hunian di wilayah itu.
”Fenomena erosi sungai makin tinggi karena intensitas curah hujan makin tinggi dan cepat. Ada potensi banjir bandang yang menggerus,” ungkapnya.
Seharusnya, menurut Heri, pemerintah dapat mengimplementasikan peraturan yang sudah ada bahwa bantaran sungai harus bebas dari permukiman. Selain mengurangi kapasitas daya tampung sungai yang berpotensi banjir, ada kemungkinan terjadi bencana erosi bantaran sungai jika masih terdapat hunian.
Heri menyarankan sungai direvitalisasi karena di sekitar bantaran sungai rawan terjadi banjir dan erosi. ”Lebih bagus lagi kalau dikombinasikan dengan program normalisasi atau naturalisasi sungai. Kalau hanya imbauan, itu bukan solusi,” ucapnya.
Michael menyebut telah melakukan koordinasi dengan aparat kewilayahan seperti lurah dan camat untuk memantau titik-titik yang rawan longsor, bersama dengan tim reaksi cepat BPBD DKI Jakarta.
Walakin, di salah satu kecamatan yang disebutkan BPBD DKI Jakarta, rawan pergerakan tanah, yaitu Pancoran, warga mengaku belum mendapat informasi tentang potensi bencana itu. Salah satunya Siti Aminah (55), warga RT 003 RW 007 Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan. Ia hanya diinformasikan mengenai ketinggian air karena wilayah di rumahnya itu merupakan wilayah langganan banjir.
Rumah Aminah berada di bantaran sungai, jarak rumahnya ke Sungai Ciliwung sekitar 18 meter. Rumahnya itu kerap banjir. Dua minggu yang lalu, banjir setinggi 20 sentimeter terjadi di rumahnya.
Aminah tinggal di bantaran sungai selama belasan tahun. Sejak tiga tahun lalu, ia merasa lantai rumahnya lebih rendah. Hal itu karena saat curah hujan tinggi selalu terjadi genangan sekitar 2 sentimeter.
”Secara kasatmata tidak terlalu terlihat, tapi kalau hujan terasa sekali. Lantai teras rumah dulu rata, sekarang sudah tambah miring,” kata Aminah saat ditemui di rumahnya. Sekitar rumah Aminah kini sedang dilakukan pembebasan lahan normalisasi Sungai Ciliwung.
Hal yang sama juga dirasakan Indah (60), warga RW 003 Rawajati, Pancoran. Ia belum mendapatkan informasi apa pun mengenai pergerakan tanah dari RT ataupun RW.
Posisi rumahnya yang berada di pinggiran kali, sekitar 7 meter dari badan sungai. Bagian dapur rumahnya terkena pembebasan lahan normalisasi Sungai Ciliwung. Longsor dapat terjadi kapan saja karena pinggiran Sungai Ciliwung di situ tidak dibangun turap.
”Waktu ada kiriman air dari Bogor, di sini banjir besar. Sudah pernah ada rumah yang longsor sampai hanyut. Beberapa kali pohon di pinggir kali tumbang,” ujar Indah.
April lalu, di Kelurahan Pengadegan, Pancoran, turap Sungai Ciliwung ambles setelah hujan deras. Tidak ada korban dalam kejadian itu.