Pemuda Perkotaan Pilih Ruang Alternatif untuk Utarakan Keresahan
Mayoritas pemuda gunakan ruang alternatif seperti forum seni dan platform digital untuk menyuarakan keresahannya. Hal ini karena forum formal seperti musrembang dianggap belum mampu mengakomodasi aspirasi anak muda.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemuda menggunakan cara-cara inovatif dan kreatif untuk mengutarakan keresahan serta idenya terkait masalah perkotaan. Dalam hal ini, ruang alternatif dianggap lebih akomodatif ketimbang ruang formal untuk mendorong kebijakan yang inklusif.
Urban Planner Kota Kita, Icha Thamrin, di Jakarta Selatan, Sabtu (3/12/2022), menjelaskan, pemuda cenderung menggunakan ruang alternatif dalam merespons fenomena perkotaan. Hal ini karena tidak ada ruang formal yang cukup akomodatif untuk menghimpun ide dan ekspersi pemuda di perkotaan.
”Ruang formal seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) biasanya hanya menghadirkan pemuda tanpa benar-benar menjaring aspirasi mereka. Saya pernah hadir dalam musrenbang, di tingkat kelurahan hingga kota. Kebanyakan hanya kelompok elite yang dominan berpendapat. Kesempatan bagi masyarakat umum saja hanya satu banding sepuluh. Apalagi untuk pemuda,” terangnya dalam rangkaian Urban Social Forum Ke-9 ini.
Direktur Eksekutif Yayasan Kota Kita Ahmad Rifai menjelaskan, dulunya musrenbang merupakan ruang alternatif yang kemudian diadopsi oleh negara dan diresmikan pada 2004 masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono. Justru ketika musrenbang menjadi teknokratis, fleksibilitas dan kreativitasnya berkurang. Hal ini terjadi karena banyak terjadi pembajakan ruang publik oleh segelintir elite pemegang kekuasaan.
”Diperlukan ruang bagi masyarakat sipil untuk bersolidaritas dan menghasilkan banyak ide dalam menghadapi masalah di perkotaan. Maka dari itu, tema diskusi pertama USF ke-9 ini adalah ’Merawat Ruang Warga, Mewujudkan Kota untuk Semua’ yang dimaknai dan dibingkai dalam relasi kewargaan,” terangnya.
Icha mengatakan, anak muda memilih ruang alternatif dengan cara mereka sendiri yang inovatif dan kreatif. Contohnya seperti membentuk dan terlibat dalam forum anak, forum seni, organisasi kepemudaan, dan upaya pemberdayaan dengan inisiasi mandiri.
”Gerakan alternatif ini hadir untuk menunjukkan eksistensi pemuda di masyarakat. Dalam hal ini, harusnya pemerintah melihat ekspresi ide pemuda sebagai ranah untuk berkolaborasi dan menjaring suara mereka sehingga menghasilkan kebijakan yang inklusif,” sebutnya.
Seperti yang dilakukan Sarah Adilah dengan kolektif Sinekoci di Palu, Sulawesi Tengah. Sinekoci merupakan wadah pemuda untuk mengekspresikan diri melalui seni rupa dan film. ”Kami menggunakan film untuk menyuarakan ide kami terkait kebijakan yang merugikan,” jelasnya.
Salah satu aksi yang sudah dilakukan pada September 2022 lalu adalah berkolaborasi dengan empat komunitas di Sulawesi Tengah, yang memiliki latar belakang keilmuan berbeda-beda. Setiap dari mereka menggarap film dokumenter untuk memperingati empat tahun gempa Palu sehingga perspektif untuk melihat permasalahan bencana dan Kota Palu saat ini menjadi lebih tajam.
”Kami menonton bersama film-film dokumenter ini kemudian berdiskusi dengan warga terkait permasalahan bencana dan keresahan mereka di Kota Palu. Harapannya, terjadi perubahan pola pikir masyarakat sebagai landasan perubahan perilaku nantinya,” terang Sarah.
Champaign Manager and Digital Strategist Change.org, Dhenok Pratiwi menambahkan, pemuda juga memanfaatkan perkembangan digital untuk merespons isu-isu yang terjadi di masyarakat. Melalui platform digital dan media sosial, mereka mengakses informasi yang kredibel, memperkuat dukungan, hingga mengutarakan ketidaksetujuan.
”Ruang kewargaan bisa diperluas melalui paltform digital karena tidak terbatas geografis. Di Change.org kita bisa menggalang suara untuk isu-isu yang kita kira mustahil akan menang seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang kini telah disahkan. Banyak masyarakat yang memperjuangkan secara langsung dan digital dengan mengisi petisi ini ,” tuturnya.