Kaum Muda Mengubah Wajah Kota
Peran pemuda-pemudi tercatat dalam perjuangan mengusir penjajah, menggulingkan diktator, dan yang kekinian, menganut gaya hidup hijau secara individu hingga kampanye massal.
Kaum muda ada bersama peristiwa-peristiwa penting negeri ini dan belahan dunia lain. Di Indonesia, antara lain, ada peran pemuda di balik peristiwa Rengasdengklok yang mendahului Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 76 tahun lalu dan lengsernya Presiden Soeharto setelah berkuasa 32 tahun yang kemudian menggelindingkan era reformasi tahun 1998.
Di masa sekarang, tantangan bagi kaum muda tak kalah berat dan untuk menjalaninya tak bisa hanya bergantung pada segelintir orang. Mereka harus bergerak bersama secara global lintas batas geografis demi mengatasi kondisi Bumi yang memburuk.
Pada 2020, sekitar 85 persen dari 270,2 juta jiwa penduduk Indonesia berusia 0-55 tahun. Dari kelompok usia tersebut, perkiraan kasar dengan menjumlahkan generasi milenial dan mengambil sebagian dari kelompok generasi X dan Z, kaum muda usia 19-45 tahun bisa mencapai 50 persennya atau sekitar 115 juta jiwa. Kaum muda tersebut, bersama beberapa juta jiwa warga usia 45-55 tahun, adalah angkatan kerja yang berperan sentral memutar ekonomi serta pembangunan negara ini.
Pada era pemanasan global dan perubahan iklim, peran sentral angkatan kerja produktif pun bertambah, yaitu mencegah kondisi memburuk serta mengatasi dampak yang kini telah dirasakan di penjuru Bumi. Perlu banyak strategi untuk dapat membuat kaum muda yang kini lebih banyak tinggal dan bekerja di perkotaan turut aktif menjalankan peran-peran strategisnya itu.
Memastikan kaum muda yang mendominasi populasi Bumi tak berjalan sendiri-sendiri tanpa arah jelas dan memobilisasi kebiasaan-kebiasaan baiknya menjadi satu-satunya cara membawa perubahan baik di masa tak menentu ini.
Program mengurangi hingga bebas dari produksi emisi digalakkan di semua lini kegiatan, dari level industri besar sampai kehidupan sehari-hari setiap individu. Pemerintah kota di seluruh dunia, misalnya, kini berlomba membangun sistem transportasi umum rendah emisi, energi baru terbarukan ramah lingkungan, mengurangi penggunaan plastik, memperbanyak ruang terbuka hijau perkotaan, serta mengefektifkan penggunaan listrik, air, dan mengurangi berbelanja berlebihan apalagi sampai membuang-buang makanan.
Di Indonesia, tren serupa sudah mulai terlihat. Di Jakarta, sudah hadir bus bertenaga listrik yang menambah jajaran angkutan massal bertenaga listrik, seperti jaringan KRL dan MRT. Aturan tidak menggunakan kantong plastik untuk berbelanja gencar dijalankan, walau baru sebatas di pusat belanja modern. Ruang terbuka hijau juga bermunculan.
Namun, semua fasilitas kota itu belum tersedia memadai. Terkait angkutan umum saja, hasil kajian Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyebutkan, pada tahun 2015 dari 47,5 juta perjalanan, baru 24 persen yang menggunakan angkutan umum. Target menambah tingkat penggunaan angkutan umum meleset dan kandas setelah pandemi Covid-19 melanda.
Tahun 2020, riset Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menunjukkan, ketika pandemi dapat diatasi dan pelonggaran kegiatan masyarakat dilakukan, hanya 66 persen pengguna angkutan umum akan naik moda transportasi publik lagi. Sekitar separuhnya akan rutin naik angkutan umum dan sisanya akan mengurangi frekuensi penggunaannya. Selain itu, 34 persen warga tidak mau lagi naik bus umum atau kereta komuter dan lebih memilih kendaraan pribadi atau taksi daring. Macet atau polusi tak jadi soal bagi mereka.
Baca juga : Kembali ke GBK
Agar transportasi massal perkotaan dilirik lagi, pemerintah daerah harus berani tetap fokus dan mengalokasikan anggaran pembangunan transportasi publik. Membuat terobosan dan selektif memilih sistem transportasi yang tepat bagi tiap kawasan perkotaan kian logis dilakukan mengingat pendanaan terbatas dan kebutuhan pengadaannya yang terus mendesak.
Moda transportasi yang bisa membawa banyak orang sekaligus, seperti halnya jaringan kereta komuter, cocok menjadi tulang punggung pergerakan massa lintas kota di kawasan aglomerasi, seperti Jabodetabek.
Di internal wilayah masing-masing, pemda perlu banyak mencari solusi sistem pengangkutan orang yang lebih efektif. Terlebih pola perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia rata-rata masih menyebar meluas di sekitar kota induk dengan jaringan akses jalan yang tak merata kualitas maupun kuantitasnya. Memanfaatkan jejaring angkutan umum berupa minibus kecil, bus medium, sampai sekelas bus gandeng Transjakarta yang kini sedang diterapkan dalam sistem JakLingko di DKI bisa menjadi alternatif tanpa harus latah diadopsi mentah-mentah.
Sayangnya, pembangunan jaringan angkutan umum belum juga banyak diprioritaskan pemerintah daerah. Kota Bogor di Jawa Barat, baru dalam tahap sangat awal merealisasikan kembali program revitalisasi angkutan umumnya dengan armada Transpakuan. Kabar Transanggrek di Kota Tangerang Selatan, Banten, kini semakin tak jelas. Sementara di Kota Bandung, Jabar, bus Damri malah mengurangi operasional armadanya karena terus merugi.
Memang tidak mudah menarik minat masyarakat naik angkutan umum di masa pandemi ini. Masyarakat butuh dibujuk dengan contoh konkret dan kampanye masif untuk dapat ditarik menjadi pengguna moda transportasi massal dengan jaminan tetap aman dan sehat.
Baca juga : Dulu, Kini, dan Masa Depan Anak-anak Perempuan di Belantara Kota
Sebagai langkah awal, pemerintah dan operator angkutan umum perlu meyakinkan mantan penggunanya dulu agar kembali naik bus dan kereta komuter. Sebagai catatan, jumlah penumpang Transjakarta, KRL, dan MRT sebelum korona melanda konsisten naik tiap tahun.
Bahkan pada Agustus 2020, di tengah pembatasan kegiatan masyarakat untuk pengendalian pandemi, hasil survei pengguna KRL menunjukkan bahwa moda ini masih memiliki pengguna setia. Secara umum, profil pelanggan kereta komuter ini sebanyak 65 persennya adalah pekerja di sektor swasta. Sebanyak 69 persen pengguna KRL berusia 18-30 tahun dan 73 persen pengguna KRL memiliki pengeluaran Rp 2 juta-Rp 5 juta per bulan.
Data itu menegaskan klaim bahwa kaum muda mendominasi penggunaan KRL dan angkutan publik secara umum. Mereka mengakses angkutan umum dalam bermobilitas, menuju tempat kerja atau tempat kuliah sembari menyimak hiburan via gawai di genggaman.
Pengguna angkutan umum makin termanjakan ketika mulai banyak stasiun kereta komuter dan halte dibenahi, kawasan sekitarnya pun ditata. Mereka bisa leluasa bergerak dan berpindah moda angkutan umum karena ada trotoar maupun jembatan nyaman dilalui. Angkutan umum juga mengantar mereka ke taman kota, kafe, dan pusat belanja yang kini makin biasa menyediakan akses khusus ke halte atau stasiun.
Sebagian kaum muda yang akrab dengan gawai, media sosial, dan bekerja memahami bahwa dengan bertransportasi umum di masa sekarang berarti ongkos mobilitas terjangkau, mendapat layanan cukup baik, bisa menjangkau banyak lokasi tujuan mereka, dan tidak banyak terpengaruh kemacetan atau susahnya cari tempat parkir. Mereka tidak lagi dihadapkan pada kereta jorok atau bus berkarat, asap hitam, dan perilaku sopir ugal-ugalan.
Di sisi lain, sengaja atau tidak, mereka telah menjadi bagian dari gerakan massal warga kota yang turut aktif membantu mengerem laju produksi emisi. Banyak pula yang sekaligus mengembangkan kebiasaan hidup hijau dengan membawa botol minum sendiri demi menekan penggunaan botol plastik sekali pakai. Di tas kaum muda urban, terselip pula termos kopi, boks makan siang, juga kantong belanja yang semuanya bisa dipakai ulang.
Baca juga : Jeratan Utang ”Squid Game” Rumah Tangga Perkotaan
Untuk itulah, meskipun pandemi belum jelas kapan berakhir, kampanye menjalankan kebiasaan baik tersebut perlu dihidupkan lagi bahkan digencarkan. Kampanye bahwa dengan naik angkutan umum, ke taman, dan menggunakan barang-barang yang bisa dipakai ulang itu menjadi bagian dari ikhtiar mendapatkan hidup yang lebih berkualitas di tengah rongrongan virus korona jenis baru penyebab Covid-19. Tentu saja semua perlu diiringi sederet rambu-rambu protokol kesehatan yang wajib ditaati.
Menggamit pemengaruh dan selebritas muda yang peduli lingkungan sebagai dutanya untuk selalu berkicau di laman media sosialnya menjadi bagian dari strategi jitu berkampanye. Wajah dan postur tubuh menarik orang-orang itu bakal menjadi magnet bagi ribuan sampai jutaan pengikutnya sesama kaum muda untuk perlahan mengubah pola pikir mereka tentang gaya hidup yang mengurangi perilaku melukai lingkungan.
Seiring masih hangatnya peringatan Sumpah Pemuda, kaum muda jangan sampai dibiarkan berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas. Memobilisasi kebiasaan-kebiasaan baik kaum yang mendominasi populasi Bumi dengan kebijakan yang tepat dan kepemimpinan yang baik menjadi cara cepat membawa perubahan di masa tak menentu ini. Mereka bisa mengubah wajah kota juga dunia menjadi tempat terbaik bagi seluruh manusia.
Baca juga : Tugu Sepeda dan Jejak Polemik Tengara Kota di Jakarta