Pemuda Era Digital Berbeda dengan Pemuda Masa Lalu
Anak muda saat ini berbeda dengan pemuda beberapa dekade lalu. Teknologi memberi banyak kemudahan, tetapi juga tantangan. Anak muda perlu dibimbing agar bisa melalui fase pergolakan remaja dengan baik, bukan dikekang.
Hampir seperempat penduduk Indonesia adalah pemuda. Teknologi dan kemudahan yang ditawarkan membuat anak muda saat ini unik, berbeda dengan pemuda beberapa dekade lalu. Meski demikian, mereka juga menghadapi tantangan ekonomi dan kesejahteraan yang tak kalah pelik dibandingkan generasi sebelumnya dan bisa berdampak besar terhadap ketahanan bangsa.
Sebagian besar fase hidup pemuda adalah masa remaja umur 10-18 tahun dan beranjak dewasa (emerging adult) usia 18-25 tahun, belum dewasa sepenuhnya. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan membatasi usia pemuda pada rentang 16-30 tahun, sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefenisikan pemuda (youth) berusia 15-24 tahun.
”Masa remaja adalah masa yang penuh badai dan stres, terutama fase remaja awal saat mulai puber,” kata psikolog peneliti kualitas hidup yang juga dosen Departemen Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung, Fredrick Dermawan Purba, Senin (15/8/2022).
Di masa itu, mereka mengalami perubahan hormonal yang memengaruhi kondisi fisik dan psikis serta kehidupan sosialnya. Namun, pada saat itu, kemampuan kognitif atau berpikir mereka belum sepenuhnya matang. Kemampuan mereka berpikir panjang atau logik, hipotetik, dan abstrak masih berkembang, belum matang seperti pada orang dewasa.
Informasi melalui internet yang melimpah membuat anak muda saat ini mudah mendapatkan informasi, mulai dari yang paling salah sampai paling benar. Akibatnya, kemampuan kognitif mereka dalam memproses informasi menjadi lebih cepat matang. Mereka lebih pandai memanfaatkan informasi menjadi alat bantu untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
”Anak muda sekarang tidak suka disuapi. Mereka akan memverifikasi sendiri setiap informasi yang diperolehnya, dari mana pun sumbernya,” tambahnya. Konsekuensinya, mereka menjadi lebih kreatif, lebih banyak ide dan cara untuk mencapai impiannya, bahkan dengan cara-cara yang dianggap tidak wajar oleh generasi sebelumnya.
Meski kemampuan kognitifnya lebih cepat matang, kemampuannya mengendalikan emosi atau menimbang nilai belum sepenuhnya matang. Akibatnya, ego mereka sangat tinggi, cara mereka mengekspresikan pikiran dan emosinya pun sering tidak tepat atau tanpa berpikir panjang. Mereka juga rentan terjebak pikiran dan tindakan keliru, berisiko, hingga kurang bisa menghargai orang lain.
Fredrick menambahkan, luasnya informasi juga membuat anak muda memiliki banyak rujukan berperilaku. Di masa lalu, contoh di masyarakat umumnya merujuk pada anak-anak muda berprestasi baik akademik maupun non-akademik.
Sebagian anak muda enggan meningkatkan kapasitasnya karena menilai menjadi pembuat konten atau selebgram lebih menyenangkan, menghasilkan, dan tidak membutuhkan pendidikan tinggi.
Kini, rujukan anak muda banyak bertumpu pada pribadi-pribadi unik yang berseliweran di media sosial. Mereka yang berkata kasar, berperilaku aneh, atau bertindak negatif lainnya tetap bisa viral, mendapat banyak pengikut, hingga diidolakan orang. Kondisi ini membuat anak muda makin sulit membedakan hal yang sesuai atau tidak dengan nilai dan norma masyarakat.
Karena itu, bertepatan dengan peringatan Hari Pemuda Internasional yang dirayakan setiap tanggal 12 Agustus, Fredrick mengingatkan perlunya mengarahkan anak muda dengan memberi informasi yang akan membuka pikiran mereka, bukan dengan menggurui atau menceramahinya. Ide dan kreativitas mereka perlu diwadahi dan didukung dengan aturan yang menunjang, bukan justru membatasinya hanya karena dianggap tidak umum. Pengekangan ide justru bisa menimbulkan frustrasi dan apatisme anak muda.
Akomodasi ide anak muda di ruang publik ini penting untuk mendorong keterlibatan anak muda di lingkup sosial dan politik. Karena anak muda cenderung memandang segala sesuatu secara hitam putih dengan pertimbangan yang terbatas, orang dewasa perlu membangun dialog dengan anak muda.
Orang dewasa tak perlu memotong ide-ide anak muda, tetapi cukup memberi mereka informasi pembanding untuk didialogkan. Orang dewasa hanya perlu mengawal agar apa yang dilakukan anak muda tidak bertentangan dengan hukum. Selain itu, bangun kemampuan mereka beragumentasi secara santun, tanpa melukai perasaan orang lain, serta berpikiran terbuka hingga bisa menerima saran dan pendapat orang lain.
”Bebaskan anak muda menentukan jalan pilihan agar tidak menabrak sesuatu. Kalaupun mereka menabrak hal tertentu, ingatkan dan siapkan mitigasinya,” lanjutnya.
Baca juga : Literasi Digital sebagai Pelindung dari Ancaman Nyata Dunia Maya
Sosial ekonomi
Di samping harus bergelut dengan pergolakan dalam diri mereka, anak muda juga menghadapi tantangan sosial ekonomi yang tak kalah pelik. Tingkat pengangguran terbuka pemuda pada 2021 mencapai 14 persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pengangguran pada populasi umum. Repotnya, mereka adalah penganggur terdidik, terutama lulusan perguruan tinggi dan sekolah menengah kejuruan.
”Dari perhitungan kami, diperkirakan akan ada 1 juta penganggur lulusan perguruan tinggi pada 2025,” kata peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) yang juga Direktur Institute for Advanced Studies in Economic and Business UI, Turro S Wongkaren. Kondisi itu mengkhawatirkan karena terjadi di sekitar puncak masa bonus demografi.
Kesejahteraan anak muda memang makin membaik. Namun, nyatanya ada 26,64 persen anak muda yang tidak sekolah dan tidak bekerja (not in employment, education, and training/NEET) pada 2021. Padahal, pada 2019 dan 2020, jumlahnya secara berurutan hanya 21,77 persen dan 24,48 persen.
Anak muda yang berpendidikan tinggi dan menganggur itu sebagian besar tinggal di perkotaan. ”Itu adalah kondisi yang berbahaya karena mereka akan jadi mudah dimanipulasi dan disulut untuk kepentingan politik tertentu,” kata Turro.
Namun, mengelola NEET memang tidak mudah. Mereka perlu disadarkan untuk bisa memanfaatkan waktu mereka untuk meningkatkan keterampilan dan berpikir realistis. Sebagian anak muda enggan meningkatkan kapasitasnya karena menilai menjadi pembuat konten atau selebgram lebih menyenangkan, menghasilkan, dan tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Padahal, di balik kesuksesan selebgram, ada kerja keras yang harus diperjuangkan.
Mendorong anak-anak muda menjadi wirausaha juga tidak mudah karena tidak semua orang memiliki bakat sebagai pengusaha. Pemerintah perlu menyeleksi secara tepat orang-orang yang akan dilatih untuk menjadi wirausaha. Materi pelatihan pun tidak melulu soal teknis, tetapi justru yang penting membekali mereka dengan keterampilan lunak dan karakter agar tangguh dalam mengelola usaha.
Di sisi lain, pemerintah tidak memiliki kemampuan menciptakan lapangan kerja secara langsung, kecuali lowongan aparatur sipil negara. Karena itu, pemerintah wajib menciptakan lingkungan usaha yang kondusif yang mendorong terciptanya lapangan kerja. Dunia usaha dan investasi perlu terus didorong hingga tercipta banyak lapangan kerja untuk anak muda.
Meski sebagian besar anak muda dan penduduk kini tinggal di perkotaan, pembangunan desa tidak bisa ditinggalkan. Meski pekerjaan yang tersedia di desa umumnya dalam sektor pertanian dan nonformal, pandemi dan aneka kirisis ekonomi menunjukkan sektor pertanianlah yang mampu bertahan. Pangan adalah kebutuhan abadi, yang kegagalan pemenuhannya bisa mengguncang negara. Munculnya petani-petani muda juga perlu terus diperjuangkan.
Untuk menyiapkan semua itu, lanjut Turro, penting membekali guru bimbingan dan karier atau guru bimbingan dan penyuluhan di SMP dan SMA agar bisa mengarahkan siswa secara tepat. Bimbingan itu bisa membantu siswa memiliki jenjang pendidikan, program studi, atau profesi yang akan mereka tekuni di masa depan sesuai keinginan dan kemampuan mereka.
”Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional memiliki program Generasi Berencana yang terfokus untuk persoalan kesehatan reproduksi remaja. Program ini bisa ditiru untuk cakupan yang lebih umum, terutama dalam membantu remaja memilih bidang dan jenjang pendidikan,” katanya.
Dalam aspek politik, sebagian besar pemuda sudah memiliki hak untuk memilih. Namun, daya tawar pemuda terhadap partai politik masih sangat lemah. Meski jumlah mereka besar, pemuda belum bisa mewarnai keputusan partai terhadap anak muda. Akibatnya, pemuda jarang tersentuh program pembangunan secara utuh, bahkan arah pembangunan pemuda Indonesia pun menjadi tidak jelas.
Baca juga : Potensi Eksklusivitas Beragama pada Generasi Muda Masih Ada
Kini, saatnya pemuda bersuara. Urusan anak muda bukan hanya soal pendidikan atau kesehatan, melainkan semua aspek kehidupan, sama seperti orang dewasa. Orang dewasa pun perlu lebih mengakomodasi anak muda. Karena di tangan pemudalah, masa depan dan kesejahteraan bangsa akan dipertaruhkan.