Warga Petukangan Utara Minta Tanggul Saluran Swadarma Ditinggikan
Penempatan pompa ”mobile” di titik rawan genangan dinilai warga kurang efektif. Hal ini diperparah kurangnya personel yang menangani.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga Rukun Warga 009 Petukangan Utara, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, mengeluhkan banjir yang tak kunjung tuntas di lingkungan mereka. Warga meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meninggikan tanggul di saluran Swadarma dan menambah jumlah pompa bergerak untuk mengatasi banjir.
Warga RW 009 Petukangan Utara kerap kebanjiran, terutama saat hujan lebat turun. Intensitas curah hujan yang tinggi pada Kamis (1/12/2022) menyebabkan seluruh rumah di RW 009 terendam banjir hingga setinggi 1 meter pada pukul 17.00 dan baru surut keesokan harinya pukul 05.00.
Banjir membuat persimpangan Jalan Ciledug Raya dan Jalan Swadarma Raya tidak bisa dilalui. Sejumlah kendaraan yang terjebak banjir saat melintas akhirnya mogok terendam air.
Di pintu masuk lingkungan RW 009 dekat saluran Swadarma terdapat pompa air yang siaga untuk menyedot air genangan di Jalan Swadarma Raya ke saluran Swadarma. Pasalnya, bagian tanggul saluran Swadarma sebelah permukiman lebih rendah ketimbang tanggul di sisi Jalan Swadarma Raya. Ketika air meluap, pompa air tidak dapat langsung menyedot air ke saluran karena banjir di lingkungan RW 009 semakin parah.
Ketua Rukun Tetangga (RT) 003 RW 009 Petukangan Utara Hartoyo mengungkapkan, pompa siaga menjadi kurang efektif menyedot air karena banjir membuat permukaan air saluran Swadarma cukup tinggi. Pompa tersebut hanya berfungsi jika genangan air sekitar 50 sentimeter.
Menurut dia, Pemprov DKI seharusnya segera menambah jumlah pompa air bergerak dan menyiagakannya di RT 009 RW 009 dekat pintu air. Selama ini, lingkungan RT 009 RW 009 menjadi daerah yang paling parah terdampak banjir di Petukangan Utara.
”Permukiman warga jelas lebih rendah dari jalan raya, jadi semua RT di RW 009 banjir kemarin. Tanggul saluran Swadarma seharusnya disamakan tingginya. Sekarang semuanya jadi sia-sia. Kami biasanya banjir selalu bulan Februari. Sekarang, Desember sudah banjir besar. Terakhir 2019 siklus lima tahun, sekarang setiap tahun banjir,” ucapnya.
Secara terpisah, Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi menyebutkan, banjir di Petukangan Utara akibat limpasan aliran sungai dari hulu dan curah hujan lokal yang tinggi di beberapa cekungan wilayah DKI Jakarta.
”Kejadian di Petukangan, pompa air harus menunggu saluran sampai agak surut, jadi bisa membuang air genangan ke saluran. Kalau saluran penuh, percuma dibuang karena akan balik lagi ke jalan,” katanya, Jumat (2/12/2022).
Kondisi ini diakui Koordinator Pompa Mobile Jakarta Selatan Agus Solahudin. Dia menyebutkan, pompa baru berfungsi ketika level air saluran sudah di bawah tanggul.
Menurut dia, intensitas hujan yang tinggi membuat aliran air dari Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten, dan Jalan Ciledug Raya, Jakarta Selatan, berkumpul di titik saluran Swadarma.
”Di Ciledug Raya belum ada pintu air. Kalau di sana sudah ada, Ciledug tidak tergenang. Tetapi, di saluran Swadarma akan tetap tergenang karena kekuatan pompa 500 liter per detik dan akan tetap banjir. Ketika intensitas hujan tidak terlalu tinggi, masih bisa dimaksimalkan,” katanya.
Agus menjelaskan, ada 10 unit pompa bergerak di wilayahnya. Selain itu, terdapat pompa apung sebanyak 36 unit.
Akan tetapi, kata Agus, pihaknya hanya memiliki lima personel untuk menangani seluruh wilayah di Jakarta Selatan dalam satu hari. Bahkan, ia harus mengajak dua sampai tiga personel yang tidak piket untuk bergabung bersama timnya hari itu dengan alasan loyalitas.
Operator pompa, Isratul, mengatakan, ketika ada permintaan menangani titik yang tergenang hanya ada dua orang sehingga harus dibagi-bagi ke titik wilayah lainnya. Kondisi yang terjadi saat ini, kata Isratul, satu titik genangan belum selesai, harus pindah ke titik genangan lainnya.
”Jadi, di satu titik hanya satu yang jaga sehingga kurang efektif. Yang penting bisa dioperasikan dulu, nanti pindah lagi ke titik lainnya. Kadang yang sedang libur kami panggil untuk membantu. Harusnya ada penambahan operator,” ucapnya di Rumah Pompa Perdatam.
Menurut dia, satu mobil seharusnya ada lima operator karena alat yang ada di pompa mobile cukup berat, yaitu sekitar 100 kilogram. ”Tidak mungkin satu orang atau dua orang,” ujarnya.
Titik rawan
Dosen planologi Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mengatakan, meskipun tidak bisa dihindari, risiko banjir ataupun genangan bisa ditangani dengan mengurangi durasi waktu genangan. Penanganan yang komprehensif dapat membuat banjir atau genangan lebih cepat surut, misalnya dari enam jam menjadi dua jam.
Normalisasi dan proyek besar lainnya tidak bisa dilaksanakan dalam waktu cepat. Saat ini yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kapasitas pompa di titik paling rawan genangan dan banjir.
”Di musim hujan saat ini, yang harus digaungkan siaga 1 pompa. Pompa harus siap setiap ada potensi curah hujan yang besar dengan memanfaatkan informasi data dari BMKG,” katanya.
Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang lengkap dan terstruktur menjadi informasi petugas di lapangan untuk mengambil keputusan. Selain itu, pengecekan kapasitas pompa, seperti kerusakan, pengurangan, atau sampah yang menumpuk, juga harus sering dilakukan.
Sumber daya manusia, tambah Yayat, harus dioptimalkan di setiap stasiun pompa dengan menempatkan petugas 24 jam di titik-titik curah hujan yang tinggi sebagai langkah strategis untuk mengurangi persoalan genangan atau potensi banjir yang lebih besar.
Sistem perbaikan harus dilakukan di saluran-saluran yang berfungsi mengalirkan air dari kawasan yang rawan tergenang atau banjir. Kolam retensi juga harus dipersiapkan untuk ruang parkir air sementara ketika saluran sedang penuh.
”Lahan di tengah kota terbatas. Di tengah kota perlu dicadangkan kolam retensi yang dianggap bisa menolong dalam kondisi darurat banjir,” ujarnya.