Antisipasi Potensi Banjir Awal Tahun di Jakarta, Pengerukan dan Pembuatan Tanggul Tidak Cukup
Menjelang datangnya puncak musim hujan, kawasan rawan banjir di DKI Jakarta harus bersiap. Pembuatan tanggul dan pengerukan saluran air tidak cukup.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Upaya pembuatan drainase, pengerukan saluran air, pembuatan tanggul, dan penyiapan pompa air dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengantisipasi potensi banjir di awal tahun. Namun, pengamat tata kota menilai, upaya itu tidak cukup.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG memprediksi puncak musim hujan di wilayah DKI Jakarta akan berlangsung pada awal tahun 2023. Sejumlah wilayah rawan banjir di DKI Jakarta mulai mengantisipasi datangnya cuaca ekstrem tersebut.
Ketua BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan, puncak musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia akan berlangsung pada Desember 2022 hingga Januari 2023. Khusus DKI Jakarta, puncak musim hujan diperkirakan pada Januari 2023 sampai Februari 2023. Dengan meningkatnya curah hujan tersebut, potensi kejadian cuaca ekstrem pun semakin turut meningkat.
"Di DKI Jakarta dan berbagai wilayah Indonesia perlu terus meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan untuk menghadapi cuaca ekstrem dengan mitigasi yang tepat terhadap potensi bencana Hidrometeorologi basah, seperti angin kencang disertai kilat petir, banjir, banjir bandang, longsor atau tanah bergerak, serta gelombang tinggi di pantai dan lautan," kata Dwikorita saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (19/11/2022).
Dwikorita menambahkan, peringatan tersebut telah disampaikan kepada Kepala Daerah dan Provinsi di berbagai wilayah di Indonesia pada Oktober agar mulai waspada. Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) DKI Jakarta, lanjut Dwikorita, juga telah menindaklanjutinya dengan mengunjungi BMKG secara langsung untuk berkoordinasi lebih lanjut.
BPBD DKI Jakarta memetakan 25 wilayah rawan banjir di DKI Jakarta, antara lain Kelurahan Kedoya Utara, Jakarta Barat, Kelurahan Ulujami Jakarta Selatan, Kelurahan Bidara Cina, Jakarta Timur, dan Kelurahan Rorotan, Jakarta Utara. Wilayah-wilayah tersebut rata-rata berada di area bantaran kali (Kompas.id, 17/11/2022).
Untuk mengantisipasi potensi bencana banjir, selama 2019 hingga 2021, DSDA DKI Jakarta telah membangun 29.565 sumur resapan dan 249 sumur resapan selama 2022. Adapun untuk pembangunan sumur resapan, pemanenan air hujan, dan konservasi air tanah, pada 2023, anggaran yang diusulkan sekitar Rp 19,7 miliar (Kompas.id, 17 November 2022).
DSDA DKI Jakarta juga membangun dan memperbaiki sejumlah drainase. Kepala DSDA DKI Jakarta Yuzmada Faizal mengatakan, drainase yang dibangun mampu menampung curah hujan 50 sampai 100 milimeter per hari. Selain itu, dilakukan pengurasan saluran dan kali, serta terdapat juga petugas dan pompa untuk mengantisipasi banjir sejak dini di area rawan genangan (Kompas.id, 8/11/2022)
Wilayah rawan banjir
Salah satu wilayah yang rawan banjir adalah Kelurahan Petukangan. Agus Solahudin (48), warga Kelurahan Petukangan Utara, Jakarta Selatan, mengaku, banjir selalu terjadi saat intensitas hujan tinggi. Saluran penghubung Swadharma di wilayah Petukangan, yang mengalir sepanjang kira-kira 150 meter, tidak mampu menahan debit air sehingga air masuk ke permukiman warga.
"Terakhir kali banjir seminggu lalu sampai sekitar 40 sentimeter. Beberapa warga langsung mengungsi dan menyelamatkan barang-barang berharga," kata Agus.
Aliran saluran air Swadharma yang berwarna kehijauan itu tampak tidak begitu deras. Dari penelusuran Kompas sejauh kurang lebih 200 meter, aliran air tersebut sempat beberapa kali menyempit sekitar 50 sentimeter karena ada bangunan warga yang menjorok ke aliran tersebut.
Dua faktor yang membuat luapan aliran saluran penghubung tersebut membeludak ke arah permukiman warga, adalah tanggul yang masih rendah dan penyempitan aliran sungai oleh bangunan warga. Sementara itu, pompa air yang ada di wilayah tersebut hanya mampu membantu warga untuk menyedot air pascabanjir.
Sebagai Penanggung Jawab Lapangan Suku Dinas Jakarta Selatan, Agus mengatakan, pembangunan tanggul sedang diajukan. Selain itu, ada dua pintu air di saluran penghubung Swadharma juga tengah diajukan. Saat ini, juga tengah dibangun saluran penghubung antara saluran Swadharma ke Sungai Pesanggrahan.
"Jadi, pembenahannya bertahap. Pertama itu pembuatan tanggul karena lihat sendiri itu bagian tanggul yang ke arah permukiman lebih rendah ketimbang tanggul yang mengarah ke jalan. Nah, kalau pengerukan itu rutin diadakan juga ya," lanjut Agus.
Kalau hujan ekstrem, banjir sudah tidak mungkin dihindari lagi, kecuali ada penanganan yang juga ekstrem seperti penggunaan kolam retensi dan normalisasi sungai.
Wilayah lain yang juga rawan banjir adalah Kelurahan Kedoya Utara. Aprilia (21), warga Kedoya Utara, menyampaikan, terakhir kali banjir yang terjadi pada minggu lalu mencapai 40 sentimeter. Meski warga telah berupaya membuat tanggul dengan urukan tanah di pinggiran saluran penghubung tersebut, saat debit air tinggi tetap meluap melalui jembatan.
Saluran penghubung berukuran sekitar satu meter, berada bersebelahan dengan rumah warga. Air yang menggenang hanya berjarak kira-kira 20 sentimeter dari bawah jembatan. Terlihat pula sejumlah sampah-sampah plastik mengambang di sana.
"Paling sampai selutut. Itu aja cuma di rumah-rumah sekitar saluran. Mungkin karena di sini (saluran air) jarang dikeruk ya," tutur Aprilia.
Dosen Planologi Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan, faktor penyebab banjir di DKI Jakarta adalah intensitas hujan dan kapasitas sistem penanggulangan banjir. Pembersihan atau pemeliharaan rutin hanya sebagai langkah antisipasi saat curah hujan sedang.
"Kalau hujan ekstrem, banjir sudah tidak mungkin dihindari lagi, kecuali ada penanganan yang juga ekstrem seperti penggunaan kolam retensi dan normalisasi sungai," kata dia.
Yayat menambahkan, pengerukan lumpur di saluran air, pembuatan tanggul, dan pengadaan pompa air tidak bisa mengatasi permasalahan utama banjir di DKI Jakarta. Bagi Yayat, saluran air harus kembali pada fungsinya, yakni menampung air.
Menurut Yayat, kata kunci penanggulangan banjir adalah menata ulang sistem tata air yang ada di permukiman. Perihal tatanan saluran air, Yayat menambahkan, di DKI Jakarta terjadi konflik tata ruang antara manusia dan air. Lalu, pemetaan saluran air juga harus dipetakan sehingga dipastikan dapat berfungsi dengan baik.
"Jadi, kalau kita sakit, tahu penyebabnya di mana. Pompa tanpa sistem penyaluran air yang jelas itu sulit. Kalau bisa, sistem pompa itu dilengkapi dengan kolam retensi," lanjut Yayat.