Meski Tidak Nyaman di Pengungsian, Sebagian Penyintas Tak Punya Pilihan
Meski dekat dengan harta benda yang tersisa, kesehatan warga jadi taruhannya. Anak-anak mengalami demam, flu, diare, batuk, dan gatal-gatal. Selain cuaca, sanitasi di pengungsian juga tidak ideal.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
CIANJUR, KOMPAS — Sebagian pengungsi di Cianjur, Jawa Barat, masih bertahan di tenda pengungsian yang dekat dengan reruntuhan rumahnya. Meski hidup tidak nyaman di pengungsian, mereka tak punya pilihan. Mereka memilih tinggal di pengungsian karena cemas tidak mendapat bantuan, hendak menjaga harta benda, dan tidak memiliki kerabat untuk dituju.
Sebelumnya, sebagian penyintas disebut mulai meninggalkan pengungsian. Bahkan, ada sebagian yang kembali ke rumahnya masing-masing. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebut mereka sudah diperbolehkan pulang selama dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan tempat tinggalnya dipastikan aman dari dampak gempa.
Eti (55), pengungsi di RT 004 RW 004 Desa Cikanyere, Kecamatan Sukaresmi, misalnya, memilih bertahan di tenda pengungsian. Hanya beralas tikar 2 meter x 5 meter, dia tinggal dengan pengungsi lain bersama bebek peliharaannya. Hanya beratap terpal, mereka rawan terpapar udara dingin saat malam hari.
Di tengah kondisi serba terbatas itu, Eti mengatakan enggan pindah. Dia ingin dekat dengan reruntuhan rumahnya. Di sana, ia masih menyimpan berbagai barang miliknya. Bahkan, saat gempa susulan terus terjadi, Eti masih enggan pergi.
”Tadi pagi itu terasa ada gempa. Satu tenda langsung keluar karena panik,” kata Eti.
Tenda pengungsian yang ditempati Eti adalah satu dari total lima pos yang ada di Cikanyere. Dengan jalan naik turun berlumpur, pengungsian itu berjarak 16 kilometer dari Kantor Bupati Cianjur.
Ketua RT 004 Parman mengatakan, kelima posko tersebut dihuni lebih kurang 400 orang. Sekitar separuhnya memadati dua pos pengungsian darurat. Selain warga Cikanyere, ada juga pengungsi dari Desa Cipanas.
”Warga ingin tetap di sini karena takut tidak tercatat saat ada bantuan,” ujarnya.
Siti Aisyah (22), warga Desa Cikanyere, juga memilih tinggal di pengungsian ketimbang mengisi rumah kontrakannya di Cianjur. Sebelumnya, dia bekerja di pusat kota Cianjur.
Di Cikanyere, dia tinggal bersama suami dan anaknya di tenda berukuran 4 m x 10 m. ”Rumah tetangga kontrakan saya ambruk. Makanya, saya pulang kampung sementara,” katanya.
Meski dekat dengan harta benda yang tersisa, kesehatan warga di pengungsian menjadi taruhannya. Anak-anak mengalami demam, flu, diare, batuk, dan gatal-gatal. Selain cuaca, sanitasi di pengungsian juga tidak ideal.
”Sanitasi di pengungsian yang pernah saya datangi enggak bagus. Minimal, antara dapur dan tempat tidur harus terpisah,” kata Sopi Yani Kania, anggota Tim Medis Rumah Sakit Paru Gunawan di Cisarua, Bogor, seusai memeriksa warga di Desa Cikanyere.
Selain di Desa Cikanyere, pengungsi di Desa Pakuon juga memilih bertahan. Mereka tinggal di tenda terpal, plastik, serta kandang domba.
Ucu (45), warga RT 002 RW 006, Desa Pakuon, enggan pindah ke rumah kerabatnya di Bogor. Ia merasa punya banyak barang berharga yang harus dijaga.
”Nyaman tidak nyaman, saya tetap di sini saja meskipun di tenda kalau panas, kepanasan, dan kalau dingin, kedinginan. Belum lagi kalau hujan tendanya bocor,” kata Ucu sembari menggendong cucunya.
Sementara itu, suami-istri Uus (36) dan Aisyah (32) mengatakan tidak punya tempat alternatif mengungsi lainnya. Kerabat mereka di Cipanas, Cianjur, juga terdampak gempa.
”Masih takut juga sebenarnya kalau gempa susulan, tetapi saudara saya juga kena gempa. Jadi, mau tidak mau tetap di sini,” kata Uus.