Korban Berlindung di Tenda Beratap Plastik hingga di Kandang Kambing
Kebutuhan warga terdampak gempa akan hunian sementara yang layak belum semuanya terpenuhi. Sebagian korban masih tinggal di tenda beratap plastik seadanya, bahkan di kandang kambing. Air bersih masih amat terbatas.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
CIANJUR, KOMPAS — Ketersediaan tenda layak pakai bagi para pengungsi terdampak gempa di Cianjur, Jawa Barat, masih terbatas. Para pengungsi terpaksa membangun tenda dengan bahan alakadarnya, seperti terpal dan plastik. Lokasi pengungsian mandiri ini tersebar di kebun milik warga hingga kandang kambing.
Di sebuah tanah lapang seluas 10 meter x 25 meter, tenda-tenda darurat warga RT 002 dan RT 004 RW 006, Desa Pakuon, Sukaresmi, Cianjur, didirikan. Mereka tinggal di tenda tersebut setelah gempa bermagnitudo 5,6 pada Senin (21/11/2022) lalu menghancurkan rumah mereka.
Sekitar 500 orang tersebar di tenda-tenda yang cukup berdekatan tersebut. Beberapa tenda berukuran 2 meter x 2,5 meter saja dibangun di atas tanah dengan memanfaatkan terpal ataupun plastik seadanya. Terdapat satu tempat pengungsian utama, yakni di sebuah kebun tanaman warga yang juga beratapkan plastik.
”Kalau nyuci-nyuci atau mandi kebanyakan di kali karena kalau di rumah masih waswas rasanya,” kata Imas Nurhasanah (38), salah satu warga terdampak, Sabtu (26/11/2022).
Sungai yang dimaksud berjarak sekitar 50 meter dari posko darurat warga. Kondisi arusnya yang tak cukup deras dimanfaatkan para pengungsi untuk mandi, cuci, ataupun buang hajat. Di aliran yang sama, sampah-sampah mengambang.
Isma dan sejumlah warga lain takut jika harus kembali ke rumah. Mereka khawatir saat harus berlama-lama di dalam rumah, terlebih beberapa kali gempa susulan mengguncang wilayah itu.
”Takut kalau balik ke rumah. Harus ditemenin laki-laki,” lanjut Isma saat tengah memasak di dapur umum.
Dapur umum pengungsian itu tergabung dengan tenda tempat para warga beristirahat. Terlihat sejumlah perempuan tengah menyiapkan hidangan bagi para pengungsi. Dalam satu kali menanak, beras yang dibutuhkan para pengungsi tersebut sekitar 50 liter.
Didin Safrudin selaku koordinator pengungsian mengatakan, pascagempa melanda wilayah tersebut, warga mengeluarkan apa pun yang mereka miliki. Tak pelak, dirinya juga turut menyumbang beras untuk warga di pengungsian.
”Awalnya, kami menggunakan terpal milik warga dan plastik yang biasa untuk berkebun itu karena tidak tahu mau pakai apa lagi. Setelah itu, ada sumbangan tenda dari Kemensos (Kementerian Sosial) dan ada dari TNI AL,” kata Didin.
Didin menambahkan, secara keseluruhan warga RW 006 yang terdampak berjumlah 1.061 jiwa. Selanjutnya, jumlah anak-anak yang terdampak mencapai 520 orang, warga lanjut usia 60 orang, dan ibu hamil 14 orang.
Untungnya ada majikan yang menawarkan. Tenda pengungsian di sana juga penuh, apalagi keluarga kami ada banyak.
Selain memberikan tenda secara cuma-cuma, TNI AL menyalurkan bantuan logistik berupa beras, mi instan, air mineral, popok sekali pakai, makanan bayi, tenda, masker, dan obat-obatan. Bersama rombongan satu peleton yang terdiri dari pasukan motor trail dan tenaga medis, Satuan tugas tanggap Bbencana itu pertama kali memberikan bantuan kepada warga.
Dokter TNI AL, Ady Prasojo, mengatakan, warga yang datang hari ini rata-rata sakit demam, batuk, pilek, diare, flu, lemas, dan maag. Menurut dia, penyakit tersebut terjadi akibat faktor cuaca, pola makan, makanan yang dikonsumsi, dan kurang istirahat.
”Kalau untuk sanitasi, idealnya dapur umum dan tempat tidur itu terpisah. Tapi, karena situasinya seperti ini, jumlah tenda terbatas, mau bagaimana lagi?” katanya.
Posko mandiri
Kondisi yang tidak laik itu juga ditemukan di sejumlah posko mandiri milik warga di RT 003. Nur Nurijah (38) beserta keluarga terpaksa memanfaatkan kandang kambing milik majikannya. Begitu gempa meluluhlantakkan rumah yang dihuni empat keluarga itu, sang majikan menawarinya tempat hunian sementara.
”Untungnya ada majikan yang menawarkan. Tenda pengungsian di sana juga penuh, apalagi keluarga kami ada banyak,” kata Nur.
Keluarga yang berjumlah 15 orang itu terdiri dari ayah, ibu, anak, dan cucu. Di atas papan yang dibuat setinggi sekitar 40 sentimeter dan memiliki luas 5 meter x 2 meter itu, keluarga Nur tidur serta beraktivitas berhadap-hadapan dengan enam kambing.
Sebelumnya, mereka bertahan di tanah beralas tikar. Namun, hujan yang kerap melanda membuat tempat tidur mereka terendam air. Di kandang itu, mereka membuat alas tidur dari sisa-sisa puing bangunan rumah.
Untuk memenuhi kebutuhan air untuk mencuci, mandi, dan minum, keluarga tersebut mengandalkan aliran kali kecil yang berjarak sekitar 10 meter dari hunian sementara mereka. Air untuk minum itu dimasak di atas kompor tepat di depan kambing-kambing yang memakan rumput.
Di sisi lain, Siti Fatimah (27) masih ingat betul peristiwa kelam pada Senin lalu. Sembari menunjukkan kondisi rumahnya yang hancur, Siti mengatakan, kembali ke rumah membuatnya merasa sedih.
”Untungnya waktu gempa anak-anak dan orang rumah lainnya tidak ada di ruangan yang hancur. Gempa waktu itu tidak mengguncang ke samping, tapi saya merasanya dari atas ke bawah. Saya takut waktu masuk rumah ini lagi, jadi teringat kejadian waktu itu,” ujar Siti berkaca-kaca.
Selain keluarga Nur yang berdesakan di sebuah hunian sementara, sekitar 5 meter di sebelah hunian itu terdapat juga tenda darurat berwarna biru. Dalam satu tenda yang berukuran kira-kira 10 meter x 5 meter itu, 20 keluarga atau hampir 60 orang berteduh di dalamnya.
Ujang (65) adalah satu-satunya lelaki yang turut tinggal di sana. Ia hanya terbaring lemas dan tidak mampu menggerakkan tubuhnya pascagempa. Menurut warga, sebelumnya Ujang pernah mengidap stroke dan insiden gempa itu membuatnya syok.
”Waktu itu saya sedang berada di dekat kandang ayam. Tiba-tiba saya melihat rumah saya hancur,” katanya terbata-bata.