Petugas Sekuriti Stasiun Duri Aniaya Warga karena Bakar Sampah
Dua petugas sekuriti main hakim sendiri dengan memborgol, melukai badan, sampai membotaki AZ (21) yang ketahuan membakar sampah.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua petugas keamanan Stasiun Duri, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, menganiaya seorang pemuda setelah tertangkap membakar sampah di sekitar pinggir rel kereta. Meskipun aksi menyalakan api berisiko membahayakan stasiun, perbuatan main hakim sendiri tidak dibenarkan.
Polsek Tambora menahan dua petugas keamanan stasiun berinisial DI (25) dan SB (20) setelah mendapat laporan dari keluarga pemuda berinsial AZ (21). Keduanya dilaporkan dengan Pasal 170 Kitab Undan- undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pengeroyokan dengan ancaman 5 tahun 6 bulan penjara.
"Pelaku mengakui perbuatannya. Dalam keterangan BAP, mereka mengaku kesal sama anak itu (AZ) karena enggak mengaku (membakar sampah) dan keterangannya berubah-ubah,” kata Kapolsek Tambora Komisaris Putra Pratama, di Jakarta, Rabu (9/11/2022).
Penganiayaan itu berawal saat pelaku memergoki AZ membakar sampah pada Kamis (3/11/2022) malam. AZ membakar sampah dekat rel di samping Stasiun Duri. Meski apinya tidak besar, petugas sekuriti berinisiatif menindak karena khawatir bisa membesar dan mengakibatkan kebakaran.
Petugas sekuriti menggiring AZ ke stasiun untuk diinterogasi. Saat dimintai keterangan, AZ memberikan jawaban yang berbelit sehingga DI dan SB memilih main hakim sendiri. Mereka memborgol AZ ke kursi.
Mereka juga memukul AZ dengan selang air dan sarung samurai di bagian punggung, lengan, dan paha kanan. Tidak sampai di situ, rambut AZ juga dicukur menggunakan alat cukur listrik hingga botak. Pemuda yang tinggal di sekitar stasiun itu pun baru dilepas Jumat (4/11/2022) sekitar pukul 07.00.
Setelah kejadian itu, keluarga AZ mendatangi Stasiun Duri untuk meminta klarifikasi. Petugas stasiun bersama dengan tim pengamanan Stasiun Duri melakukan mediasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan, tetapi pihak keluarga tetap melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian.
Leza Arlan, Manager External Relations & Corporate Image Care KAI Commuter, membenarkan adanya aksi petugas keamanan mereka. Langkah pengamanan diambil karena aksi warga membakar sampah di sekitar jalur rel tersebut berisiko membahayakan perjalanan kereta dan keselamatan penumpang.
”Sesuai aturan Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, setiap orang dilarang berada di ruang manfaat jalur kereta api dan merupakan daerah yang tertutup untuk umum. Apabila terjadi pelanggaran akan hal tersebut, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 15 juta,” katanya.
Di sisi lain, pihak KAI Commuter menyatakan tidak membenarkan sikap petugas mereka. Mereka pun berjanji memperbaiki pelayanan petugas. ”KAI Commuter juga akan memberi sangsi tegas sesuai dengan prosedur kepada petugas jika terbukti melakukan pelanggaran hukum,” kata Leza.
Main hakim sendiri
Polisi menyayangkan perbuatan main hakim sendiri petugas keamanan stasiun.
”Sebenarnya masih bisa pembinaan ke RT, RW, atau keluarganya. Kalau memang mengulangi lagi, kan, bisa proses pidana, kalau terbukti unsur pengerusakan atau pembakarannya,” ujar Putra.
Hal lain yang disayangkan dari kejadian penganiayaan itu adalah pelaku tidak paham kondisi AZ yang memiliki keterbelakangan mental. Putra mengatakan, keluarga AZ yang memiliki Pondok Pesantren Assalafiyah di Tambora menyebut pemuda itu mengidap down syndrome.
”Petugas sekuriti ini sering lihat korban main di sekitar stasiun, tetapi mereka tidak tahu,” katanya.
Sepanjang tahun 2021, main hakim sendiri mendominasi kekerasan kolektif di Indonesia. Data yang dihimpun Collective Violence Early Warning (CVEW) dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis pertengahan tahun ini melaporkan, ada 1.221 insiden kekerasan kolektif. Kekerasan kolektif adalah penggunaan atau ancaman kekuatan fisik yang disengaja dan dilakukan oleh atau terhadap sekelompok orang.
Sebanyak 40,7 persen kekerasan kolektif terjadi karena main hakim sendiri dan mengakibatkan 636 korban jiwa. Pelaku main hakim sendiri 74,09 persen di luar dari instansi negara. Mereka di antaranya anggota geng, himpunan mahasiswa, dan perusahaan swasta.