Sambil menunggu hasil investigasi penyebab gagal ginjal akut, masyarakat dapat menggunakan cara tradisional untuk meredakan sakit.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga DKI Jakarta kembali menerapkan pengobatan tradisional untuk meredakan sakit pada anak. Hal itu dipicu oleh larangan penggunaan obat sirop dan merebaknya kasus ginjal akut pada anak.
Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta per 22 Oktober 2022, mencatat, sebanyak 86 kasus gagal ginjal akut terjadi di DKI Jakarta. Jumlah tersebut merupakan kumulatif sejak Januari 2022. Penyebabnya, diduga kandungan ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG) pada beberapa jenis obat sirop (Kompas.id, 22/10/2022).
Pada Senin (24/10/2022), sejumlah warga yang berobat di Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, mengatakan, mereka memakai kembali pengobatan tradisional sejak merebaknya kasus gagal ginjal akut. Misalnya Yuli Hariyanti (30), warga Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat, menggunakan kearifan lokal yang telah turun-temurun digunakan.
”Baru akhir-akhir ini nyoba (pengobatan tradisional) lagi. Kalau anak demam, bawang merah diparut, lalu dicampur jeruk nipis atau asam jawa. Setelah itu dioleskan pada seluruh badan dan sedikit di dahi,” ujarnya sambil menggendong anaknya yang berusia 8 bulan.
Selain itu, ada juga Dwi Setiarini (39), warga Kelurahan Manggarai Utara, Jakarta Selatan, yang menggunakan campuran bawang merah dan minyak zaitun. Tercium aroma bawang yang kuat dari anaknya yang berusia 3 tahun.
Penggunaan cara tradisional itu juga akibat dari kebingungan masyarakat untuk memilih obat yang cocok. Saat berobat ke puskesmas atau rumah sakit akan diberikan obat dalam bentuk puyer atau tablet. Anak usia bawah 5 tahun (balita) cenderung tidak suka karena rasanya pahit.
”Sebelum gagal ginjal akut ramai, saya biasanya beli obat sirop untuk anak saya. Sekarang, harus langsung ke puskesmas. Biasanya dikasih obat bentuk puyer yang tidak cocok untuk anak saya,” ujar Cici Nurul (33), warga Kelurahan Kemanggisan, Jakarta Barat.
Anaknya yang berusia 10 bulan harus dipaksa untuk minum obat, khususnya nonsirop. Kalau diberi obat tablet atau puyer selalu menangis. Terkadang, obat yang diminum anaknya dimuntahkan kembali.
Pemakaian madu
Oleh karena itu, Zaskia Ramadhani (23), warga Kelurahan Manggarai Selatan, Jakarta Selatan, mencampurkan madu pada obat puyer atau tablet yang harus dikonsumsi anaknya. Madu dioleskan pada mulut anak atau dicampur dalam obatnya.
”Setahu saya, madu itu aman untuk dicampurkan pada apa pun. Anak saya juga jadi mau minum obat kalau diolesin madu di mulutnya,” katanya.
Menurut dokter spesialis anak, Yanti Susianti, pemberian madu hanya boleh pada anak usia 1 tahun ke atas. Untuk anak usia di bawah 1 tahun dapat diganti dengan pemanis seperti gula alami, jika anak memuntahkan obat karena pahit.
Sementara itu, untuk penggunaan bawang merah memang sejak dahulu telah dilakukan. Bawang merah mengandung flavonoid yang berperan sebagai anti radang dan menurunkan demam. Zat tersebut melebarkan pembuluh darah sehingga dapat menurunkan demam.
”Tetapi penggunaan (bawang merah) yang terlalu banyak dapat menyebabkan iritasi di kulit. Hal itu akan menyebabkan anak bertambah rewel dan mengganggu waktu tidurnya,” ujarnya.
Investigasi dari Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih dilakukan. Sambil menunggu hasilnya, orangtua dapat menggunakan bawang merah yang dicampur minyak kelapa sebagai alternatif menurunkan demam.
Deteksi dini
Ahli Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rianto Setiabudy, dalam Forum Komunikasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pada Minggu (23/10), menyebutkan, terdapat beberapa kemungkinan anak keracunan EG dan DEG. Di antaranya bahan baku obat tercemar, obat yg dibuat palsu, dan anak mengonsumsi makanan lain seperti gula serta es krim.
”Orangtua diharapkan waspada dan terus mendeteksi secara dini gejala gagal ginjal akut pada anak. Karena ketika sudah menjadi gagal ginjal permanen, obat pun tidak dapat menyembuhkannya,” ujarnya.
Gejala gagal ginjal akut yang harus diperhatikan adalah diare, mual, muntah, demam, batuk, atau pilek. Selain itu, Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama, menyebutkan gejala lainnya adalah anak jarang buang air kecil dalam waktu 24 jam. Oleh karena itu orangtua dapat memantau pola buang air kecil pada anak (Kompas.id, 22/10/2022).