Dinkes DKI Jakarta Catat 86 Kasus Gagal Ginjal di Jakarta
Jumlah kasus gagal ginjal akut di DKI Jakarta kembali naik. Pemerintah menekankan pentingnya pelibatan masyarakat agar deteksi penyakit bisa dilakukan sejak dini.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Hingga 22 Oktober 2022, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, mencatat sebanyak 86 kasus gagal ginjal terjadi di Jakarta. Jumlah ini merupakan angka kumulatif sejak Januari 2022. Upaya deteksi dini perlu dilakukan, salah satunya mengimbau masyarakat untuk aktif memantau kasus ini di lingkungan masing-masing.
Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta Ngabila Salama menjelaskan, jumlah kasus gagal ginjal akut di Jakarta mengalami kenaikan tajam pada bulan Agustus dan September apabila dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Berkaca pada kenaikan tersebut, pihaknya telah melaporkan temuan tersebut kepada Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Anak Indonesia untuk diselidiki penyebabnya.
”Kasus gagal ginjal akut sejak di awal tahun per bulannya hanya 1-2 saja, tapi di Agustus naik jadi belasan kasus, ini sudah alarming, kita langsung laporkan ke Kemenkes untuk diselidiki,” ujarnya pada Sabtu (22/10/2022).
Sebagai informasi, berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta sejak Januari 2022-September 2022, jumlah kasus setiap bulannya adalah Januari (2 kasus), Maret (1 kasus), Mei (3 kasus), Juni (2 kasus), Juli (1 kasus), Agustus (11 kasus), dan September (19 kasus). Kenaikan kasus jelas terlihat mulai Agustus.
Dengan total 86 kasus hingga 22 Oktober 2022, dapat disimpulkan terjadi penambahan 47 kasus sejak September 2022.
Ngabila menyebut, dari total kasus yang diselidiki, 80 persennya diderita anak-anak berusia 1-5 tahun. Sebagai antisipasi, ia mengingatkan orangtua rutin memantau kondisi anaknya, salah satunya mengenai pola waktu buang air kecil.
”Pemantauan terhadap anak-anak bisa dilakukan dengan melihat pola waktu buang air kecil. Bila anak-anak sudah mulai jarang buang air kecil dalam waktu 24 jam, itu adalah gejala awal kasus ginjal, perlu dibawa ke puskesmas,” ucapnya.
Hindari penggunaan obat sirop, dan gunakan obat jenis lain seperti tablet, kaplet, atau puyer. (Kasie Kefarmasian Dinkes DKI Jakarta Hari Sulistiyono)
Selain itu, ia menganjurkan warga untuk tidak terburu-buru memberikan obat sirop apabila anak sedang sakit, karena zat di dalam obat sirop, yaitu etilen glikol (EG) dan detilien glikol (DEG), diduga kuat menjadi penyebab melonjaknya kasus. Ia menyarankan agar penanganan demam pada anak dilakukan dengan cara lain seperti menjaga kebutuhan cairan anak, mengompres dengan air hangat, ataupun menggunakan selimut tipis pada anak.
”Bila demamnya sudah mulai lebih dari 38 derajat, bisa dibawa ke dokter dan nanti diresepkan obat tablet ataupun puyer,” ucapnya.
Kepala Seksi Kefarmasian Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Hari Sulistiyono menjelaskan, orangtua tidak perlu khawatir mengenai pelarangan penggunaan obat sirop, karena masih banyak obat penurun panas lain berupa tablet, kaplet, ataupun puyer. ”Masih ada jenis obat lain yang bisa digunakan orangtua dan manfaatnya tetap sama,” ucapnya.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widiastuti menjelaskan, peran masyarakat dalam memantau kondisi kesehatan warga di tingat RT/RW sangat krusial, khususnya sebagai upaya deteksi dini. Ia menyebut, semakin cepat kasus ditemukan di tingkat lingkungan, semakin cepat pula penanganan bisa dilakukan.
Keterlibatan masyarakat dalam pemantauan dilakukan melalui kader kesehatan di kelompok Dasa Wisma di lingkup RT/RW. Kelompok Dasa Wisma merupakan tim yang berada di bawah Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga tingkat kelurahan, dan bertugas mendata masyarakat dan menyebarluaskan informasi mengenai masalah kesehatan, lingkungan, atau pendidikan.
”Dengan adanya peningkatan laporan kasus gagal ginjal, kader PKK perlu bahu-membahu mengedukasi masyarakat tentang kasus ini,” ucapnya.
Widiastuti juga menyebutkan, pemerintah pusat telah mengeluarkan edaran untuk tidak menggunakan obat sirop cair kepada anak-anak. Wakil Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Keri Lestari Dandan menyebutkan, IAI tidak menyarankan penjualan obat sirop. IAI menghargai langkah tersebut sebagai upaya menjaga keselamatan masyarakat Indonesia.
”IAI sudah mengimbau sejawat apoteker di seluruh Indonesia untuk mengikuti perintah Kemenkes. Dalam kondisi tertentu pasien sangat membutuhkan obat sirop, misalnya ketika kejang, maka dengan pertimbangan risiko dan manfaatnya, dokter dan apoteker bisa meresepkan obat sirop dengan catatan cocok dengan pasien, tidak pernah bermasalah, dan memperhatikan ambang batas yang ditentukan,” tuturnya (Kompas.id, 22/10/2022).