Hidup miskin di Jakarta itu tidak enak. Tidak bisa memilih di mana mau hidup dan selalu khawatir hari esok.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Agus (42) sedang menatap gubuknya di kolong jembatan, Penjaringan, Jakarta Utara. Agus bekerja serabutan, tetapi sering menjadi pemulung dengan penghasilan Rp 800.000 setiap bulan.
JAKARTA, KOMPAS — Penyandang masalah kesejahteraan sosial atau PMKS masih menjadi masalah yang belum terselesaikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga sekarang. Masih banyak ditemui PMKS di ruang publik Jakarta.
Merujuk pada definisi menurut Kementerian Sosial, PMKS merupakan seseorang atau keluarga yang karena suatu hambatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hambatan tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial, ataupun perubahan lingkungan.
Sebelumnya, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono memberi arahan khusus kepada semua kepala dinas, wali kota, camat, dan lurah se-DKI Jakarta. Ia meminta jajaran di bawahnya fokus membenahi program kerja masing-masing. Salah satu yang disorotnya adalah masalah PMKS yang masih marak di Tol Jatiwaringin.
Hidup miskin di Jakarta itu tidak enak. Tidak bisa memilih di mana mau hidup dan selalu khawatir hari esok (Agus, pemulung).
Selain Tol Jatiwaringin, di Penjaringan, Jakarta Utara, ada juga keluarga yang tinggal di bawah kolong jembatan. Mereka tinggal tepat di pinggiran Kali Opak.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Nurhayati (44) sedang mencuci tangan di sumur buatan di Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (19/10/2022). Sumur tersebut dalamnya 1,5 meter.
Saat ditemui hari ini, Rabu (19/10/2022), ada dua keluarga yang tinggal di sana, antara lain Agus (42) dan Nurhayati (44). Pasangan suami-istri itu memiliki KTP DKI Jakarta dan telah hidup 15 tahun di kolong jembatan, Penjaringan, Jakarta Utara. Agus bekerja serabutan, tetapi sering menjadi pemulung, dan Nurhayati menjadi penjual pempek keliling.
Gubuk mereka terbuat dari gabungan kayu tripleks bekas yang ditumpuk setebal 2 sentimeter. Luas gubuknya 4 meter x 2,5 meter, yang berisi lemari pakaian dan karpet sebagai alas tidur.
Bagian depan gubuknya berserakan sampah plastik dan sisa makanan. Tanah becek sesekali dilewati tikus yang berkeliaran bebas di pinggiran kali.
”Hidup miskin di Jakarta itu tidak enak. Tidak bisa memilih di mana mau hidup dan selalu khawatir hari esok,” ucap Agus.
Sekitar 400 meter dari gubuk Agus dan Nurhayati, ada beberapa gubuk dari tumpukan kayu tripleks yang dihuni tujuh pemuda. Pekerjaan mereka rata-rata serabutan, biasanya sebagai pengamen dan pemulung.
Di kawasan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang berjarak 2,6 kilometer dari Kantor Gubernur DKI Jakarta, setiap malam dipadati gelandangan dan pemulung yang tidur di sana.
”Di daerah itu (RPTRA Kebon Melati) memang banyak pemulung atau gelandangan yang tidur di sana. Mereka datang sekitar pukul 23.00, kemudian membubarkan diri di pagi hari,” ujar Yaya Mulyadi (58), Ketua RT 009 RW 005, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Mereka tidur beralaskan kardus dan terkadang di gerobak masing-masing. Pagi hari, mereka membubarkan diri untuk berjaga-jaga ketika ada petugas di sekitar sana.
Terkait temuan tersebut, Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Premi Lasari mengatakan akan menindaklanjutinya. Pihaknya juga berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi PMKS dan melakukan koordinasi dengan satpol PP untuk menjangkau mereka.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Suasana Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (19/10/2022). Gelandangan dan pemulung setiap malam tidur di kompleks RPTRA Kebon Melati.
”Programnya itu Asih Asuh. Masih berlangsung hingga saat ini dan dilaksanakan secara rutin dengan satpol PP,” ujarnya.
Operasi Asih Asuh, menurut Premi, dilakukan secara persuasif dan humanis. Operasi itu dilakukan dengan cara menjaring PMKS, pendataan, kemudian dibina di panti sosial.
Untuk memperluas jangkauan, petugas P3S ditempatkan pada titik rawan PMKS. Petugas P3S berkewajiban untuk memberikan pelayanan, pengawasan, dan pengendalian sosial kepada PMKS.
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menyebutkan, PMKS yang bukan berasal dari Jakarta lebih baik dikembalikan ke daerahnya lagi jika tidak mau dibina di panti sosial. Untuk yang berasal dari Jakarta diberikan bantuan sosial untuk membantu perekonomiannya.
”Akar masalahnya itu kemiskinan. Kemiskinan yang membuat mereka tinggal di kolong jembatan. Kalau mau, bisa saja mereka diberi pelatihan tertentu untuk meningkatkan kualitas hidupnya,” ujarnya.