Transjakarta Berupaya Tingkatkan Pendapatan Nontiket dengan Halte Ikonik
Transjakarta berupaya meningkatkan pendapatan nontiket lewat revitalisasi halte, penjualan hak penamaan halte bus, dan sertifikasi serta standardisasi pramudi, operator, dan pemerintah daerah.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transjakarta menargetkan pendapatan nontiket atau non-farebox sebesar 24 persen pada 2025. Upaya untuk mewujudkannya dengan revitalisasi halte, penjualan hak penamaan halte bus, dan sertifikasi serta standardisasi pramudi, operator, dan pemerintah daerah.
Direktur Pelayanan dan Pengembangan Transjakarta Lies Permana Lestari menyebutkan, revitalisasi halte merupakan upaya mengejar pendapatan non-farebox dengan tetap mengedepankan pelayanan. Transjakarta berupaya menciptakan ruang publik bagi pelanggan supaya mobilitas terjaga dan tetap produktif.
“Kami bukan komersialisasi ikon terbaik dari Jakarta saja, tetapi tingkatkan kenyamanan dan keamanan lebih kepada pelanggan. Target 24 persen masih dalam penyusunan anggaran. Belum bisa sampaikan angka pendapatannya,“ ucapnya seusai diskusi tentang menjaga keberlangsungan integrasi transportasi Jakarta, Jumat (14/10/2022).
Transjakarta tengah menjajaki penjualan hak penamaan halte bus setelah revitalisasi, sertifikasi, serta standardisasi pramudi, operator, dan pemerintah daerah. Sertifikasi dan standardisasi itu bakal dikemas sebagai inovasi untuk pengembangan bisnis dan pendapatan non-farebox.
Lies mengatakan, semua upaya tersebut tanpa mengesampingkan pelayanan. Misalnya, revitalisasi Halte Gelora Bung Karno yang kini lebih bagus, indah, dan nyaman.
“Selain revitalisasi, kami usahakan tingkatkan layanan secara aset dan optimalkan untuk pendapatan non-farebox. Coba kerja sama dengan perusahaan swasta atau badan usaha,“ katanya.
Polemik
Transjakarta merevitalisasi 46 halte sejak April 2022. Revitalisasi mencakup empat halte ikonik, empat halte integrasi, dan sebanyak 38 halte biasa.
Revitalisasi halte ikonik Bundaran Hotel Indonesia dan Tosari menjadi polemik karena bentuk bangunannya mengganggu visual Bundaran Hotel Indonesia dan Tugu Selamat Datang. Prosesnya juga dinilai tidak melalui diskusi atau pembicaraan dengan tim ahli cagar budaya dan tim sidang pemugaran DKI Jakarta.
Yayat Supriyatna, anggota Tim Ahli Bangunan Gedung DKI Jakarta, menuturkan, ada upaya menambah pendapatan non-farebox dalam revitalisasi Halte Bundaran Hotel Indonesia dan Halte Tosari. Fungsi halte dikembangkan menjadi ruang publik yang memungkinkan untuk berusaha karena sebagai badan usaha yang disubsidi, Transjakarta tetap mencari pendapatan melalui iklan, merchant, dan pemakaian nama atau tempat.
“Nilai jualnya visual ke arah Tugu Selamat Datang. Tapi, bentuk dan tingginya tak sesuai dengan estetika ruang. Ada poros utara dan selatan yang terganggu. Tidak bisa melihat kawasan secara lebih terbuka,“ kata Yayat selaku tim bidang arsitektur dan perkotaan.
Revitalisasi kedua halte ikonik tersebut, menurut dia, hendaknya menyelaraskan aspek layanan transportasi, integrasi, estetika ruang, dan pendapatan dari luar tiket. Dengan begitu, penumpang akan nyaman, pejalan kaki di sekitarnya tertarik beralih ke transportasi umum, dan halte jadi ruang publik.
Yayat mencontohkan revitalisasi Halte Cikoko Stasiun Cawang dan Halte Juanda. Revitalisasi yang berlangsung memperhatikan integrasi Transjakarta, KRL, dan memanusiakan pejalan kaki. Dengan demikian, halte bisa jadi ruang publik yang bisa jadi sumber pendapatan di luar tiket.
“Membuat nyaman pengguna dan pejalan kaki. Potensi tingkatkan pengguna angkutan dan fungsi ekonomi,“ ujarnya.