Warga Keluhkan Rencana Penerapan Retribusi Sampah Rumah Tangga
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mengkaji skema penerapan retribusi untuk pengangkutan sampah rumah tangga. Rencana ini mendapat kritik warga karena berpotensi menimbulkan masalah pembayaran ganda.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta sedang mengkaji aturan penerapan retribusi untuk pengelolaan sampah rumah tangga. Dalam kajian tersebut, warga dikenakan tarif retribusi untuk pengangkutan sampah rumah tangga. Hal itu dikeluhkan warga karena dapat menimbulkan masalah pembayaran ganda.
Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Erni Pelita Fitratunissa menjelaskan, pemerintah tengah membahas skema pembiayaan pengelolaan sampah di Jakarta, salah satunya dengan mengkaji penerapan sistem retribusi sampah rumah tangga.
Kajian penerapan tarif retribusi sampah rumah tangga dilakukan untuk mengetahui kemampuan ideal warga membayar retribusi pelayanan persampahan. Selain itu, DLH mengukur potensi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari penerapan retribusi ini.
”Ini adalah kajian awal untuk mengetahui besaran ideal tarif pengangkutan sampah rumah tangga di Jakarta,” ucap Erni dalam Public Expose Kajian Pembiayaan Pelayanan Sampah Jakarta di Balai Kota Jakarta, Kamis (13/10/2022).
Dari hasil Kajian Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta (2022), rata-rata warga Jakarta bersedia membayar Rp 30.815 untuk pelayanan pengangkutan sampah.
Dari hasil analisis besaran tarif retribusi DLH Jakarta, rata-rata warga Jakarta membayar biaya angkut sampah sebesar Rp 21.111 untuk keluarga kelas bawah, Rp 28.000 untuk keluarga kelas menengah, dan Rp 43.333 untuk keluarga kelas atas. Biaya ini dibayarkan warga sebulan sekali.
Selanjutnya, DLH DKI Jakarta mengukur tingkat kesediaan warga membayar (willingness to pay/WTP) biaya pelayanan persampahan apabila biaya naik. Untuk tingkat WTP, keluarga kelas bawah bersedia membayar Rp 23.222, keluarga kelas menengah sebesar Rp 30.639, dan keluarga kelas atas sebesar Rp 47.667. Dari hasil WTP, DLH mengetahui tarif ideal pelayanan persampahan di Jakarta.
”WTP ini adalah tingkat kesediaan membayar atau kerelaan masyarakat untuk membayar pelayanan sampah kalau biaya dinaikkan,” ujarnya.
Meskipun besaran ideal tarif pelayanan persampahan rumah tangga di Jakarta sudah dihitung, jumlah tersebut tidak serta-merta ditanggung masyarakat karena masih dibantu subsidi pemerintah. Pemerintah berencana menyubsidi tarif retribusi persampahan sebesar 75 persen.
Dengan itu, nilai retribusi yang dibayarkan masyarakat adalah tingkat WTP yang sudah dikurangi dengan subsidi pemerintah. Dari kajian tersebut didapatkan besaran retribusi yang nantinya dibayar setiap keluarga adalah Rp 15.571 untuk kelas miskin/bawah, dan Rp 49.689 untuk kelas menengah dan atas.
Dalam kajian tersebut, DLH mengategorikan masyarakat dalam tiga tingkatan kelas, yaitu miskin/bawah, menengah, dan atas. Kategorisasi didasarkan pada besaran sambungan listrik yang terpasang di rumah tangga, yaitu kelas miskin/bawah (450 VA), kelas menengah (900-2.200 VA), dan kelas atas (3.500-5.500 VA).
Penerapan tarif retribusi pelayanan sampah rumah tangga juga berpotensi menambah PAD Jakarta sebesar Rp 40.127.395.846. Selama ini, sampah rumah tangga tidak menjadi obyek retribusi. Mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 3/2012 tentang Retribusi Daerah, biaya pelayanan sampah rumah tangga adalah Rp 0. Hal ini karena penentuan besaran biaya diserahkan kepada masyarakat.
”Manfaat dari retribusi sampah ini agar meningkatkan kesadaran masyarakat mengurangi sampahnya dan mengelolanya secara bertanggung jawab,” ujarnya.
Hasil kajian skema retribusi pelayanan sampah rumah tangga ini mendapat kritik dari warga. Mereka berharap pemerintah menyiapkan mekanisme pengutipan retribusi sampah rumah tangga yang tepat untuk menghindari pembayaran ganda.
Sulistiorini (50), Ketua BPS (Bidang Pengelolaan Sampah) RW 002 Susukan, Ciracas, Jakarta Timur, menjelaskan, apabila kebijakan retribusi diterapkan, dirinya harus membayar biaya pengangkutan sampah sebanyak dua kali sebulan. Setiap bulan, Sulistiorini membayar Rp 20.000 per bulan kepada kepala rukun tetangga (RT) untuk biaya pengangkutan sampah.
”Kalau ada kebijakan ini, saya jadi bayar dua kali, pertama ke RT, kedua ke retribusi pemerintah. Saya jadi bayar dua kali, dong,” ujarnya.
Rini menambahkan, dirinya sudah berusaha keras mengajak warga untuk menurunkan jumlah sampah di wilayahnya, dengan bergabung sebagai anggota BPS. Ia menyebutkan, RW 002 banyak mendaur ulang sampahnya menjadi kompos.
”Sulit mengajak orang untuk gabung BPS, kita sekuat tenaga mengurangi sampah di RW, tapi ini malah mau dikenakan retribusi,” ucapnya.
Kami berusaha mengurangi sampah di wilayah, tapi masih bayar retribusi.
Hal yang sama diungkapkan Febrian (55), Ketua BPS RW 001 Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Ia meminta pemerintah untuk memastikan penerapan kebijakan retribusi tidak memberatkan warga. Ia pun menyarankan agar pemerintah mengintegrasikan sistem pengangkutan sampah oleh jasa petugas kebersihan dengan program pengangkutan sampah oleh pemerintah agar tidak membingunkan masyarakat.
”Kami di RW 001 bayar jasa petugas kebersihan per bulan. Kalau sudah bayar retribusi, apakah kami sudah tidak perlu bayar jasa petugas kebersihan?” tanya Febrian.
Kepala Subbagian Keuangan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Gugi Adi Putra menjelaskan, mekanisme pembayaran retribusi dan pengangkutan sampah masih dalam proses pembahasan. Untuk saat ini, DLH fokus pada penentuan besaran tarif retribusi.
”Mengenai proses pembayaran dan pengangkutan sampah rumah tangga masih dalam kajian. Kita sedang mengkaji agar tidak terjadi double counting (pembayaran ganda). Ini masih tahap awal, prosesnya masih panjang. Untuk saat ini, kita kaji soal tarif saja,” ucap Gugi.
Sebagai informasi, Pemprov DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur DKI Nomor 77 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Sampah Lingkungan Rukun Warga (RW) mewajibkan masyarakat di tingkat RW untuk membentuk Bidang Pengelolaan Sampah. BPS berfungsi untuk mengoordinasi pengangkutan dan pengurangan sampah di wilayahnya.
Direktur Lingkungan Hidup Direktorat Lingkungan Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam menjelaskan, tiga permasalahan sampah di Indonesia ialah minimnya fasilitas pengolahan sampah, sistem retribusi yang belum ideal, dan proses pemilahan sampah yang belum berjalan baik. Medril khusus menyoroti sistem retribusi yang dibebankan kepada keluarga di lingkungan tempat tinggal. Ia menyebut sistem dan tarif retribusi yang diterapkan belum optimal.
”Tarif masih terlalu rendah, tidak sesuai dengan nilai keekonomian dan operational cost, akibatnya pengelolaan sampah tidak optimal,” ucapnya (Kompas.id, 6/10/2022).
Rendahnya retribusi membuat kapasitas anggaran pemerintah daerah dalam menghadirkan sistem pengelolaan sampah yang baik sulit tercapai. Untuk itu, penyesuaian tarif retribusi dapat membantu pemerintah daerah mendapatkan pemasukan tambahan untuk mengembangkan sistem pengelolaan sampahnya.