Pemerintah Kota Bekasi serius menjadikan Kali Bekasi sebagai destinasi wisata alam utama. Namun, rencana tersebut terhambat sampah yang mengotori kawasan wisata itu.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS – Obyek wisata Taman Hutan Bambu di tepian Kali Bekasi menjadi destinasi alam pertama di tengah kota Bekasi. Masyarakat dan pemerintah tengah mengembangkan zona baru Taman Hutan Bambu di Jalan Letjen Sarbini, setelah sebelumnya dibuat di Jalan R.A Kartini. Upaya ini menghadapi tantangan, salah satunya sampah yang mengotori sungai, seperti terlihat, Rabu (5/10/2022).
Kepala Pengelola Taman Hutan Bambu Duddy (45) menerangkan, sampah akan banyak terlihat bila memasuki musim hujan. Meskipun begitu, tidak sepanjang tahun sampah memenuhi kali, hanya di bulan-bulan tertentu saja.
“Pemandangan dari seberang kali jadi tidak enak dilihat. Ada sampah yang tertambat, ada sampah yang menggenang terikut arus sungai,” ucapnya, kemarin.
Taman Hutan Bambu baru yang tengah dikembangkan terdapat di seberang lokasi taman yang sebelumnya telah dibangun. Keduanya dipisahkan oleh Kali Bekasi.
Pada Rabu itu, sampah banyak tersangkut di tepian Kali Bekasi di Jalan RA Kartini RT 4 RW 26. Dari Taman Hutan Bambu di Jalan Letjen Sarbini, sampah bisa langsung terlihat. Sampah didominasi plastik berupa bungkus makanan maupun minuman.
Selain sampah, tantangan lain yang dihadapi dalam mengembangkan Taman Hutan Bambu adalah minimnya akses menuju lokasi wisata.
Akses menuju ke tempat tersebut masih buruk
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Bekasi Rita Hartati menjelaskan, akses menuju lokasi wisata masih sempit. Jalan menuju Taman Hutan Bambu hanya bisa dilalui motor saja. Beberapa ruas jalannya pun masih belum diaspal. Kendaraan roda dua yang hendak menuju lokasi harus berhadapan dengan jalan tanah, yang saat hujan menjadi lumpur.
“Akses menuju ke tempat tersebut masih buruk,” katanya.
Mengenai sampah, pihak Disparbud terus berkoordinasi bersama Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi dengan menugaskan petugas katak untuk melakukan pembersihan sampah. Petugas katak merupakan petugas kebersihan yang berada di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi yang bertugas membersihkan sampah di daerah aliran sungai di Bekasi.
Hingga kini, Disbudpar belum menerapkan tarif masuk ke Taman Hutan Bambu. Hal ini dikarenakan nilai keekonomian serta potensi pendapatan dari Taman Hutan Bambu masih dalam perhitungan Pemerintah Kota Bekasi.
“Meski belum ada retribusi, warga tetap bisa masuk” ucapnya.
Warga yang tinggal di sekitar Kali Bekasi menampik bila dikatakan sampah berasal dari mereka. Qoriyah (51) warga yang tinggal di sisi Kali Bekasi mengaku tidak pernah membuang sampah ke sungai, melainkan ke tempat yang tersedia di depan rumahnya. Memang, hampir di setiap rumah di dekat lokasi wisata terpasang tong sampah.
“Saya bayar Rp 25.000 setiap bulan, sampah diangkut tiga hari sekali oleh petugas” ucapnya.
Hal yang sama juga diucapkan oleh Wiwi (41) dan Imah (50) warga yang juga tinggal persis di sisi Kali Bekasi dekat Taman Hutan Bambu. Ia menjelaskan dirinya rutin membayar tarif retribusi sampah. Ia menerangkan jumlah tersebut masih dalam batas kesanggupan membayarnya.
“Itu kiriman dari atas (Bogor), warga disini sudah terkoordinasi pembuangan sampahnya,” ucapnya.
Ia menambahkan, sampah sering terlihat ketika memasuki musim hujan. Dalam setahun ada dua hingga tiga kali sampah bisa menumpuk di belakang rumahnya. Malah, ia menyebut sampah terkadang datang akibat pengunjung Taman Hutan Bambu yang membuang sembarangan.
Tarif retribusi
Direktur Lingkungan Hidup Direktorat Lingkungan Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam menjelaskan, ada tiga hal mendasar permasalahan sampah di Indonesia yaitu, minimnya fasilitas pengolahan sampah, sistem retribusi yang belum ideal, dan proses pemilahan sampah di tingkat rumah tangga yang belum berjalan baik.
Medril khusus menyoroti sistem retribusi yang dibebankan kepada keluarga di lingkungan tempat tinggal. Ia menyebut sistem dan tarif retribusi yang diterapkan belum optimal. Tarif Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per keluarga masih tidak sesuai dengan biaya operasional pengelolaan sampah.
“Tarif masih terlalu rendah, tidak sesuai dengan nilai keekonomian dan operational cost, akibatnya pengelolaan sampah tidak optimal” ucapnya.
Rendahnya retribusi, membuat kapasitas anggaran pemerintah daerah dalam menghadirkan sistem pengelolaan sampah yang baik sulit tercapai. Untuk itu, penyesuaian tarif retribusi dapat membantu pemerintah daerah pemasukan tambahan untuk mengembangkan sistem pengelolaan sampah yang baik.
Ia menyebut pemerintah telah menerbitkan Permendagri No.7 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penghitungan Tarif Retribusi Sampah yang menjadi acuan formula penghitungan retribusi sampah di daerah. Namun sayangnya, masih ada pemerintah yang tidak menjalankan aturan tersebut.
Medril menambahkan pihak Bappenas kini intens menyosialisasikan aturan tersebut. “Kita sedang sosialisasi dan bekerjasama dengan Kabupaten Bogor, agar pemdanya melakukan penyesuaian tarif retribusi,” ucapnya.
Selain masalah retribusi, Medril juga mengingatkan warga untuk melakukan pemilahan sampah sejak di rumah. Pemilahan sampah dapat membantu pengelolaan sampah khususnya pembagian sampah yang dapat di daur ulang ataupun tidak.