Mengenal Rayapan Tanah, Pemicu Pergerakan Tanah di Bogor
Ada istilah baru, namanya rayapan tanah, yaitu bergeraknya tanah secara perlahan. Bojong Koneng, Kabupaten Bogor, dan sekitarnya merupakan daerah dengan potensi terjadinya rayapan tanah.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kajian para ahli menyatakan, penyebab bencana pergerakan tanah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, adalah fenomena rayapan tanah dan perubahan tata guna lahan. Masih diperlukan kajian lanjutan untuk mitigasi bencana di kawasan rawan bencana sehingga menimbulkan korban jiwa ataupun terluka.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor Yani Hassan menjelaskan, dari hasil kajian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bencana pergerakan tanah di Kecamatan Babakan Madang dan Cigudeg, yang terjadi sejak Selasa (13/9/2022), disebabkan rayapan tanah. Saat ini, desa di sekitar Bojong Koneng dan Banyuwangi menjadi wilayah rawan rayapan tanah.
”Ada istilah baru, namanya rayapan tanah, yaitu bergeraknya tanah secara perlahan. Di situ, Bojong Koneng dan sekitarnya merupakan daerah yang berpotensi rayapan tanah,” ujar Yani, Senin (3/10/2022).
Yani menjelaskan, kondisi rayapan tanah berbeda dengan longsor yang terjadi dalam waktu seketika, terutama saat hujan dengan intensitas tinggi. Sementara rayapan tanah terjadi secara perlahan meski tidak terjadi hujan ekstrem.
”Di lokasi potensi rawan itu, terjadi pergeseran mencapai 50 sentimeter per hari dan seterusnya semakin bergeser. Di tempat-tempat tertentu sudah terjadi retakan tanah. Ini juga diisi air, semakin berpotensi rayapan tanah,” katanya.
Kondisi hujan memperbesar skala potensi rayapan tanah sehingga terjadi pergerakan tanah yang mengakibatkan kerusakan jalan dan rumah.
Peneliti Ahli Utama Bidang Geoteknik Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN Adrin Tohari melanjutkan, selain rayapan tanah, penyebab pergerakan tanah ialah perubahan tata guna lahan dan faktor geologis.
Faktor geologis yang dimaksud adalah adanya lapisan batu lempung di bawah lapisan tanah yang menyebabkan air tidak dapat masuk sehingga terjadi perubahan kondisi air di dalam lapisan tanah.
”Ketika air masuk ke dalam lapisan tanah dan bersentuhan dengan lapisan batu lempung, maka air akan berhenti dan membentuk lapisan air tanah yang menyebabkan terjadinya rayapan tanah hingga terjadi pergerakan tanah,” kata Adrin dalam keterangan tertulisnya.
Oleh karena itu, tanah bergeraknya perlahan, maka itu disebut fenomena gerakan tanah tipe nendatan. Bergeraknya perlahan, seperti merayap.
Kondisi rayapan tanah itu bisa menimbulkan retakan atau tanah ambles karena topografinya tidak terlalu terjal dan juga kontak antara batu lempung dan lapisan tanah di atasnya tidak curam atau landai.
”Oleh karena itu, tanah bergeraknya perlahan, maka itu disebut fenomena gerakan tanah tipe nendatan. Bergeraknya perlahan, seperti merayap,” ujar Adrin.
Dalam kondisi geologis seperti itu, lanjutnya, dampak pergerakan tanah pun menjadi sangat luas hingga menimbulkan bencana di tingkat kampung, seperti di Desa Bojong Koneng.
Tidak hanya itu, faktor tata guna lahan turut mempengaruhi fenomena pergerakan tanah tipe nendatan.Faktor tata guna lahan yang dimaksud di antaranya meliputi keberadaan lahan persawahan, kolam ikan, atau adanya aliran air yang cukup deras di bagian kaki lereng perbukitan, hingga keberadaan bangunan.
”Perubahan tata guna lahan bisa berkontribusi terhadap luasan rayapan sehingga menimbulkan bencana berulang kali di daerah terdampak. Pernah terjadi pada 1982, 2007, dan sekarang,” ujarnya.
Dari kajian itu, lanjut Yani, langkah mitigasi yang bisa dilakukan antara lain mengevakuasi warga yang berada di daerah terdampak atau dari wilayah berpotensi ancaman pergerakan tanah susulan.
Di daerah yang sudah muncul fenomena retakan akibat rayapan tanah, warga tidak diperkenankan untuk beraktivitas di wilayah sekitar.
”Kami sudah pasang rambu. Di situ tidak boleh dan dilarang ada aktivitas,” katanya.
Yani juga akan mengusulkan moratorium pembangunan di wilayah rawan rayapan tanah sebagai langkah antisipasi bencana. Kajian lanjutan dan mendalam perlu dilakukan pemerintah daerah yang bisa bekerja sama dengan instansi terkait atau dengan para ahli terhadap pembangunan di kawasan rawan bencana.
”Kami mengusulkan moratorium terhadap pembangunan untuk menghindari dan mencegah korban luka dan jiwa dampak pergerakan tanah,” kata Yani.
Pihaknya juga sudah memberikan peta kawasan rawan bencana pergerakan tanah, longsor, dan banjir sehingga bisa menjadi rujukan dalam penanggulangan bencana alam, mitigasi, dan upaya menekan potensi korban.
Adapun daerah potensi pergerakan tanah berada di 26 wilayah, antara lain di Babakan Madang, Bojonggede, Cariu, Ciawi, Cibinong, Cigudeg, Cileungsi, Cisarua, Ciseeng, Citeureup, Gunung Putri, Gunung Sindur, dan Jasinga. Berikutnya adalah Jonggol, Klapanunggal, Leuwisadeng, Megamendung, Nanggung, Parung, Sukajaya, Parung Panjang, Sukamakmur, Sukaraja, Tajurhalang, Tanjungsari, dan Tenjo.
Selain potensi pergerakan tanah, tercatat ada 14 lokasi yang berpotensi mengalami bencana banjir bandang atau aliran bahan rombakan disertai pergerakan tanah jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi yang cukup lama.
Hingga akhir tahun 2022, BPBD Kabupaten Bogor menetapkan status siaga bencana. Wilayah Kabupaten Bogor secara geografis dan topografis berpotensi bencana, seperti longsor, banjir, angin kencang, dan pergerakan tanah.
Diberitakan Kompas.id sebelumnya, hujan deras pada Rabu (14/9/2022) pukul 11.00 mengakibatkan bencana pergerakan tanah. Lalu, pada Sabtu (17/9/2022) pagi, pergerakan tanah kembali terjadi sehingga menyebabkan Kampung Cibugis, Desa Banyuwangi, Cigudeg, terisolasi karena akses jalan menuju desa itu rusak. Sebanyak 23 keluarga di Kampung Cibugis pun harus dievakuasi keluar dari kampung tersebut.
BPBD Kabupaten Bogor mencatat ada 1.020 jiwa atau 278 keluarga terdampak. Adapun korban terdampak sebanyak 147 keluarga atau 572 jiwa. Korban terancam sebanyak 131 keluarga atau 448 jiwa.
Selain itu, 328 rumah warga rusak. Rinciannya, 9 rusak berat, 73 rusak sedang, dan 246 rusak ringan. Dampak lain, sejumlah fasilitas umum, seperti jalan, tempat ibadah, dan fasilitas pendidikan anak usia dini (PAUD), juga rusak.