Gubernur Anies: Pembangunan Halte Tosari-HI Dilanjutkan
Revitalisasi Halte Tosari, Bundaran HI, dan Jatinegara menjadi halte ikonik berukuran jumbo mengganggu bangunan cagar budaya di sekitarnya. Pemprov DKI tak menghiraukan saran para ahli untuk menghentikan revitalisasi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga awal pekan ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap akan melanjutkan pembangunan Halte Bundaran Hotel Indonesia yang bersinggungan dengan obyek diduga cagar budaya dan obyek cagar budaya. Pemprov DKI mengabaikan desakan para ahli untuk menghentikan pembangunan halte tersebut.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pembangunan Halte Transjakarta di Jalan MH Thamrin dan pembangunan infrastruktur transportasi akan dilanjutkan.
”Lanjut,” kata Anies singkat seusai acara Supermentor Farewell to Gubernur Anies Baswedan on Leadership, Pengabdian, dan Reformasi, Minggu (2/10/2022).
Sejarahwan JJ Rizal saat dikonfirmasi mengatakan, pembangunan Halte Transjakarta Tosari-Bundaran Hotel Indonesia (HI) harus dihentikan karena merusak pandangan ke Patung Selamat Datang serta Air Mancur Henk Ngantung warisan Presiden Soekarno dengan Gubernur Henk Ngantung sebagai poros penanda perubahan ibu kota kolonial ke ibu kota nasional.
”Mohon Pak Gubernur Anies Baswedan stop pembangunan halte yang arogan di kawasan cagar budaya penanda sejarah perubahan kota kolonial jadi kota nasional warisan Soekarno. Jangan biarkan halte itu jadi noda di buku sejarah masa pemerintahan Bapak (Anies) yang kaya prestasi,” kata Rizal.
”Halte tetap di tempat, tetapi carilah model arsitektur yang ramah dan respek pada kawasan sejarah (heritage), desain yang lebih merunduk menghormat vista cagar budaya, bukan yang dengan sengaja malah memanfaatkan ruang yang bernilai komersial untuk dikomersialisasi,” katanya.
Nanti kami akan cek kembali. Seharusnya proses pembangunan di Jakarta melalui aturan dan ketentuan, termasuk memperhatikan cagar budaya.
Alasan penghentian, kata Rizal, Patung Selamat Datang dengan Air Mancur Henk Ngantung dinilai penting bukan semata karena karya Presiden Soekarno, maestro seni rupa Edi Sunarso, serta Gubernur Henk Ngantung. Namun, itu menjadi simbol keramahan bangsa, semangat bersahabat melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selain itu, Hotel Indonesia bukan sekadar simbol awal pariwisata modern Indonesia pascakolonial, melainkan arsitektur karya Abel Sorensen, arsitek Markas Besar PBB, dengan para maestro lukis dan sastra Indonesia yang oleh Soekarno disebut pembuka wajah muka Indonesia.
Menurut Rizal, kawasan bersejarah warisan Soekarno dalam 20 tahun terakhir telah jadi korban vandalisme berbagai kepentingan, berebut dengan macam-macam alasan, tetapi satu tujuannya, yaitu mengapitalisasi posisinya yang strategis.
”Jika tidak dihentikan, maka Jakarta akan kaya infrastruktur, tapi miskin karakter,” kata Rizal.
Pembangunan halte diganti di sekitar HI dan Sarinah menjadi penanda sejarah untuk mengingatkan bahwa ibu kota nasional berbeda dari ibu kota kolonial yang merujuk pada simbol ekonomi kapitalisme yang rakus. Ibu kota nasional adalah ibu kota ekonomi kerakyatan.
”Seharusnya sebagai bagian dari badan usaha milik Jakarta, PT Transjakarta yang busnya wira-wiri di ruang bersejarah warisan Soekarno itu berefleksi mengadopsi etos kerja maestro, berkelas dunia, tapi berorientasi kerakyatan serta menjaga sumber inspirasi kota, yaitu warisan sejarahnya,” katanya.
Dalam catatan Kompas, selain Halte Tosari dan Bundaran HI, halte di Jatinegara, Jakarta Timur, juga diminta dihentikan revitalisasinya karena mengganggu bangunan cagar budaya berupa gereja.
Menanggapi pernyataan JJ Rizal, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria bersikap berbeda dengan Gubernur Anies. Menurut dia, informasi sejarawan Jakarta itu akan menjadi perhatian dan pertimbangan.