Dari data Polres Metro Bekasi Kota, ada sekitar 3.000 remaja di daerah itu yang terlibat dalam aktivitas ”gangster”. Mereka tergabung dalam 29 kelompok yang kerap mengganggu ketertiban karena tawuran dan balapan liar.
Oleh
STEFANUS ATO
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Seorang pelajar tewas setelah terlibat tawuran pelajar di Kota Bekasi, Jawa Barat. Buntut dari peristiwa itu, polisi menangkap 22 pelajar dan menetapkan dua pelajar sebagai tersangka.
Wakil Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Ajun Komisaris Besar Rama Samtama Putra mengatakan, tawuran antarpelajar yang berujung tewasnya korban MRA (19) terjadi pada Senin (26/9/2022) dini hari di Kayuringin, Bekasi Selatan. Tawuran bermula saat dua kelompok pelajar janjian melalui siaran langsung Instagram untuk bertemu.
”Mereka bertemu di lokasi dan terjadi bentrok di sana. Peristiwa ini memakan korban. Satu orang terkena bacokan celurit di dada bagian kanan,” kata Rama, Kamis (29/9/2022), di Bekasi.
Korban MRA kemudian dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan medis. Namun, nyawa korban tak tertolong seusai tiba di rumah sakit.
Lewat kelompok, mereka akan belajar menemukan jati diri mereka. Cara yang dilakukan oleh remaja biasanya adalah belajar dari sesamanya dan media sosial.
Menurut Rama, akibat peristiwa itu, polisi menggelar penyidikan dan menangkap 22 pelajar. Dari hasil pendalaman polisi, dua orang bernisial AS (15) dan S (14) ditetapkan polisi sebagai tersangka.
Dua pelajar tersebut disangka melanggar Pasal 80 Ayat (3) juncto Pasal 76 huruf (c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 368 KUHP, dan Pasal 365 KUHP. Para tersangka terancam pidana penjara lima tahun.
Tawuran antarpelajar atau kelompok remaja yang terjadi di Kota Bekasi merupakan persoalan berulang. Dari data Polres Metro Bekasi Kota, ada sekitar 3.000 remaja di daerah itu yang terlibat dalam aktivitas ”gangster”. Mereka tergabung dalam 29 kelompok dan kerap kali mengganggu ketertiban masyarakat karena tawuran dan balapan liar. Data aktivitas remaja yang meresahkan itu teridentifikasi melalui patroli siber Tim Patroli Perintis Presisi Polres Metro Bekasi Kota.
Aktivitas para remaja di Bekasi tersebut saat mengikuti balapan liar atau saat terlibat tawuran tak hanya jadi konsumsi mereka yang terlibat. Remaja yang dominan di bawah umur juga menyiarkan aktivitas tersebut di media sosial.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, remaja membentuk kelompok untuk kegiatan tertentu merupakan hal yang lumrah. Sebagai anak kandung zaman, potensi para remaja untuk membentuk kelompok itu lahir secara alamiah.
”Lewat kelompok, mereka akan belajar menemukan jati diri mereka. Cara yang dilakukan oleh remaja biasanya adalah belajar dari sesamanya dan media sosial,” kata Devie saat dihubungi pada Minggu (21/8/2022).
Kelompok remaja ini juga terbentuk karena ada keluasan waktu. Apalagi, kesempatan mereka untuk keluar rumah kian besar setelah pandemi Covid-19 mulai berakhir.
Adanya tindakan kekerasan yang kerap muncul dari para remaja pun berbeda motivasi dengan kelompok gangster orang dewasa. Sebab, kekerasan atau kejahatan yang dilakukan orang dewasa dominan berlatar belakang faktor ekonomi. Sementara itu, kelompok yang dibentuk remaja biasanya dijadikan sebagai rumah kedua. Dari kelompok, mereka berupaya mencari kesempatan untuk tampil.
”Mereka secara umum dalam masa-masa pencarian jati diri. Yang mereka butuhkan ialah perhatian dan pelukan. Agar bisa diperhatikan, tentu butuh prestasi,” ucap Devie.
Para remaja tersebut akhirnya memilih jalanan sebagai medan untuk mendapatkan ”prestasi” sesaat dan instan dengan tindak kekerasan. Langkah yang ditempuh remaja ini juga muncul sebagai dampak lemahnya institusi sosial dalam memberi panggung bagi anak-anak remaja.
”Secara sosial, mereka adalah korban dari lemahnya institusi sosial, seperti keluarga dan masyarakat. Institusi sosial abai akan kebutuhan mereka,” kata Devie.