Menelisik Wacana Ruang Demonstrasi Baru di Jakarta
Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran mewacanakan penyediaan kawasan khusus untuk aksi di barat daya Monumen Nasional (Monas).
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Aksi demi aksi marak berlangsung di Jakarta sejak pemerintah pusat mewacanakan kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi akhir Agustus 2022. Agenda demonstrasi semakin nyaris tanpa jeda setelah kenaikan harga diketok palu.
Massa dari berbagai elemen, khususnya buruh dan mahasiswa, hampir setiap hari meramaikan lokasi-lokasi pusat pemerintahan di Ibu Kota, seperti sekitar Monumen Nasional dan depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Sampai Sabtu (24/9/2022), ribuan orang masih turun ke jalan. Massa yang mewakili buruh dan petani melakukan aksi gabungan di sekitar Patung Arjuna Wijaya yang berada di persimpangan Jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Dalam balutan pakaian yang didominasi warna oranye, mereka menyuarakan beberapa hal terkait isu reforma agraria dan kedaulatan pangan, penolakan kenaikan harga BBM, dan penolakan Undang-Undang Cipta Kerja.
Dari agenda mulai pukul 10.00, mereka berdemonstrasi sampai sekitar pukul 14.30. Jalan Medan Merdeka Barat yang lalu lintasnya lebih sepi daripada hari kerja itu pun harus tutup untuk kendaraan. Pengguna jalan, baik mobil, motor, termasuk bus Transjakarta, harus mengalihkan rute mereka saat akan melintas, entah menuju arah Harmoni atau Jalan MH Thamrin.
Sementara itu, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran mewacanakan penyediaan kawasan khusus untuk aksi di barat daya Monumen Nasional (Monas). Lokasi itu berada di dalam gerbang dan halaman depan Monas yang berada di dekat pertemuan Jalan Medan Merdeka Barat dan Jalan Medan Merdeka Selatan.
”Saya melihat bahwa ada sebuah ruang yang bisa kita pergunakan. Di mana itu? Kita demo saja di Monas. Ini bisa masuk mungkin sekitar 5.000 sampai 6.000 orang di sini, daripada kita harus di Jalan Medan Merdeka Barat,” katanya, Kamis (22/9/2022).
Ide itu ia utarakan di hadapan perwakilan organisasi masyarakat hingga mahasiswa saat melayani pertanyaan wartawan di Balai Polda Metro Jaya, Jakarta. Hari itu, Polda Metro Jaya mengadakan silaturahmi dan diskusi terkait isu aksi massa dan kenaikan harga BBM.
Ruang memori paling kuat tentang unjuk rasa di Jakarta ada di sana. (JJ Rizal)
Fadil melanjutkan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah fasilitas yang bisa digunakan massa untuk unjuk rasa dan jurnalis. Fasilitas itu, antara lain, panggung dan sistem pengeras suara yang ia jamin punya kualitas sama seperti sistem di konser musik rock.
”Kepada media kalau perlu kami siapkan internet untuk bisa live di situ. Adik-adik mahasiswa kalau mau demo besok saya siapkan (sound system) 30.000 watt, sama kaya konser Metallica,” tutur lulusan Akademisi Polisi tahun 1991 itu.
Menurut dia lagi, usulan itu semata demi kepentingan publik, salah satunya mengenai kelancaran lalu lintas. Selama ini, petugas keamanan harus mengalihkan arus setiap kali agenda aksi melibatkan massa dalam jumlah besar di sekitar kawasan Monas.
Kebijakan itu biasanya berlaku mendekati waktu makan siang sampai sore hari jelang batas akhir demonstrasi di ruang terbuka, pukul 18.00, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Kemacetan sesekali tidak terelakkan dalam proses buka tutup jalan atau saat massa melakukan iring-iringan untuk menarik simpati masyarakat lainnya.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal, saat dihubungi Minggu (25/9/2022), menghargai usulan tersebut. Konsep pemusatan lokasi unjuk rasa ini banyak dilakukan di kota-kota lain di dunia. Contohnya New York di Amerika Serikat, dengan Zuccotti Park sebagai lokasi kemah protes Ocupy Wall Street, lalu di Sydney, Australia, ada Town Hall Square yang menjadi titik pertemuan penting untuk protes dan demonstrasi.
”Tapi, ini harus disosialisasikan dengan baik. Dalam demonstrasi itu yang terpenting isu tersampaikan, diberitakan di media, tetapi enggak mengganggu ketertiban umum,” kata Said yang sudah berpengalaman memimpin unjuk rasa sebelum masa reformasi.
Meski demikian, menurut dia, peserta unjuk rasa juga tetap harus diizinkan untuk melakukan konvoi atau iring-iringan menuju lokasi demonstrasi. Ini, menurut dia, menjadi satu unsur penting dalam menyuarakan aspirasi ke khalayak banyak.
Hal lain yang perlu dipastikan adalah masyarakat bisa berdemo di mana saja yang dikehendaki, tentunya sesuai izin dan koordinasi dengan kepolisian. Jika massa ingin menyuarakan masukan dan kritik ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan, misalnya, demo tetap bisa dilakukan di sana jika telah mendapat izin.
Masa demokrasi mendorong masyarakat lebih bebas menyuarakan pendapat di muka umum. Unjuk rasa dengan jumlah peserta besar pun biasa berlangsung dan terkonsentrasi di Jakarta. Jumlah massa besar bukan hanya karena kebebasan berpendapat yang semakin terbuka, melainkan juga karena beragamnya isu atau besarnya kepentingan yang perlu disuarakan.
Mencontoh aksi yang beberapa kali diadakan kaum buruh di Jakarta, pengerahan aksi yang besar, kata Said Iqbal, efektif.
”Buruh pilih jalan demo besar-besaran untuk secara langsung menyatakan banyak orang yang terdampak, misalnya isu kenaikan harga BBM di zaman Presiden SBY, BPJS yang diikuti aksi mogok jutaan buruh, JHT, hingga isu upah buruh yang setelah demo mampu menaikkan upah tahun 2012-2014,” ucapnya.
Aksi dengan massa besar ini, lanjutnya, sulit terjadi di lingkungan kepemimpinan daerah atau negara yang otoriter. Masa ini pernah dialami Indonesia di masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Sejarawan JJ Rizal, yang sempat hadir di silaturahmi bersama Polda Metro Jaya, pekan lalu, menceritakan, Jakarta memiliki pengalaman aksi besar setelah Indonesia merdeka.
Aksi itu terjadi pada 19 September 1945 di Lapangan Ikada yang kini menjadi daerah Monas. Sekitar 300.000 orang atau setengah dari total penduduk DKI Jakarta saat itu yang baru mencapai 623.000 orang, berkumpul untuk membangkitkan kekuatan rakyat pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Pada 1950-an, aksi masyarakat, khususnya kaum ibu, sempat terjadi di depan Istana. Pemicunya, kabar rencana poligami Presiden Soekarno dengan Ibu Negara Fatmawati. Aksi protes itu disuarakan perempuan-perempuan yang tengah giat mengampanyekan penyusunan aturan antipoligami.
”Ruang memori paling kuat tentang unjuk rasa di Jakarta ada di sana,” ujar Rizal.
Terlepas dari riwayat sejarah, Monas dan sekitar Istana menjadi lokasi strategis untuk menyuarakan pendapat masyarakat. Namun, banyaknya masyarakat yang kerap beraksi tetap membutuhkan perhatian pengambil kebijakan agar aspirasi tetap tersalurkan tanpa mengabaikan kepentingan umum.