Kaget sekaligus prihatin ketika para pelaku yang belakangan diketahui masih berusia 11-13 tahun sudah mampu merencanakan hingga melakukan pemerkosaan. Korban mereka tak lain anak perempuan seusia yang kini trauma berat.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Di tepi danau sebuah hutan kota di Jakarta Utara, seorang anak perempuan berusia 13 tahun menjadi korban pemerkosaan. Kaget sekaligus prihatin ketika para pelaku yang belakangan diketahui masih berusia di bawah 14 tahun sudah mampu terlibat perencanaan hingga melakukan pemerkosaan.
F (13), bukan nama sebenarnya, pada suatu sore, awal September 2022, seusai keluar dari sekolahnya di Cilincing, Jakarta Utara, lelah dan bosan menunggu angkutan umum. Saat itu, setiap angkutan umum yang melintas dalam kondisi penuh.
Remaja yang sudah yatim piatu itu lalu memilih berjalan kaki. Jalan yang dia pilih merupakan jalan pintas. Jalan pintas dari sekolah ke rumah tempatnya tinggal itu jaraknya sekitar 1 kilometer dan melewati salah satu hutan kota yang ada di daerah Cilincing.
Korban ini sepertinya trauma. Kadang menangis, sedih. Kadang tertawa sendiri. Memang harus ada pendamping, harus ada yang menemani dia.
Saat F melintas, hari mulai gelap. Di sana, tepatnya di tepi danau hutan kota itu, F diperkosa empat bocah laki-laki yang masih berusia 11-13 tahun.
”Dari jalan pintas itulah, dia (F diperkosa). Pelakunya, saya tidak tahu juga bagaimana mereka bisa di sana. Apa mereka sudah menunggu di sana, datang dari depan atau dari belakang, kami tidak tahu juga,” kata Ahmad Syarifudin, ketua RW tempat tinggal korban, Senin (19/9/2022), di Jakarta Utara.
Lokasi hutan kota tempat pelajar sekolah menengah pertama itu diperkosa sebenarnya belum dibuka untuk umum selama masa pandemi Covid-19. Akses masuk ke sana juga seharusnya hanya bisa diakses melalui satu pintu dan selalu dijaga petugas.
Namun, korban dan para pelaku bisa bebas berada di dalam hutan kota itu lantaran pagar pembatas yang memisahkan rumah penduduk dan hutan kota itu sudah roboh. Pagar itu rapuh dan roboh tertiup angin akibat sering terendam banjir.
Kasus pemerkosaan yang dialami F mengakibatkan remaja yang tinggal bersama kakak sambungnya itu trauma. Remaja tersebut lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan terus menangis.
”Korban ini sepertinya trauma. Kadang menangis, sedih. Kadang tertawa sendiri. Memang harus ada pendamping, harus ada yang menemani dia,” kata Ahmad.
Penanganan polisi
Dari informasi pihak Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara, kasus pemerkosaan yang menimpa F terjadi pada 1 September 2022 tepatnya pukul 17.30. Satu hari sebelum terjadi pemerkosaan, F saat pulang sekolah disebut juga berjalan kaki melintasi hutan kota tersebut.
Di sana, dia bertemu dengan empat bocah itu. Salah satu dari empat bocah tersebut kemudian menghampiri korban, memeluk korban, dan mengajak korban untuk menjadi pacarnya. Namun, ajakan itu ditolak korban.
Keesokan harinya, saat melintas, F kembali bertemu dengan anak-anak itu. Saat itu, para bocah tersebut secara bergilir memerkosa korban.
”Empat anak ini, sebutnya anak berhadapan dengan hukum, bukan pelaku. Intinya sudah kami amankan saat korban melapor pada 6 September 2022,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Utara Ajun Komisaris Besar Febri Isman Jaya, Senin (19/9/2022).
Empat anak itu tidak ditahan oleh polisi sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 32 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan jika telah berumur 14 tahun dengan ancaman pidana minimal tujuh tahun penjara.
Polisi pun menitipkan empat anak itu di Rumah Aman Cipayung, Jakarta Timur. Waktu penitipan berlangsung selama tujuh hari dan dapat diperpanjang selama delapan hari.
Konsep anak terkait dengan orientasi seksual seharusnya belum untuk anak umur segini. Tahapannya, seharusnya baru sebatas suka dengan sesama lawan jenis. (Retno Listyarti)
”Akan ada koordinasi dengan balai pemasyarakatan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), serta lembaga bantuan hukum. Selama (pelaku umur) 12 tahun ke atas, proses hukum akan berlanjut,” kata Febri.
Proses hukum untuk anak berhadapan dengan hukum akan berjalan sesuai dengan amanat undang-undang perlindungan anak, yakni dikembalikan ke orangtua atau ada pembinaan. Namun, keputusan akhir untuk pembinaan atau dikembalikan ke orangtua bergantung pada hasil keputusan bersama antara polisi, balai pemasyarakatan, KPAI, P2TP2A, dan lembaga bantuan hukum.
Faktor lingkungan
Kasus pemerkosaan yang melibatkan empat anak yang masih berusia di bawah 14 tahun itu menimbulkan keprihatinan sekaligus mengagetkan warga sekitar tempat korban dan pelaku tinggal. Warga masih tak percaya ada anak yang masih berusia belasan tahun terlibat perencanaan hingga melakukan pemerkosaan.
Harry, salah satu warga yang tinggal di wilayah kelurahan yang sama dengan korban dan para pelaku, menyebut, kehidupan di wilayah mereka menjadi salah satu faktor para bocah itu terlibat tindak pidana kekerasan seksual. Tak jauh dari tempat bocah-bocah itu berada ada tempat prostitusi yang masih rutin beroperasi setiap malam.
”Anak-anak ini tahu dari mana kalau bukan dari lingkungan sekitar sini. Apalagi praktik prostitusinya terbuka, di pinggir jalan. Mereka pasti sering lihat,” katanya.
Ada beberapa faktor anak terlibat sebagai pelaku kekerasan seksual. Salah satu faktor terkait yakni pola asuh di dalam keluarga. Di keluarga, nilai dan karakter anak dibentuk dan dikembangkan, termasuk pendidikan seksual. Misalnya, seorang anak lelaki dibimbing untuk menghargai perempuan atau sebaliknya seorang anak perempuan dibimbing untuk memahami bagian tubuh yang boleh dilihat atau disentuh.
”Konsep anak terkait dengan orientasi seksual, seharusnya belum untuk anak umur segini. Tahapannya, seharusnya baru sebatas suka dengan sesama lawan jenis,” kata komisioner Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, saat dihubungi secara terpisah, Senin (19/9/2022) malam.
Meski demikian, usia anak yang berada di kisaran 13-15 tahun dinilai merupakan usia rawan. Anak seusia tersebut sedang berada di masa untuk beralih ke masa remaja dan sedang dalam tahap pencarian jati diri.
Upaya pencarian jati diri dan masa peralihan ke remaja ini biasanya terbentuk dari kondisi lingkungan sekitar. Artinya, faktor-faktor negatif yang ada di lingkungan sekitar turut berpengaruh pada sikap dan karakter anak-anak tersebut.
”Anak itu terbentuk dari lingkungan. Kalau anak sudah mulai bergaul dengan lingkungan sekitar, pasti akan berpengaruh. Di rumah dia tidak mendapat pendidikan seksual yang mumpuni, di lingkungan juga mungkin tidak dapat (pendidikan seksual), lalu di dalam masyarakat, mungkin banyak hal yang dia lihat,” kata Retno.
Kasus miris di hutan kota Cilincing ini diharapkan menggedor kesadaran semua pihak untuk melihat lagi, sudahkah kita melindungi, mendidik, dan menciptakan lingkungan yang baik untuk anak-anak kita.