Alat pemantau kualitas udara milik swasta ataupun pemerintah menunjukkan kondisi udara di Kota Tangerang Selatan, Banten, buruk. Alih-alih segera mengatasi kondisi itu, sebagian pihak mempertanyakan kesahihan datanya.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Sebagian warga yang berdomisili di Tangerang Selatan, Banten, selama sepekan terakhir merasakan dampak dari perubahan kualitas udara di wilayah itu.
Robert (58), warga yang tinggal di kawasan perumahan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, sebenarnya tidak terlalu memperhatikan kualitas udara di lingkungannya. Dia juga tidak merasakan kalau ada hal yang aneh lantaran di kawasan rumahnya banyak ditumbuhi pepohonan yang rimbun.
”Mungkin sudah anggap biasa. Setiap pagi, mobil dan motor di depan rumahku padat sekali. Mau ngeluarin mobil saja susahnya minta ampun,” kata Robert, Minggu (7/8/2022) di Tangerang Selatan.
Meskipun sudah terbiasa, Robert sempat heran ketika muncul kabut tebal saat berada di lantai sembilan sebuah rumah sakit swasta di BSD pada akhir Juli lalu. ”Aku sempat heran, pagi-pagi Tangsel, begini ya. Rupanya itu polusi, ya,” ucapnya.
Kualitas udara yang tak sehat juga turut dirasakan Eva (27), salah satu karyawan swasta yang tinggal di wilayah Rawa Buntu, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan. Dia cukup merasakan buruknya kualitas udara di wilayahnya tinggal.
”Paling kerasa sih seminggu belakangan ini. Ada satu waktu lagi di dalam gedung, saat keluar gedung, sontak angin yang berembus, tuh, langsung berasa panasnya. Pengin pingsan rasanya,” ucapnya.
Berdasarkan data IQAir, indeks kualitas udara di Tangerang Selatan masuk kategori merah atau tidak sehat dari Sabtu (6/8/2022) pukul 22.00 sampai pada Minggu (7/8/2022) pukul 07.00. Pada Minggu pukul 02.00 sampai pukul 04.00, indeks kualitas udara di Tangerang Selatan mencatatkan skor tertinggi, yakni mencapai 157 dengan konsentrasi PM2,5 sebesar 66,2 mikrogram per meter kubik.
Yang diukur apa saja, ini tidak dijelaskan oleh aplikasi. Dia hanya bersifat kualitatif. (Wahyunoto)
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara disebutkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional untuk parameter PM2,5 ditetapkan maksimal 65 mikrogram per meter kubik.
Laporan IQAir berfokus pada konsentrasi PM2.5 karena ini adalah polutan yang secara luas dianggap paling berbahaya bagi kesehatan manusia. PM2.5 didefinisikan sebagai partikel udara di sekitar yang berukuran hingga 2,5 mikron.
Polusi udara, terutama yang sangat halus, seperti PM 2,5, amat berbahaya bagi kesehatan, terutama kelompok rentan, seperti bayi, anak-anak, ibu hamil, dan lanjut usia. Penyakit yang dapat terjadi akibat konsentrasi PM 2,5 yang tinggi antara lain stroke, penyakit jantung, infeksi saluran pernapasan, kanker, dan penyakit paru kronis.
Dipertanyakan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan Wahyunoto Lukman, dihubungi terpisah, mengatakan, pihaknya mempertanyakan data yang ditawarkan aplikasi-aplikasi digital pengukur dan pemantau kualitas udara. Data yang dikumpulkan aplikasi-aplikasi tersebut perlu dicari tahu akurasi, standar, dan lokasi penempatannya.
”Yang diukur apa saja, ini tidak dijelaskan oleh aplikasi. Dia hanya bersifat kualitatif,” kata Wahyunoto.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan memiliki dua alat pengukur kualitas udara stasioner di Taman Kesehatan dan di Samsat. Dua alat ini mengukur kandungan atau senyawa di udara sesuai standar alat ukur pencemaran udara.
”Alat kami sudah sesuai dengan indeks standar alat ukur pencemaran udara yang mengukur empat komponen yang paling utama dari polutan. Sampai hari ini, kondisinya di angka 49. Dan alatnya terkoneksi dengan sistem informasi yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ucapnya.
Wahyunoto menambahkan, secara kasatmata di Tangerang Selatan juga tidak ada pabrik. Hal ini menunjukkan kalau di Tangsel tidak ada potensi terjadinya gas buang atau sisa-sisa pembakaran.
Juru Kampanye Iklim Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, soal data pencemaran udara, pemerintah seharusnya tidak lagi membantah. KLHK memiliki satu alat pemantau kualitas udara yang diletakkan di Tangerang Selatan. Hasil pengukuran kualitas udara dari alat tersebut, pada Minggu (7/8/2022) pukul 16.00, menunjukkan kualitas udara di Tangerang Selatan tidak sehat.
”Artinya, ketika angka tidak sehat, apa yang dilakukan pemerintah. Apakah ada peringatan untuk melindungi masyarakat. Sebab, ketika angka tidak sehat, sudah jelas ada dampak kesehatan yang dihirup masyarakat sekitar,” kata Bondan.
Keterlibatan pemerintah pusat
Bondan mengatakan, masalah polusi udara merupakan persoalan lintas batas atau tidak bisa diselesaikan dengan batas administrasi. Artinya, penyelesaian polusi udara seharusnya dilakukan otoritas yang lebih tinggi, yakni melibatkan pemerintah pusat.
Desakan agar penyelesaian polusi udara melibatkan pemerintah pusat, sebenarnya sudah dilakukan sejak 2019. Pada tahun itu, ada 32 warga negara yang menggugat tujuh pejabat negara, yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Banten, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur DKI Jakarta.
”Dan September ini sudah satu tahun gugatan itu dimenangkan majelis hakim. Sejatinya, itu bukan hanya di Jakarta saja. Tetapi, Kementerian Dalam Negeri dan KLHK, hakim memerintahkan untuk melakukan supervisi kepada Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta dalam upaya penanganan pencemaran udara,” ucap Bondan.
Namun, jika ada daerah di Banten atau Jawa Barat masih mempertanyakan data dan sumber pencemaran di wilayahnya, KLHK dan Kemendagri dinilai tidak berhasil melakukan supervisi. Ketidakberhasilan ini sebenarnya terbukti dengan adanya banding dari pemerintah pusat atas putusan hakim yang memenangkan gugatan warga.
Sementara, di luar sana, polusi terus menyelimuti warga dan mengancam kesehatan mereka.