Cara Cepat Mengatasi Polusi Udara Jakarta
Ada tiga langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi polusi udara di Jakarta secara cepat. Mulai dari pembatasan aktivitas masyarakat, insentif konversi ke kendaraan listrik, hingga dukungan bagi pesepeda.
Polusi udara di Jakarta mencapai rekor terburuk dalam beberapa pekan pada Juni 2022. Dikutip dari laman Indeks Kualitas Udara IQ Air (26/6/2022, pukul 06.00), kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat dengan konsentrasi PM 2.5 di udara, mencapai 15,4 kali di atas nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dari IQ Air juga disebutkan bahwa polusi udara diperkirakan telah menyebabkan 5.500 kematian dan merugikan sekitar 1,4 miliar dollar AS di Jakarta pada 2021. Sungguh sebuah ironi.
Namun, sebagai warga DKI Jakarta, saya tidak kaget lagi dengan hal ini. Masalah klasik persoalan polusi udara nyatanya sudah menahun, sejenak hilang hanya karena pandemi datang. Bagi warga Ibu Kota, pemandangan gedung-gedung yang diselimuti kabut sudah hal yang biasa.
Justru yang tidak biasa itu ketika pandemi datang, aktivitas dipukul mundur karena skema bekerja dari rumah digalakkan, langit biru pun tersaji untuk warga Jakarta yang sibuk. Namun, apakah harus ada pandemi lagi biar udara di Jakarta kembali pulih?
Baca juga:
- Kualitas Udara Jakarta Tidak Sehat
- Polusi Udara Picu 180.000 Kematian Berlebih di Kota Tropis, Termasuk Jakarta
Sejatinya, keresahan warga atas pencemaran udara Ibu Kota telah berlangsung cukup lama. Bahkan, gerakan menggugat pemerintah atas pencemaran udara pun telah dilakukan.
Pada 2019, sekelompok orang yang mengatasnamakan Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) menggugat sejumlah pihak terkait lemahnya penegakan hukum dan pengawasan pemerintah terhadap pencemaran udara Jakarta. Mulai dari Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi tergugat pada saat itu.
Sampai sekarang tidak ada yang berubah dari polusi udara, gugatan hanya tinggal gugatan. Tidak ada kejelasan dan kepastian.
Meskipun majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan setelah dua tahun lamanya. Namun, sampai sekarang tidak ada yang berubah dari polusi udara, gugatan hanya tinggal gugatan. Tidak ada kejelasan dan kepastian.
Dalam kasus ini, saya rasa, pemerintah seperti sudah mati akal karena ujung-ujungnya solusi memindahkan ibu kota ke Kalimantan dibuat begitu mendesak dan sangat memungkinkan. Padahal, jika berpikir memindahkan ibu kota adalah solusi mengatasi polusi udara, maka itu salah besar. Mungkin benar kalau kualitas udara di Jakarta akan lebih baik karena penduduk mulai berpindah ke ibu kota baru, tetapi bersamaan dengan itu polusi udara juga akan berpindah tempat dari Jakarta ke tempat yang baru.
Mengapa polusi begitu mencekik?
Padatnya Ibu Kota tentu menjadi penyebab utama polusi udara begitu mencekik, asap kendaraan bermotor menjadi momok utamanya. Studi yang dilakukan Vital Strategies bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebut bahwa kendaraan berbahan bakar bensin dan solar menyumbang 32–57 persen terhadap tingkat PM 2.5 meski belum dapat ditentukan proporsi dari kendaraan di jalan raya dan dari emisi off-road.
Bukan hanya itu, Jakarta setidaknya dikelilingi 8 PLTU batubara dalam radius 100 kilometer. Berdasarkan studi oleh lembaga riset Center for Research of Energy and Clean Air (CREA), ditemukan sekitar 118 fasilitas industri, termasuk pembangkit listrik yang beroperasi di Jawa Barat dan Banten yang menjadi kontributor signifikan terhadap pencemaran udara di Jakarta.
Kendaraan berbahan bakar bensin dan solar menyumbang 32–57 persen terhadap tingkat PM 2.5.
Sisanya, polusi udara di Jakarta disumbang oleh aktivitas konstruksi, pembakaran terbuka, debu jalanan, aerosol sekunder, dan garam laut. Nyatanya, polusi yang banyak ini tidak diimbangi dengan penyerapan dari hijaunya pepohonan. Ibarat besar pasak daripada tiang. Emisi yang keluar begitu banyak, yang menyerap hampir tidak ada.
Lantas apa yang harus dilakukan?
Tentu untuk mengatasi ini semua banyak solusi yang dapat dipertimbangkan. Tetapi, kalau solusi dari pemerintah untuk mengatasi persoalan polusi udara, tentu saja normatif, seperti beralih ke transportasi umum. Namun, apakah transportasi umum sudah memadai? Apakah semua orang mau beralih ke transportasi umum? Ini benar-benar persoalan yang kompleks.
Baca juga: Sektor Transportasi Berkontribusi Besar
Tidak dapat dimungkiri, bagi masyarakat seperti saya, transportasi umum itu hanya untuk golongan orang-orang menengah ke bawah. Tidak semua orang mau naik kendaraan umum, itu fakta. Jika Anda seorang eksekutif yang berpendapatan besar, Anda pasti tidak akan mau naik kendaraan umum. Pasti, Anda akan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi yang jauh lebih berkelas dan tentunya privasi Anda terjaga. Tidak ada desak-desakan sampai sesak di kereta seperti banyak pekerja di Ibu Kota.
Transportasi umum juga tidak menjamin Anda sampai ke tempat tujuan dengan lebih cepat. Oleh karena itu, banyak orang lebih memilih mengendarai sepeda motor karena dinilai lebih cepat, efisien, dan lebih terjangkau. Alhasil, lautan kemacetan Ibu Kota tidak bisa dihilangkan.
Menurut hemat saya, ada tiga langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi polusi udara yang begitu mengkhawatirkan ini secara cepat. Pertama, menimbang pembatasan aktivitas masyarakat. Pembatasan ini serupa dengan sistem PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) pada saat pandemi. Kali ini sistem dirancang dengan menganjurkan kantor-kantor yang tidak bersifat esensial untuk menerapkan sistem bekerja dari rumah dengan pengaturan sif yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan.
Selama pandemi, skema bekerja dari rumah tidak mengurangi produktivitas, bahkan banyak orang merasa lebih produktif, bahkan tak jarang yang merasakan lebih bahagia karena bisa lebih dekat dengan keluarga tanpa mengurangi tanggung jawab pada pekerjaannya.
Demi meninggalkan era bahan bakar fosil karena menjadi biang kerok polusi udara hingga krisis iklim, memberikan insentif untuk peralihan ke kendaraan bertenaga listrik mesti segera dilakukan.
Kedua, insentif peralihan (konversi) ke kendaraan bertenaga listrik. Demi meninggalkan era bahan bakar fosil karena menjadi biang kerok polusi udara hingga krisis iklim, memberikan insentif untuk peralihan ke kendaraan bertenaga listrik mesti segera dilakukan. Skema insentif dapat dirancang mulai dari mendukung pembiayaan atau kredit dengan bunga rendah, pemberian potongan harga, sampai dengan kemudahan administrasi dan lainnya. Hal ini tentu akan sangat memikat, apalagi kendaraan listrik sudah tidak dikenai pajak dan bebas dari aturan ganjil genap.
Kendati demikian, upaya peralihan ke kendaraan bertenaga listrik juga harus diikuti dengan peralihan penggunaan pembangkit listrik seperti panel surya, pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), sampai dengan pembakit listrik dengan sumber energi dari bahan bakar nabati, sembari memensiunkan PLTU batubara yang menjadi akar dari masalah polusi udara.
Baca juga: Perbankan Tawarkan Skema Kredit Pemasangan PLTS Atap Rumah Tangga
Ketiga, memberikan insentif serta dukungan fasilitas bagi para pengguna sepeda. Bagi masyarakat khususnya para pekerja yang ingin berangkat ke kantor dengan menggunakan sepeda, pemerintah harus menyediakan fasilitas yang memadai baik dari segi infrastruktur seperti jalur pesepeda yang ramah, kelengkapan keamanan sepeda, sampai dengan fasilitas untuk membersihkan diri di kantor.
Ketiga poin ini adalah hal dasar yang dapat dilakukan pemerintah untuk segera mengatasi persoalan polusi udara sembari membenahi infrastruktur dan suprastruktur politik. Semua pihak harus bekerja sama demi Jakarta yang lebih baik di usia yang makin matang ini.
Delly Ferdian, Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan