Meskipun tak laik jalan dan sering kecelakaan, odong-odong diminati sebagai sarana hiburan rakyat dan angkutan tak resmi. Naik odong-odong, tawa dan nyawa sama-sama dihargai murah.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
Odong-odong merupakan kendaraan hasil modifikasi agar bisa mengangkut banyak orang. Keberadaannya sudah menjadi bagian dari hiburan rakyat sekaligus angkutan tidak resmi.
Padahal odong-odong hanya boleh beroperasi secara terbatas di kawasan wisata dan dilarang melintas di jalan raya. Bahkan, sebagian daerah telah menetapkan kebijakan pelarangan resmi odong-odong beroperasi, seperti di Jakarta, sejak 2019, Dinas Perhubungan DKI dan Polda Metro Jaya sepakat melarang odong-odong sebagai transportasi umum apalagi jika sampai melintasi jalan raya (Kompas.id, 29 Oktober 2019).
Namun, tarifnya tergolong murah meriah. Dengan Rp 2.000, warga sudah bisa wara-wiri keliling kampung, ke pasar, sekolah, atau ke pangkalan dan halte terdekat.
Beragam odong-odong ngetem di tepi Kali Ciliwung, Kampung Pulo, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (31/7/2022) siang. Sambil menanti penumpang, dua sopir bercakap-cakap tentang kecelakaan maut kereta api penumpang dan odong-odong di Kabupaten Serang, Banten yang menewaskan 10 orang dari 31 penumpangnya.
"Sopirnya pakai headset, enggak dengar teriakan penumpang," celetuk Adi (43), sopir odong-odong hasil modifikasi Toyota Kijang keluaran tahun 1985.
"Untung kena bagian belakang. Kalau kena bagian depan atau tengah, lewat (mati) semuanya," timpal Sinaga (30), sopir odong-odong lain yang juga hasil modifikasi Toyota Kijang.
Di tengah obrolan, satu per satu penumpang datang. Ada ibu membawa anak kecil dengan kantong belanja, ibu membawa bayi, kakak beradik, dan tiga warga lanjut usia. Semuanya naik ke odong-odong berkapasitas 16 penumpang yang dikemudikan Adi.
Murah meriah. Anak-anak suka (keliling naik odong-odong)
Ketika musik dangdut mengalun dari pengeras suara, odong-odong kuning biru itu pun tancap gas membelah Jalan Inspeksi Kali Ciliwung. Beberapa penumpang turun di permukiman padat penduduk Kampung Pulo.
Sebelum turun, mereka biasa berkata "turun di depan", "kiri Bang", "di sini Bang" atau "depan Bang" kepada sopir. Tak jarang, penumpang berulang kali mengatakan hal yang sama agar terdengar oleh sopir.
Dari situ odong-odong terus melaju ke Jalan Kampung Melayu Besar. Jalan raya yang ramai oleh kendaraan, termasuk angkutan umum menuju Terminal Kampung Melayu.
Kemudian odong-odong belok kiri ke Jalan Jatinegara Barat. Kebanyakan penumpang turun dan naik di Rusun Jatinegara Barat. Mereka merupakan warga gusuran dari bantaran Kali Ciliwung atau kerabatnya yang saling kunjung.
"Bosan di rusun. Pengin main sama keluarga di sono (Kampung Pulo)," tutur Ipeh (60), salah satu penumpang.
Siti (45), penumpang lain yang membawa serta anaknya, setuju dengan omongan Ipeh. Menurutnya, odong-odong sudah menjadi bagian dari keseharian warga. Mulai dari sekadar berkeliling kampung, bersilatuhrami antara warga kampung dan rusun, hingga pergi ke pasar dan sekolah.
"Murah meriah. Anak-anak suka (keliling naik odong-odong)," katanya.
Dari Rusun Jatinegara Barat, odong-odong kembali ke tempat ngetem di Jalan Inspeksi Kali Ciliwung. Rata-rata jam operasionalnya mulai pukul 06.00 hingga pukul 21.00 setiap harinya.
Modifikasi khusus
Pemilik odong-odong menghabiskan belasan hingga puluhan juta rupiah untuk membeli dan memodifikasi mobil atau sepeda motor bekas. Kendaraan dimodifikasi bagian mukanya supaya seperti angkutan umum dan ditambah dimensinya agar bisa mengangkut belasan penumpang.
Firman (40), sopir odong-odong, menghabiskan Rp 45 juta untuk modifikasi Daihatsu Granmax keluaran tahun 2015. Rata-rata waktu modifikasi selama tiga sampai enam bulan hingga odong-odong bisa mengaspal.
"Semua rombak. Sasisnya ditambah supaya bisa tampaung 16 penumpang, termasuk sopir," ujarnya sambil beristirahat di tepi Kali Ciliwung.
Semula kapasitas angkut mobil itu 8-9 penumpang. Dengan tambahan 6-7 penumpang, dalam sehari Firman bisa mengantongi Rp 250.000-Rp 350.000.
Pendapatan itu lalu dikurangi ongkos bahan bakar minyak Rp 100.000-Rp 120.000 dan setoran Rp 100.000 kepada bos setiap harinya.
"Dikit-dikit ada buat tabungan. Dari pada nganggur mending begini," katanya lelaki yang sebelumnya bekerja sebagai penjual perabotan rumah tangga.
Sebagai sopir, baik Adi maupun Firman turut merasakan tantangan saat mengemudikan odong-odong. Selain Jalan Inspeksi Kali Ciliwung yang menyempit karena jadi tempat parkir, kian banyak penumpang kian susah mengendalikan setir.
"Makin banyak (penumpang) makin berat. Odong-odong dari sepeda motor bebek bahaya. Bisa terangkat bagian mukanya," ucap Adi yang mengantongi SIM A.
Terkadang odong-odong juga kena razia petugas gabungan karena parkir atau melintas di jalan raya. Hukuman paling ringan Rp 500.000 hingga paling berat dikandangkan.
Firman, misalnya, terkena razia karena parkir di jalan raya beberapa bulan lalu. Pemilik odong-odong menebus kendaraan itu sebesar Rp 500.000.
"Ngeri juga sebenarnya kalau lewat jalan raya. Tapi mau bagaimana lagi, banyak penumpang," ucapnya.
Odong-odong yang beroperasi di jalan kerap kali terlibat kecelakaan maut. Dalam pemberitaan Kompas, maksud hati bersuka ria keliling Kawasan Industri Cikarang, tetapi maut menjemput di tengah suasana riang. Itulah yang terjadi ketika mobil odong-odong yang ditumpangi 11 orang (anak, pengasuh, dan orangtua) tertabrak truk di Bekasi, Selasa (6/5) pukul 15.40. Kejadian itu mengakibatkan lima anak tewas, sementara tujuh orang lain (berikut sopir) luka-luka. (Kompas, 7 Mei 2014).
Masih segar dalam ingatan, sepuluh warga, kebanyakan berusia anak-anak tewas dan 23 lainnya luka ringan atau berat dalam tabrakan kereta api versus odong-odong di perlintasan tanpa palang pintu di Kampung Silebu, Desa Silebu, Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (26/7/2022) siang.
Tak pelak pelarangan odong-odog kembali mencuat. Sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan yang dimodifikasi wajib melakukan uji tipe ulang.
Uji tipe ulang meliputi sistem kemudi, roda, alat kelengkapan kendaraan, yang semuanya harus memenuhi uji tipe.
Juga ada aturan bahwa setiap kendaraan bermotor wajib diregistrasikan dan wajib memiliki Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan surat kelaikan jalan atau Surat Sertifikasi Uji Tipe Kendaraan Bermotor (SRUT).
Jika tidak memiliki dua dokumen kelayakan jalan itu, berarti kendaraan tersebut tidak memiliki persyaratan teknis layak jalan. Hampir semua odong-odong tidak memenuhi persyaratan tersebut.
Walakin, sampai saat ini odong-odong yang kerap menjadi usaha perorangan masih banyak ditemukan menjadi kendaraan wisata maupun angkutan lingkungan, seperti di sekitar permukiman.
Kasubdit Laka Direktorat Gakkum Komisaris Besar Hotman Sirait menuturkan, odong-odong melanggar ketentuan karena mengubah dimensi kendaraan tak semestinya atau sesuai dengan peruntukan.
”Setiap perubahan atau modifikasi tipe dan bentuk wajib uji kelaikan,” ujarnya.
Korps Lalu Lintas Polri juga meminta jajarannya melarang odong-odong beroperasi di jalan raya. Odong-odong hanya boleh beroperasi di tempat wisata secara terbatas karena bukan moda transportasi.
Namun, odong-odong kasat mata masih terlihat mondar-mandir di jalanan, bahkan di ibu kota. Semua kebijakan seperti macan kertas. Sementara odong-odong masih menawarkan jasa angkut sekaligus hiburan murah. Sayangnya, itu seakan membiarkan nyawa siapa pun penumpangnya bisa ditebus murah.