Ke Jakarta Ku Terus Kembali
Badut jalanan menjadi pilihan para pendatang yang tersisih dalam persaingan dunia kerja di Jakarta.

Badut jalanan meminta belas kasihan pengguna jalan di Taman Hutan Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (13/2/2021).
Jutaan orang terkesima gemerlap Jakarta. Mereka meninggalkan kampung halaman demi meraih mimpi di Ibu Kota meskipun tak seindah impian. Terobosan radikal pemerintah dibutuhkan untuk mengakomodasi warga yang kalah bersaing di Jakarta.
Adi Yunanda (26) duduk termenung sambil memegang kepala boneka kelinci berwarna abu-abu dan putih. Di depan Restoran Padang, jejaka ini menatap kelabu langit Jakarta di tengah derap langkah orang-orang ataupun kendaraan yang kian cepat, Jumat (17/6/2022) sore.
Benaknya kembali ke masa lima tahun silam. Saat di mana hasratnya begitu membara untuk berdikari, juga menjauh dari pergaulan di kampung halaman yang rentan terhadap narkoba, minuman keras, ataupun kriminalitas. Berbekal ijazah S1 Matem”atika dari kampus kenamaan di Sumatera Utara, yatim piatu ini meninggalkan kampung halaman.
Dia menuju Ibu Kota dengan tekad membanggakan ayah dan ibu yang telah berpulang belasan tahun lalu. ”Enggak sangka bakal Covid-19. Panggilan kerja enggak kunjung datang. Boro-boro bayar uang kos, buat makan saja susah,” ujarnya.
Bontot dari tiga bersaudara ini mengawali petualangannya di Jakarta sebagai pramutamu di hotel bintang lima selama delapan bulan. Begitu kontrak kerjanya habis, dia beralih profesi menjadi pelayan restoran di pusat perbelanjaan hingga nyaris dua tahun.
Senang ada pemasukan. Tapi waswas banget. Takut diuber-uber petugas sosial. Padahal, kami tahu diri, cari duit dengan cara halal, enggak ada niat nyolong,

Manusia boneka yang mengamen di seputaran Thamrin City, Jakarta Pusat, Jumat (17/6/2022). Mereka berdiri ataupun berkeliling sambil berjoget dan bernyanyi demi remah rupiah.
Tiba-tiba pagebluk datang. Manajemen merumahkannya dan karyawan lain tanpa kepastian. Dua bulan menganggur, dia banting setir menjual tahu bulat keliling. Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Baca juga: Kolong Kemiskinan Jakarta Tidak Pernah Sepi
Bos tahu bulat menilap keuntungan penjualan sehingga Yunanda lebih sering buntung. Rasanya ingin menyerah dan pulang kampung, tetapi sukar lantaran hubungannya dengan sanak saudara sudah lesap. Apalagi kediaman mereka diambilalih dan disewakan oleh tulang-nya tanpa ada bagi hasil yang jelas.
Selepas berdagang tahu bulat, dia bekerja sebagai pramuniaga perusahaan telekomunikasi. Saban hari menawarkan kartu seluler dan paket internet. Pekerjaan ini dia geluti selama kurun waktu Januari 2021 hingga April 2022. Namun, kontrak kerja tersebut tak diperpanjang.
Mau tidak mau, pahitnya hidup tanpa penghasilan kembali mengisi hari-harinya. Bahkan, sisa gajinya sebanyak Rp 6,2 juta ludes kesana ke sini demi mencari pekerjaan lain.
”Puyeng, tabungan terus menipis. Satu-satunya pilihan, ya jadi badut jalanan,” kata lelaki yang tinggal di indekos berukuran 2 x 3 meter seharga Rp 750.000 per bulan di Jakarta Pusat.

Sandor (26), badut asal Kebayoran, Jakarta Selatan, saat menghibur warga di salah satu warung di Jaln Palem Utama, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (16/6/2022) malam.
Perkenalannya dengan badut jalanan terjadi ketika tengah mencari kerja di sekitar RSUD Tarakan, Jakarta Pusat. Saat itu, terjadi obrolan antara dia dan seorang badut tentang sewa kostum, cara kerja, penghasilan, dan lokasi potensial.
Dengan biaya sewa Rp 35.000 dan bekerja mulai pukul 10.00 hingga pukul 23.00, Yunanda bisa mengantongi Rp 120.000 setiap hari. Bahkan, hampir tiga bulan menjadi badut jalanan, tabungannya sudah mencapai Rp 2 juta.
Baca juga: Menilik Enam Dekade Penanganan Kemiskinan di DKI Jakarta
”Senang ada pemasukan. Tapi waswas banget. Takut diuber-uber petugas sosial. Padahal, kami tahu diri, cari duit dengan cara halal, enggak ada niat nyolong,” selorohnya.
Dia terus berupaya tegar selama bekerja sebagai badut jalanan. Sembari menabung pundi-pundi rupiah, dia ingin pekerjaan yang lebih baik. Jika memungkinkan, bisa menjadi seorang guru, cita-citanya sejak masa kanak-kanak.
Demi keluarga
Manusia boneka berwujud panda menari-nari di salah satu warung kecil di Jalan Palem Utama, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat malam. Manusia berkostum hitam putih kusam itu sedang menghibur seorang anak kecil yang tengah menanti ibunya berbelanja.
Badut panda itu adalah Sandro (26), lelaki asal Medan, Sumatera Utara, yang tak menyangka harus berakhir di jalanan dan menari-nari demi rupiah.

Manusia badut rehat setelah berkeliling seputaran Pasar Tanah Abang dan Stasiun Tanah Abang, Kamis (16/6/2022).
”Ini buat jajan anak saja, bang. Namanya juga punya anak, keluarga. Lagi sepi proyek,” katanya.
Sandro merantau ke Jakarta pada 2015. Dia datang ke Jakarta tanpa keterampilan atau bekal mumpuni. Lelaki itu hanya bermodal ijazah SMP disertai kenekatan dan keberanian untuk mencari kerja di Jakarta.
Seusai tiba di Jakarta, dia bekerja apa saja untuk bertahan hidup, salah satunya sebagai penambal ban. Pekerjaan ini dia geluti lebih kurang setahun hingga kemudian mendapat tawaran bekerja sebagai buruh salah satu proyek strategis nasional di Bekasi, Jawa Barat.
Selama bekerja sebagai buruh proyek, penghasilan yang diperoleh setiap bulan di atas upah minimum regional (UMR) Jakarta. Upah itu dinilai cukup bagi lelaki yang tinggal di Kebayoran itu untuk membangun keluarga. Dia pun menikah pada 2018 dan sudah memiliki seorang anak yang kini berusia 2 tahun.
Sandro mulai bekerja sebagai badut jalanan sejak Maret 2022 atau di saat pengerjaan proyek strategis nasional di Bekasi rampung. Dia saat itu tak memiliki waktu untuk mencari pekerjaan lain lantaran kebutuhan hidup keluarga yang harus dipenuhi.

Manusia boneka bersiap untuk mengamen di seputaran Thamrin City, Jakarta Pusat, Jumat (17/6/2022). Sejak siang hingga sore, mereka bisa mengantongi paling sedikit Rp 100.000.
Sandro dan Adi Yunanda merupakan bagian dari warga yang mencari nafkah di Jakarta dan turut terdampak pandemi Covid-19. Mereka menjadi bagian dari ratusan ribu warga miskin di Jakarta. Dari data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, pada September 2021 angka kemiskinan sebanyak 498.290 orang. Angka kemiskinan pada September itu menunjukkan perbaikan atau penurunan dibandingkan dengan angka kemiskinan pada Maret 2021 yang mencapai 501.920 orang.
Tren pendatang ke Jakarta
Selain terdampak pandemi Covid-19, kemiskinan di Jakarta turut disumbang oleh banyaknya orang dari luar Ibu Kota yang terus berdatangan untuk mencari pekerjaan, tetapi kemudian tidak tertampung atau tidak mendapatkan mata pencarian yang diidamkan.
Secara umum, selama 2010-2020, laju pertumbuhan penduduk di Jakarta sesuai hasil Sensus Penduduk Indonesia mencapai 0,92 persen per tahun atau sekitar 88.000 jiwa per tahun. Selain dari kelahiran bayi di wilayah DKI, pertambahan penduduk disumbang oleh orang-orang yang bermigrasi dari daerah lain ke Jakarta. Data tersebut sesuai dengan laporan BPS DKI Jakarta pada Maret 2020 yang mencatat sebanyak 7.421 penduduk datang dan bermukim di Jakarta.
Pada 2000-2010, Sensus Penduduk Indonesia 2010 mencatat laju pertumbuhan penduduk di Jakarta di atas 1,3 persen per tahun. Meskipun laju pertambahan penduduk dalam lebih kurang 10 tahun terakhir menurun dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya, tren orang datang dan menetap di DKI masih terjadi. Diyakini, pendatang kini juga menyerbu kawasan di luar Jakarta, tetapi masih dalam lingkup Bodetabek.
Baca juga: Kemiskinan di Jakarta Kembali ke 15 Tahun Lalu

Infografis Kemiskinan Jakarta Maret 2021 dikutip dari rilis Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, yang dipublikasikan, Kamis (15/7/2021).
Jakarta dan sekitarnya masih pusat kegiatan ekonomi terbesar nasional. Kawasan ini bagai madu yang terus menarik orang dari berbagai daerah untuk datang menjajal peruntungan. Bagi yang tidak memiliki ketrampilan khusus dan berpendidikan, akhirnya sulit menembus bursa kerja formal. Sementara membuka usaha pun tak mudah. Menggelandang mencari remah rupiah kemudian terpaksa dipilih sebagian orang untuk bertahan hidup. Karena pulang ke daerah asal pun, "kue" ekonomi itu sulit diraih.
Kebijakan khusus
Menurut Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia Dika Moehamad, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejatinya sudah memiliki ketentuan mengenai warga pendatang. Di dalam ketentuan itu disebutkan bahwa penduduk non-Jakarta yang sudah enam bulan tinggal di Jakarta diperbolehkan untuk didaftarkan dalam proses pemutakhiran data terpadu kesejahteraan sosial.
”Hanya saja, aturan ini tidak sinkron dengan proses pelaksanaannya. Di proses pemutakhiran DTKS, ada pemadanan (data) oleh dinas pendudukan dan catatan sipil. Warga non-Jakarta ini dalam proses pemadanan otomatis tersingkir,” kata Dika, Sabtu (18/6/2022) sore.
Menurut Dika, DKI Jakarta mestinya memiliki kebijakan khusus bagi warga miskin yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta. Warga yang sudah tinggal enam bulan di Jakarta, Pemerintah DKI seharusnya memiliki alokasi khusus bantuan sosial bagi warga yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta.

Ndari makan siang di sela-sela keliling menjadi badut jalanan di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (11/3/2021).
DKI Jakarta memang sudah memiliki program perlindungan sosial skala lokal yang bersumber dari APBD, misalnya Kartu Lansia Jakarta, Kartu Disabilitas Jakarta, dan Kartu Jakarta Pintar. Namun, cakupan penerima bantuan ini dinilai masih rendah. Sasaran dari program ini juga masih bersifat personal atau tidak berbasis keluarga.
SPRI mengusulkan agar Pemprov DKI menerapkan skema perlindungan sosial skala lokal dengan sasaran penerima berbasis keluarga. Skema bantuan dilakukan dengan dua cara, yakni bantuan reguler dan bantuan komponen.
Bantuan reguler merupakan bantuan yang diberikan kepada keluarga penerima manfaat agar bisa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan. Adapun bantuan komponen, misalnya di dalam keluarga ada kelompok lansia, maka ada bantuan biaya tambahan untuk merawat lansia.
Bantuan reguler dan komponen ini bisa dikemas dalam skema PKH lokal. Skema PKH lokal ini juga menjamin warga miskin yang tidak tercatat dalam data kependukan DKI Jakarta.
”Pemda DKI mempunyai anggaran yang cukup untuk membiayai PKH Lokal. Kemampuan fiskal DKI sangat tinggi atau besar. DKI perlu menerapkan penghematan anggaran karena selama ini ada penggunaan anggaran yang kurang bermanfaat bagi kepentingan rakyat,” ujarnya.