Toko Kelontong Beradaptasi demi Layani Kaum Urban
Beradaptasi dan berdaya saing saja tak cukup, pedagang kecil tetap harus mengikuti selera konsumen, berinovasi, hingga memanfaatkan perkembangan teknologi.
Toko tradisional atau toko kelontong milik warga bertahan dengan beradaptasi dengan kemajuan teknologi, juga berupaya terus menjawab kebutuhan masyarakat. Kemampuan adaptasi ini menjadi perisai pelindung dalam persaingan dengan toko modern alias minimarket yang keberadaannya kini menjamur hingga ke permukiman. Jika tidak bisa beradaptasi, mereka pun terdepak dari lini usaha ini.
Yudi Endra Yudian (42) kini lebih banyak menggunakan lapak gerobaknya sebagai tempat tidur. Padahal, hingga sebelum pandemi Covid-19, di gerobak itu ia berjualan aneka minuman kemasan, mi instan, camilan, hingga popok bayi.
Sebelum pagebluk, penghasilan lapak gerobak Yudi Rp 300.000-Rp 250.000 per hari. Lapaknya tutup paksa ketika pembatasan kegiatan masyarakat ketat dilakukan untuk pengendalian pandemi. Saat membuka lapaknya lagi sekitar tujuh bulan lalu, penghasilannya jatuh hingga sekitar Rp 30.000 per hari.
Yudi gulung tikar dan terpaksa beralih profesi sebagai tukang parkir di Jalan Sudirman, Sempur, Kota Bogor, Jawa Barat. ”Tidak laku jualan di sini karena ada pilihan lebih bagus mungkin. Ada minimarket yang lebih menjadi pilihan warga,” ujar Yudi, Kamis (26/5/2022).
Turut terdampak pandemi dan bersaing dengan toko kelontong modern alias minimarket, warung minuman dan makanan milik Umi (68) mencoba terus bertahan.
Menurut Umi, keberadaan minimarket turut memengaruhi dagangannya. Namun, ia tetap bersyukur masih ada yang selalu mampir di warungnya. Konsep tempat usahanya dibuat agar warga, pengojek, atau pekerja lainnya bisa beristirahat lebih lama sembari jajan. Ia pun menyedikan terminal agar pengunjung bisa mengisi ulang telepon seluler.
”Memang sederhana dan enggak ramai terus. Bebas mah mau sampai jam berapa saja kecuali warung tutup baru pulang. Kan, ini biar pengunjung enak kalau cuma mau nongkrong murah meriah,” ujar Umi.
Kunci satu, sebisa mungkin kita beradaptasi dengan kebutuhan pelanggan dan teknologi. Lalu, secara harga coba deh bandingkan, saya rasa kami lebih murah.
Pengalaman berbeda dialami Ade (42), pemilik toko kelontong ”Warung Palbara” di Panaragan Baru, Bogor Tengah. Semakin menjamurnya minimarket tak terlalu berpengaruh baginya atau bahkan tak sampai kehilangan pelanggan.
Sudah sejak lama pria kelahiran Cibinong, Kabupaten Bogor, itu berusaha meningkatkan pelayanan dan kebutuhan warga. Selain menjual berbagai kebutuhan rumah tangga atau bahan makanan pokok di toko berukuran sekitar 3 meter × 3 meter itu, Ade juga melayani pembayaran listrik, saldo pulsa, produk seperti lampu bergaransi, bahkan memfasilitasi pembayaran pemindai dari salah satu aplikasi uang elektronik.
”Jadi, bisa bayar lewat HP saja kalau ada aplikasinya. Karena tuh sekarang metode bayar selain tunai, bisa juga nontunai pakai HP tinggal scan barcode saja. Ya, ini jadi salah satu cara agar mengikuti perkembangan,” ujar Ade.
Menurut Ade, toko kelontong atau toko tradisional tetap akan ada meski minimarket semakin menyebar di setiap sudut kota, bahkan mendekati perumahan warga. Meski tidak akan bisa melayani kebutuhan pelanggan seperti layaknya di minimarket yang memiliki penyejuk ruangan, susunan produk yang lebih rapi tertata, hingga menyediakan makanan dan minuman kekinian seperti roti dan kopi ala kafe, toko tradisional tetap akan dicari warga karena memiliki keunikan yang tidak ada di minimarket.
”Kunci satu, sebisa mungkin kita beradaptasi dengan kebutuhan pelanggan dan teknologi. Lalu, secara harga coba deh bandingkan, saya rasa kami lebih murah,” kata ayah satu anak itu.
Baca juga: Kajian Penertiban Minimarket demi Lindungi Pedagang Kecil
Keunggulan lainnya, toko kelontong atau warung bahan makanan pokok menerima produk olahan makanan seperti aneka kue tradisional meski secara packing atau bungkusan belum dikemas secara rapi.
”Tapi, ini juga jadi saling bantu warga lainnya yang menitipkan kue-kuenya. Kita berbagi rezeki dan laku kok kue-kue itu. Mungkin ini yang tidak ada di minimarket karena kalaupun mereka terima kue-kue itu, tapi harus packing-nya diperhatikan biar laku. Lha, kalau di toko kelontong mah kue dan gorengan apa saja dengan ada atau tidak kemasan tetap kami bantu jualin,” ujar Ade.
Hal serupa disampaikan Fania (34), pemilik toko bahan makanan pokok, alat-alat makanan, dan plastik, di Jalan Perintis Kemerdekaan. Tak jauh dari tempat usahanya, di sekitar kawasan Pasar Merdeka, setidaknya ada empat minimarket. Fania merasa tetap bersaing secara sehat terutama dalam hal harga dan kebersihan.
Sebagai pengusaha dan upaya mengikuti selera konsumen, Fania juga berusaha untuk berinovasi, tidak hanya melalui metode pembayaran tunai dan nontunai, tetapi juga mendaftarkan produknya ke mitra aplikator layanan jasa seperti Gojek dan Grab. Hal itu ia lakukan untuk memfasilitasi konsumen yang berbelanja secara daring.
”Kita sama-sama usaha untuk memenuhi kebutuhan warga. Keberadaan pasar tradisional dengan dikelilingi toko-toko (konvensional) seperti kami tetap dicari kok meski ada minimarket. Yang belanja di sini bisa beli satuan dan bisa paketan, bisa online, ada proses tawar-menawar. Jadi, pasarnya tetap beda dengan minimarket meski mereka hampir semua produk kayaknya ada,” kata Fania.
Sementara itu, Angga (29), warga Panaragan Baru, menilai, toko tradisional atau toko kelontong masih sangat dibutuhkan karena secara harga lebih murah. Begitu pula minimarket dibutuhkan untuk saling melengkapi kebutuhan warga yang tidak ada di toko tradisional.
”Salah satunya itu di setiap minimarket ada mesin ATM. Itu jelas memudahkan. Pembayaran transaksi lainnya, seperti listrik, tiket, ada BPJS juga itu cukup membantu dan memudahkan,” kata Angga.
Sopian (32), warga Sempur, mengatakan, toko tradisional ataupun toko modern memberikan opsi berbelanja untuk konsumen. Keberadaan minimarket tidak membuatnya meninggalkan toko tradisional.
”Beda kebutuhan belanja saja. Kita belanja, kan, kadang cari suasananya. Kebersihan dan penataan juga jadi alasan ke minimarket. Keduanya sama-sama penting dan harus ada,” ujar Sopian.
Yudi, Umi, Ade, dan Fania hanya sedikit pelaku usaha kecil yang berusaha tetap berusaha hidup menjalankan usaha di tengah menjamurnya minimarket. Beradaptasi dan berdaya saing saja tak cukup, mereka tetap harus mengikuti selera konsumen, berinovasi, hingga memanfaatkan perkembangan teknologi.
Dalam berbagai upaya itu, mereka tetap berharap pelaku usaha kecil menjadi prioritas dan diperhatikan oleh pemerintah agar tak mati ditelan modernisasi pasar berjejaring.
Pemkot kaji keberadaan minimarket
Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, akan mengkaji keberadaan minimarket yang dinilai melanggar peruntukan tata ruang kota. Pemerintah daerah harus dilibatkan dalam perizinan usaha minimarket agar melindungi pelaku usaha kecil.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, keberadaan minimarket jangan sampai melanggar tata ruang kota yang tidak sesuai peruntukan dan berpengaruh, bahkan mematikan, pedagang lainnya.
”Kami akan mengkaji dan memetakan terkait keberadaan minimarket ini. Kami akan tertibkan jika melanggar tata ruang. Jika sudah sesuai tata ruang, tapi ada permasalahan izin, kami tutup dengan imbauan mengurus perizinannya. Ada sekitar 200 (minimarket) yang bermasalah,” ujar Bima, Senin (23/5/2022).
Berdasarkan data Dinas Koperasi, UMKM, Perdagangan, dan Perindustrian Kota Bogor, ada 520 minimarket. Dari total 520 itu, setidaknya ada 222 minimarket yang dinilai berdekatan dengan jarak sekitar 300 meter atau memiliki permasalahan perizinan.
Menurut Bima, ada kelemahan dalam sistem online single submission (OSS). Pemerintah daerah tidak bisa langsung mengawasi perizinan minimarket karena pengusaha mengurus unit usahanya beroperasi secara daring ke sistem yang terhubung ke pemerintah pusat.
”Ini bisa menimbulkan persoalan. Jika bisa terdeteksi pasti kami tidak izinkan. Itu tidak terdeteksi oleh bagian perizinan satu pintu, maka itu akan lolos. Jika di OSS ada ruang pemda untuk mengawasi dan tidak setuju, ada waktu pemda mengawasi dan mengecek kawasan yang dipakai usaha sudah sesuai peruntukannya atau tidak,” ucap Bima.
Baca juga: Kajian Penertiban Minimarket demi Lindungi Pedagang Kecil
Pembenahan sistem perizinan minimarket pun didesak agar dibenahi dari hulu, yaitu dari pusat. Semua itu agar tercipta pasar yang sehat bagi para pelaku usaha, baik modern maupun tradisional. Toko kelontong milik dan untuk warga berkantong pas-pasan pun dapat semakin eksis.