Salah Jalan Bocah Berujung Petaka
Keberanian remaja untuk tawuran hingga menimbulkan korban jiwa karena didorong rasa amarah dan permasalahan yang sudah menumpuk. Tidak ada ruang nyaman di rumah dan sekolah menyebabkan remaja tawuran.
Aksi kekerasan jalanan atau tawuran antarpemuda terus terulang. Seperti tawuran di Palmerah, Jakarta Barat, yang didominasi pelajar sekolah dasar dan sekolah menengah pertama hingga menelan korban jiwa dan luka-luka akibat senjata tajam. Bagaimana mungkin pelajar sekolah dasar atau anak di bawah umur bisa bertindak sejauh itu?
Nyawa Diaz (20) tak tertolong setelah menjadi korban tawuran di Jalan Sanip, Jatipulo, Palmerah, Sabtu (9/4/2022). Saat itu, Diaz bersama teman-temannya warga Kota Bambu Utara dan Kota Bambu Selatan berkeliling membangunkan warga untuk sahur.
Baca juga : Polisi: Remaja Pelaku Tawuran Maut
Saat berkeliling, sekitar pukul 03.00, rombongan Diaz dicegat di Jalan Sanip oleh kelompok remaja Jatipulo yang sudah siap dengan membawa senjata tajam. Tawuran antarpemuda itu pun tak terelakkan sehingga menyebabkan Diaz mengalami luka sabetan di dada. Korban luka lainnya, yaitu Arya dan Zaki, saat ini masih dalam perawatan.
Kepala Kepolisian Sektor Palmerah Ajun Komisaris Dodi Abdulrohim mengatakan, kedua kelompok sebelumnya saling ejek di media sosial dan berlanjut janji tawuran melalui media sosial. Namun, diduga Diaz yang menjadi korban bukan bagian dari kelompok yang bertikai. Ia hanya kebetulan ikut meramaikan kegiatan anak-anak Kota Bambu Utara dan Kota Bambu Selatan membangunkan warga sahur.
”Sabtu kemarin, kelompok Kota Bambu Utara dan Kota Bambu Selatan sedang berkeliling membangunkan sahur. Mereka tidak membawa senjata tajam. Ada penyusup dari anak Jatipulo. Lalu di Jalan Sanip mereka dicegat dan bentrok. Kelompok Jatipulo sudah siap dengan senjata tajam,” kata Dodi, Kamis (14/4/2022), dalam keterangan video.
Pasca-tawuran maut tersebut, Polsek Palmerah menangkap delapan pelaku tawuran yang masih di bawah umur dan berstatus sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Delapan pelaku itu adalah RF (14), J (14), RR (14), NR (14), SR (14), R (14), GEF (15), dan AN (16). ”Ada empat eksekutor (bawa senjata tajam). RF dan J sebagai eksekutor pembacokan. J masih berstatus pelajar SD kelas 6. Lainnya ikut dalam penganiayaan saat tawuran,” lanjut Dodi.
Para pelaku terancam dikenai Pasal 170 dan 358 KUHP dengan ancaman hukuman di atas tujuh tahun penjara. Namun, kata Doni, karena pelaku masih di bawah umur, pihaknya berkoordinasi dan bekerja sama dengan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Jakarta Barat terkait sistem peradilan pidana para pelaku.
Pembimbing Balai Pemasyarakatan, Widya, menambahkan, pihaknya mengkaji pelaksanaan diversi untuk anak-anak di bawah umur yang bermasalah dengan hukum.
Mengantisipasi kenakalan remaja dari tindak tawuran hingga penyalahgunaan narkoba. Ini memang perlu kerja sama semua lapisan masyarakat hingga orangtua dalam hal pengawasan. Masa depan mereka masih panjang
Sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana di luar proses peradilan pidana.
Tujuan diversi ini untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, partisipasi warga, dan menanamkan rasa tanggung jawab.
Dalam Pasal 32 UU Nomor 11 Tahun 2012 disebutkan, penahanan bersyarat kepada terduga tindak pidana berumur 14 tahun.
”Mereka masih di bawah umur. Anak-anak ini akan langsung ke peradilan atau dilaksanakan diversi? Kami lakukan diversi meski belum diketahui hasilnya gagal atau tidak. Kami titipkan mereka ke Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Anak (LPKS) Cipayung, Jakarta Timur,” ujar Widya.
Baca juga : Puluhan Pelajar Diciduk Usai Tawuran Maut di Tangerang
Doni saat dikonfirmasi ulang mengatakan, anak-anak tersebut tetap mendapatkan hak pendidikan, terutama J yang akan mengikuti ujian. Mereka juga mendapatkan hak perlindungan.
Sementara itu, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Palmerah Ajun Komisaris Parman Goeltom mengatakan, pihaknya akan meningkatkan pengawasan hingga memberikan pembinaan ke sekolah-sekolah untuk mencegah munculnya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat serta aksi kriminalitas yang melibatkan para pelajar.
”Mengantisipasi kenakalan remaja dari tindak tawuran hingga penyalahgunaan narkoba. Ini memang perlu kerja sama semua lapisan masyarakat hingga orangtua dalam hal pengawasan. Masa depan mereka masih panjang,” kata Goeltom.
Cari akar permasalahan
Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti, keberanian anak atau remaja turun ke jalan membawa senjata tajam, bahkan sampai menimbulkan korban luka dan jiwa, tidak muncul seketika dalam satu-dua bulan. Keberanian itu terpupuk dari rasa dendam dan amarah atas permasalahan hidupnya yang sudah berlarut lama.
”Itu terbentuk sejak lama di lingkungan keluarga. Dari beberapa contoh kasus, bisa karena keharmonisan keluarga. Orangtua yang dekat dengan anak memberikan ruang dialog, penghargaan, dan kreasi mengembangkan potensi bakat, maka anak-anak tidak akan mencari lingkungan luar yang mau menerima eksistensi mereka dengan cara yang salah,” tutur Retno.
Penyaluran ekspresi dan energi berlebih itu perlu diberikan ruang. Mereka mungkin tidak berprestasi secara akademik, tetapi setiap anak memiliki potensi dan bakat di bidang lainnya. Menurut Retno, hal ini yang belum sepenuhnya menjadi perhatian orangtua dan sekolah. Ruang dan penghargaan kepada anak menjadi masalah yang berujung pada tumpahnya ekspresi negatif.
Pendidikan membangun karakter memang tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah. Ini perlu penanaman sejak dini dan menjadi tanggung jawab orangtua.
Sekolah pun harus memiliki perhatian khusus kepada anak-anak seperti ini. Mencari akar permasalahan anak-anak tersebut karena beberapa kasus ada anak yang orangtuanya bercerai sehingga tidak mendapat perhatian dan kasih sayang.
”Sebagai orang dewasa tidak memandang bahwa anak-anak itu haus kasih sayang. Bukannya membantu anak jika ada masalah atau dalam fase mencari jati diri, kenakalan anak justru menjadi kesalahan anak itu sendiri. Kita orang dewasalah yang tidak peka,” ujarnya.
Retno mengaku sedih jika ada orang dewasa menyalahkan anak-anak yang terlibat tawuran. Orang dewasa bersikap abai dan tidak mau mengerti permasalahan anak sehingga mereka bertindak sejauh itu.
”Kita tidak bisa memandang anak-anak dengan menyudutkan mereka. Justru perlu dibantu. Semakin kita menyalahkan, mengucilkan, tidak menerima, anak-anak akan semakin kuat di dalam peer group-nya,” lanjutnya.
Baca juga : ”Skateboard” Mengubah Hidup Derian
Selain itu, menurut Retno, perlu juga kontrol dan pengawasan lingkungan oleh warga. Warga harus segera menelepon polisi, Bhabinkamtibmas atau segera melapor ke pengurus lingkungan RT/RW jika melihat sekelompok pemuda berkumpul agar membubarkan mereka. Hal itu untuk mencegah dan antisipasi karena terjadinya tawuran berawal dari kumpul-kumpul.
Kematian Diaz dan korban tawuran lainnya seharusnya tak terjadi jika kita memberikan ruang dan perhatian kepada anak-anak. Keberanian dari aksi nekat mereka turun ke jalan membawa senjata tajam, bahkan berani membacok hingga menimbulkan korban, muncul dari amarah dan permasalahan yang sudah menumpuk lama.