Jadi Korban Debu Batubara, Warga Minta DKI Bertindak
Debu batubara membuat warga sesak napas, batuk, sampai sakit mata. Warga Marunda mendesak Pemprov DKI Jakarta turun tangan menertibkan aktivitas bongkar muat batubara di sekitar tempat mereka tinggal.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Sebagian warga Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, mengeluhkan gangguan kesehatan karena debu batubara yang tertiup angin dari arah Pelabuhan Marunda. Mereka mengharapkan pemerintah cepat bertindak dengan turun tangan menertibkan aktivitas bongkar muat batubara di sekitar tempat mereka tinggal.
Keluhan ini banyak dirasakan warga yang menghuni Rumah Susun Sederhana Sewa atau Rusunawa Marunda, yang tidak jauh dari pantai. Saban hari di musim angin barat awal tahun 2022, angin kencang membawa abu batubara dan mengotori rumah mereka dengan debu halus berwarna hitam pekat.
Paulus Diki (67), warga yang menghuni Lantai 1 Kluster B di RT 007 RW 005, mengatakan, ia pertama kali menyadari paparan debu itu sekitar 2018. Sebagai pensiunan pekerja pelayaran yang sering menemui kapal tongkang, ia paham bahwa debu itu adalah batubara. Namun, pada awal tahun ini, cuaca mendukung debu itu untuk semakin mengotori tempat tinggalnya.
Keluarganya, yang sudah 8 tahun di sana, harus sering membersihkan teras di depan unit tempat mereka tinggal. Diki pun membayar petugas kebersihan untuk melakukan pekerjaan tambahan menyapu dan mengepel balkon di depan pintu unit mereka. Ia juga lebih sering menutup jendela rumahnya untuk menghindari debu masuk ke rumah.
”Yang lebih parah lagi sebenarnya dampaknya ke kesehatan. Debu itu masih bisa masuk rumah walau kita sering tutup jendela dan pintu. Saya jadi sering sesak napas kalau lagi banyak angin. Anak-anak saya juga sering batuk,” ujarnya saat ditemui hari Senin (14/3/2022).
Sejak debu batubara semakin sering mengotori klusternya pada awal tahun ini, ia pun meminta ketiga anaknya untuk mengungsi ke rumah orangtuanya di Tanjung Priok. Ia mengkhawatirkan kondisi anaknya, terutama anak bungsu yang masih di bawah umur.
Debu itu masih bisa masuk rumah walau kita sering tutup jendela dan pintu. Saya jadi sering sesak napas kalau lagi banyak angin. Anak-anak saya juga sering batuk.
Keluhan sama juga dirasakan keluarga Poppy Pratiwi (22), yang mendiami unit di Lantai 5. Ibu satu anak ini mengatakan, keluarganya juga mengalami batuk bersamaan karena paparan debu beberapa bulan lalu. Bahkan, anaknya yang masih berumur satu tahun lebih sempat sakit selama seminggu sampai berat badannya turun.
”Kemarin itu kita sama-sama rasain batuk yang kering dan panas di tenggorokan. Beda sama batuk karena flu. Anak saya pun sampai enggak mau makan karena mungkin tenggorokannya sakit. Ibu saya yang tinggal di kluster A juga punya keluhan sakit mata,” ujarnya.
Sekolah terdampak
Sunandar, Wakil Kepala SMP Negeri 290, di sekolah satu atap di kawasan sama juga khawatir kesehatan murid-muridnya terdampak. Sekolahnya yang berbagi dengan Sekolah Luar Biasa Negeri 8 dan Sekolah Dasar Marunda 05 hanya beberapa ratus meter dari Pelabuhan Marunda.
Ia mengatakan, kawasan pelabuhan itu meluas ke daerah tersebut bersamaan dengan didirikannya sekolah itu pada 2018. Sebelumnya, lahan di belakang daerah sekolah itu adalah pelabuhan nelayan biasa. Dikutip dari Kompas.com (25/8/2019), pelabuhan itu terus diperluas setelah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional pada 2018 oleh pemerintah pusat.
Aktivitas pelabuhan, seperti bongkar muat batubara, bisa dilihat dari lantai empat bangunan sekolah yang digunakan untuk siswa SMP. Jika kapal tongkang datang membawa batubara di jam sekolah, mereka menutup rapat pintu dan jendela kelas. Jika tidak, debu batubara bisa masuk terbawa angin. Situasi ini pun merepotkan karena petugas kebersihan harus lebih sering membersihkan lantai.
”Untungnya sekarang setelah pembelajaran tatap muka diadakan lagi di masa pandemi, anak-anak bisa pakai masker. Kalau sebelum pandemi, kita enggak ada perlindungan karena enggak ada kewajiban pakai masker,” ujarnya.
Menghadapi situasi ini, tiga pimpinan di sekolah satu atap itu dan SDN 02 Marunda yang juga terpapar debu batubara, kata Sunandar, pernah mengirimkan proposal kepada perusahaan pengelola Pelabuhan Marunda. Proposal itu dilayangkan dua tahun lalu. Isinya melaporkan paparan debu batubara dan permintaan bantuan alat kebersihan.
”Sampai sekarang, proposal kami tidak digubris perusahaan,” katanya.
Selain sekolah, warga rusunawa juga terus menyuarakan keluhan mereka ke instansi terkait dan pemerintah. Poppy, misalnya, tahun lalu pernah ikut menandatangi petisi berisi permintaan evaluasi aktivitas di pelabuhan dekat tempat tinggal mereka kepada anggota Dewan. Hari ini, ibunya pun bergabung dengan puluhan warga Rusunawa untuk berdemo menyuarakan tuntutan yang sama.
Warga Rusunawa menggelar aksi unjuk rasa di Balai Kota, Jakarta Pusat. Dalam keterangan tertulis, mereka menuntut pemerintah mengevaluasi perusahaan pengelola pelabuhan yang diduga sebagai sumber pencemaran. Lalu, agar memberi sanksi kepada regulator pelabuhan, yaitu Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas V Marunda.
Sanksi
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto mengaku sedang menyiapkan sanksi kepada pihak yang terkait dengan pemicu pencemaran abu batubara di Marunda, Jakarta Utara. ”Iya, saat ini kami sedang siapkan surat keputusan sanksinya,” kata Asep saat dihubungi hari ini.
Sebelumnya, DLH DKI Jakarta mengirim Petugas Pengawas Lingkungan Hidup ke lokasi, pada awal Maret, bersama Suku Dinas Lingkungan Hidup (Sudin LH) Jakarta Utara, Suku Dinas Pendidikan Jakarta Utara, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Fraksi PDI-P Jhonny Simandjuntak. DLH DKI lalu mengambil sampel debu dan beraudiensi dengan warga Rusunawa Marunda.
Sangat sulit untuk membuat ’win-win solution’ karena dampaknya sangat berbahaya bagi masyarakat. Dalam kebijakan transisi (energi terbarukan), meninggalkan penggunaan batubara harus disegerakan.
Beberapa tahun lalu, Sudin LH Jakarta Utara juga sempat menegur salah satu badan usaha pelabuhan (BUP) yang mengelola Pelabuhan Marunda, yaitu PT KCN. Maya, Humas PT KCN, mengatakan kepada Kompas, mereka telah melakukan berbagai upaya preventif untuk meminimalkan pencemaran udara oleh batubara.
”Sejauh ini dengan penyiraman air dan polynet, kami rasa sudah cukup mengurangi dampak pencemaran. Kami pun beberapa waktu lalu sudah menanam pohon Spathodea tahap 1 sebanyak 120 pohon dan akan terus berlanjut,” ujarnya.
Maya mengakui, upaya preventif oleh PT KCN itu tidak cukup dilakukan. Saat ini, Pelabuhan Marunda memiliki delapan dermaga yang melakukan bongkar muat batubara. Dermaga-dermaga itu dikelola BUP lainnya.
Bagus Ahmad, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, yang dihubungi terpisah kemarin, mengatakan, mereka justru mendesak aktivitas bongkar muat batubara dihentikan di pelabuhan tersebut.
”Sangat sulit untuk membuat win-win solution karena dampaknya sangat berbahaya bagi masyarakat. Dalam kebijakan transisi (energi terbarukan), meninggalkan penggunaan batubara harus disegerakan,” ujarnya.
Seperti diketahui, batubara banyak dimanfaatkan untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap dan menghasilkan listrik.
Organisasi lingkungan lain, seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menyatakan, batubara termasuk limbah abu, sisa pembakarannya berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan karena mengandung arsenik, merkuri, kromium, timbal, dan logam berat lainnya.