Mendamba Keberpihakan pada Anak Korban Kejahatan Seksual
Korban dan keluarganya didorong berani melaporkan kasusnya. Negara dan aparat bertanggung jawab mewujudkan keadilan bagi korban. Negara dianggap melakukan kejahatan jika membiarkan kekerasan seksual terus terjadi.
Oleh
Stefanus Ato
·4 menit baca
Kasus kekerasan seksual yang terbongkar selama 2021 belum menggambarkan situasi sebenarnya jumlah kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia. Kondisi serupa terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Upaya rehabilitasi belum membuat anak sepenuhnya pulih. Hal ini karena hukum belum sepenuhnya berpihak kepada korban.
Di Kota Bekasi, Jawa Barat, misalnya, selama sepekan terakhir, ada sejumlah kasus kekerasan seksual yang menjadi sorotan. Aparat penegak hukum, terutama Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota, yang sejatinya menjadi harapan terakhir keluarga mencari keadilan, pun sempat berpaling dari mereka.
Seorang ibu rumah tangga, SA (40), dan dua anaknya, masing-masing berusia 16 tahun dan 10 tahun, menjadi korban pencabulan tetangga sekaligus mantan ketua RT mereka berinisial S di kawasan Jatimelati, Kecamatan Pondok Melati, Bekasi. Dua anak korban menjadi sasaran kekerasan seksual pelaku pada awal Juni 2021. SA menjadi obyek kejahatan seksual orang yang sama pada 27 September 2021.
Ketika proses hukumnya berjalan terlalu panjang dan tidak segera dituntaskan, korban tertekan.
Pelaku kemudian dilaporkan ke polisi dan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, polisi tak kunjung menahan pelaku. Padahal, pelaku terancam pidana penjara di atas lima tahun. Pelaku baru ditangkap saat kasus itu sudah viral dan memicu hujatan dari masyarakat luas.
Kasus lain, D (34), seorang ibu rumah tangga di Bekasi Selatan, bersama keluarganya terpaksa menangkap sendiri pelaku kekerasan seksual berinisial A (35). Pelaku tersebut sudah berulang kali menjadikan anak perempuan D, berinisial S (11), sasaran nafsu bejatnya.
Saat kasus itu dilaporkan ke polisi, petugas meminta keluarga korban untuk menangkap sendiri pelaku. Padahal, saat itu pelaku sudah berusaha kabur dan telah berada di kawasan stasiun.
Proses penegakan hukum yang terkesan lambat ini tecermin dari data Perlindungan Anak Daerah Kota Bekasi. Sepanjang 2021, ada 25 kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak. Dari jumlah itu, kasus yang tersumbat proses hukumnya mencapai 50 sampai 60 persen.
”Penegakan hukum kejahatan seksual terhadap anak menjadi prioritas. Ketika proses hukumnya berjalan terlalu panjang dan tidak segera dituntaskan, korban tertekan,” kata Ketua KPAD Kota Bekasi Aris Setiawan, Minggu (26/12/2021), di Bekasi.
Proses pemulihan psikologis dan sosial anak juga terhambat. Sebab, korban tidak bisa fokus memulihkan kondisinya karena masih harus berhadapan dengan proses panjang pemeriksaan di lembaga penegakan hukum.
Banyak tak terlaporkan
Psikolog Sayekti Pribadiningtyas, dalam diskusi daring ”Kejahatan Seksual terhadap Anak Indonesia”, yang digelar Forum Warga Kota-Indonesia, Rabu (22/12/2021), mengatakan, persoalan lain penyelesaian kasus kekerasan seksual anak, yakni banyak kasus yang tidak terlaporkan. Ini karena ada orangtua yang malu karena menganggap melaporkan kasus kekerasan seksual adalah aib.
”Dan, dari pengalaman di lapangan, ternyata tidak ada tempat yang aman bagi anak-anak. Baik itu di rumah sendiri, dunia pendidikan, maupun institusi keagamaan,” ucap Sayekti.
Di saat tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi anak, dampak dari kekerasan seksual memiliki daya rusak yang luar biasa. Tidak ada korban kekerasan seksual yang benar-benar pulih seusai mengalami suatu kejahatan seksual.
”Biasanya setelah selesai proses pengadilan, pendampingan klien (korban) justru baru akan dimulai untuk pemulihan luka jiwa. Luka jiwa itu bukan suatu terapi yang sederhana. Itu membutuhkan waktu yang lama dan didukung oleh banyak hal, terutama lingkungannya,” katanya.
Proses pemulihan yang tak selesai karena tak mendapat dukungan bakal berdampak panjang. Korban berpotensi kecanduan seks, narkoba, terlibat prostitusi, hingga menjadi predator seksual.
Negara dipersalahkan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung Iur Liona N Supriyatna mengatakan, berbagai peristiwa kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia jika terus dibiarkan dan tidak ada suatu tindakan hukum yang nyata, maka negara bisa dipersalahkan. Sebab, negara memiliki immidiate obligation atau kewajiban yang bersifat segera dan secepatnya tanpa memandang ketersediaan sumber daya dalam menghapus bentuk kejahatan seksual.
”Jika tidak, maka negara melakukan suatu kejahatan dengan pembiaran. Oleh karena itu, segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS),” kata Iur.
RUU TPKS telah sembilan tahun diupayakan menjadi undang-undang sejak pertama kali masuk sebagai usulan masyarakat ke DPR. Pada masa kerja DPR periode 2014-2019, RUU ini gagal lolos dari Komisi VIII. Pada periode 2019-2024, rancangan ini dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Setelah melalui perdebatan panjang dan alot di rapat-rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS di Baleg serta beberapa kali perubahan substansi akhirnya usulan RUU TPKS disetujui tujuh fraksi dari sembilan fraksi pada 8 Desember 2021. Namun, RUU TPKS itu batal ditetapkan sebagai RUU Inisiatif dalam Rapat Paripurna DPR pada 16 Desember 2021.
Tenaga Ahli Kepala Staf Presiden Nuraini Hilir mengatakan, pemerintah saat ini masih terus memantau proses di DPR setelah RUU TPKS batal ditetapkan sebagai RUU Inisiatif dalam Rapat Paripurna DPR pada 16 Desember 2021. Pemerintah sejatinya menunggu agar RUU TPKS diketok oleh DPR.
”Pemerintah secara substansi sudah memiliki kesiapan. Tinggal menunggu formalitas mekanisme pembahasan regulasi,” kata Nur.