Ketenangan Masa Pensiun yang Terusik Proyek Strategis Nasional
Warga Kompleks Pengairan Bekasi Timur, Kota Bekasi, mengeluhkan nilai ganti rugi pembebasan lahan pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum yang sangat rendah.
Oleh
STEFANUS ATO
·6 menit baca
Edi Sumaedi (67) merelakan rumah yang sudah ditempati 40 tahun untuk digusur. Ketenangan di hari tua, jutaan kenangan bersama keluarga, anak, dan cucu, yang ada di rumahnya, sudah siap dia tinggalkan demi kelancaran proyek strategis nasional yang bakal bermanfaat bagi publik. Pengorbanan mereka berakhir dengan kekecewaan dan kini harus berjuang mencari keadilan di meja hijau akibat karut-marutnya penataan kota.
Warga Jalan Mayor Madmuin Hasibuan, Kompleks Pengairan Bekasi Timur, Margahayu, Kota Bekasi, itu sudah tinggal di sana sejak 1979. Rumah yang ditinggali lelaki tiga anak itu dulu dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk pegawai-pegawai kementerian.
”Rumah ini dulu pertama kami tempati, statusnya sewa. Setelah sewa lunas, kami proses lagi untuk kredit cukup lama, hampir 16 tahun sampai lunas,” kata pensiunan pegawai Kementerian PUPR tersebut, Selasa (14/12/2021), di Bekasi.
Edi, setelah melunasi rumah tersebut dan pensiun pada 2009, sama sekali tidak berpikir untuk menjual rumah itu. Sampai pada 2015, mereka mendapat kabar kalau kompleks perumahan mereka masuk dalam proyek strategis nasional Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
Warga yang bermukim di kompleks pengairan pun terus mencari kebenaran tentang informasi itu hingga kemudian mendapat kepastian pada 2021. Dari informasi yang dihimpun warga, diketahui kalau kompleks perumahan warga yang terdampak sebanyak sekitar 50 keluarga dengan total luas lahan yang harus dibebaskan kurang lebih 4 hektar.
Dikutip dari laman pu.go.id, proyek SPAM merupakan program dari Kementerian PUPR dengan tujuan meningkatkan akses air minum aman bagi masyarakat DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya. PUPR bakal membangun Sistem Penyediaan Air Minum Regional Jatiluhur I (SPAM Jatiluhur) dengan memanfaatkan air baku dari Bendungan Jatiluhur di Provinsi Jawa Barat.
SPAM Regional Jatiluhur I akan menyediakan pasokan air minum sebesar 4.750 liter/detik, yang akan didistribusikan kepada sekitar 380.000 sambungan rumah (SR) atau sekitar 1,9 juta jiwa yang ada di Provinsi DKI Jakarta dan Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang, di Jawa Barat.
Proyek ini diprakarsai Konsorsium PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, dan PT Tirta Gemah Ripah dengan nilai investasi sebesar Rp 1,7 triliun dalam masa kerja sama 30 tahun. Konstruksi pembangunannya direncanakan dimulai Agustus 2021 dengan masa kerja 2,5 tahun atau selesai pada awal 2024.
Kami menolak dan kami pulang. Namun, saat sudah sampai di rumah, kami ditelepon. Bagaimana pun, kalau kami menolak, tetap harus tanda tangan. Jika kami tidak tanda tangan, dianggap setuju.
Warga pun tak keberatan selama nilai ganti rugi atau kompensasi yang diberikan pemerintah layak. Namun, dalam proses pergantian itu, penetapan nilai ganti rugi oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang ditunjuk oleh Direktorat Cipta Karya, Kementerian PUPR, terlampau rendah. Nilai ganti rugi yang ditetapkan hanya sebesar Rp 3,5 juta per meter persegi atau lebih rendah dari nilai jual obyek pajak (NJOP) Jalan Mayor Madmuin Hasibuan, Kompleks Pengairan Bekasi Timur, yakni Rp 3.745.000 per meter persegi.
Penghitungan nilai ganti rugi yang dilakukan KJPP juga dinilai tidak adil karena di kompleks perumahan Edi dan 19 warga setempat, nilai ganti rugi jauh lebih rendah dari warga perumahan lain yang masih berada di wilayah yang sama.
Misalnya, di Jalan Mayor Madmuin Hasibuan Blok H, yang berada di belakang kompleks perumahan Edi, KJPP menetapkan nilai ganti rugi sebesar Rp 8 juta per meter persegi. Nilai itu besarannya empat kali lipat dari NJOP wilayah Blok H.
Drajat Luhur Pambudi (40), warga yang juga terdampak, mengatakan, prosedur penetapan ganti rugi lahan dan bangunan oleh KJPP, Badan Pertanahan Nasional Kota Bekasi, dan pejabat pembuat komitmen (PPK) dinilai janggal. Sebab, pada 17 November 2021, warga yang rumahnya terdampak awalnya diundang untuk bermusyawarah mencari kesepakatan terkait besaran nilai ganti rugi lahan.
Namun, saat tiba di lokasi musyawarah, warga tidak diizinkan untuk bernegosiasi. Di lokasi pertemuan sudah disiapkan bilik-bilik menyerupai bilik pemungutan suara. Di balik bilik tersebut sudah ada petugas yang bakal menyodorkan dokumen yang sudah berisi besaran nilai penetapan ganti rugi lahan.
”Kami menolak dan kami pulang. Namun, saat sudah sampai di rumah, kami ditelepon. Bagaimana pun, kalau kami menolak, tetap harus tanda tangan. Jika kami tidak tanda tangan, dianggap setuju,” ucapnya.
Seusai ditelepon, Drajat bersama 19 keluarga lainnya kembali ke tempat pertemuan itu keesokan harinya. Di sana, sempat ada sosialisasi dari PPK yang menegaskan kalau bakal ada kenaikan nilai ganti rugi. Namun, saat Drajat tiba di bilik, dokumen yang disodorkan petugas masih sama, yakni nilai ganti ruginya tetap Rp 3,5 juta per meter persegi.
”Saya keluar dari bilik dan protes ke PPK. PPK kemudian bertemu dengan petugas di bilik dan mereka bilang ada kenaikan nilai ganti rugi,” kata Drajat.
Adapun dari informasi yang didapatkan oleh warga, salah satu alasan nilai ganti rugi lahan warga rendah karena perumahan warga berada di gang dan tidak bisa dilalui kendaraan. Faktanya, mobil bisa melintasi gang itu. Bahkan, ada sebagian warga yang memiliki garasi mobil di depan rumah.
Tidak profesional
Kuasa hukum warga Kompleks Pengairan Bekasi Timur, Gita Paulina T Purba, dihubungi secara terpisah, mengatakan, warga tidak puas dengan kinerja KJPP karena warga merasa diremehkan. Salah satu contohnya adalah undangan yang baru diberikan satu hari menjelang musyawarah. Padahal, sesuai ketentuan, udangan itu seharusnya sudah disampaikan ke warga tiga hari sebelum rapat musyawarah.
”Warga juga kaget karena saat datang di tempat musyawarah, lembaran KJPP tidak tertera luasan tanah warga. Mereka malah disuruh hitung sendiri,” kata Gita.
Adapun terkait besaran nilai ganti rugi lahan warga, pihak kuasa hukum sudah mengajukan somasi ke KJPP untuk mempertanyakan metodologi penilaian dan beberapa tindakan lain dari KJPP yang dinilai tidak profesional. KJPP kemudian dalam jawabannya secara tertulis menyebutkan kalau penghitungan nilai ganti rugi lahan warga tidak berpatokan pada NJOP.
”NJOP jadi patokan atau tidak pun, dokumen yang pertama diminta adalah NJOP. Jadi, aneh kalau NJOP bukan patokan,” ucap Gita.
Menurut Gita, penentuan nilai ganti rugi lahan yang dilakukan KJPP juga tidak cermat memperhatikan standar penilaian indonesia (SPI). Sebab, pengadaan lahan untuk pembangunan SPAM itu termasuk pengadaan khusus dengan luas lahan di bawah 5 hektar. Artinya, lahan yang dibebaskan itu sangat penting dan vital demi keberlanjutan suatu proyek sehingga warga layak mendapatkan ganti rugi sesuai nilai penggantian wajar (NPW).
Faktor lain yang turut membuat nilai jual tanah warga rendah adalah ada andil dari Pemerintah Kota Bekasi. Sebab, di dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Bekasi 2015-2035, Kompleks Pengairan Bekasi Timur merupakan ruang terbuka hijau.
”KJPP yang dipilih melakukan tindakan tidak profesional. Mereka seharusnya berkordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk memastikan zona yang bakal dibangun SPAM masuk dalam RTH atau tidak. Ini merupakan gambaran karut-marut tata kota yang mengorbankan warga,” kata Gita.
Kepala Kantor Pertanahan Kota Bekasi Andi Bakti ketika dikonfirmasi mengenai polemik pembebasan lahan di Kompleks Pengairan Bekasi Timur belum bersedia menjawab karena masih sibuk. Sementara itu, Mega, salah satu staf Humas Kantor Pertanahan Kota Bekasi, mengatakan, pihaknya belum bisa memberikan pernyataan karena kepala seksi pengadaan saat ini sedang sakit dan masih dirawat di rumah sakit.