Distribusi pos pemadam kebakaran di Jakarta tidak merata. Ada 268 RW di Jakarta yang berada di luar cakupan ideal pos pemadam kebakaran. Waktu tanggap kebakaran bisa semakin lama.
Oleh
M Puteri Rosalina/Albertus Krisna/Satrio Wisanggeni
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menggunakan data sebaran pos pemadam kebakaran dan insiden kebakaran di Jakarta selama 2020-2021, terungkap bahwa distribusi pos pemadam di Ibu Kota Indonesia ini belum merata. Distribusi pos pemadam yang tidak merata meningkatkan durasi waktu tanggap. Semakin lama durasi waktu tanggap, kerugian akibat kebakaran semakin besar.
Persoalan kebakaran di Jakarta semakin kompleks karena banyaknya kantong-kantong permukiman padat yang sulit diakses mobil pemadam, serta sumber air pemadaman yang minim dan ratusan hidran tak berfungsi. Jakarta pun terus terancam kebakaran.
Tim jurnalisme data Kompas mengolah data kejadian kebakaran selama 2020-2021, sebaran pos damkar, lokasi hidran, peta persil bangunan, peta administratif RW, serta jaringan jalan di Jakarta, sungai, selokan, dan pantai.
Menggunakan analisis jaringan jalan (network analysis) di Jakarta, dihitung wilayah mana saja yang berada di luar cakupan layanan pos damkar saat ini. Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No 11 Tahun 2000, setiap bangunan harus dalam jangkauan 2,5 kilometer perjalanan—bukan garis lurus—dari pos pemadam kebakaran terdekat.
Hasilnya, hingga tahun 2021, ditemukan 268 atau 9,6 persen RW di Jakarta yang berada di luar cakupan 2,5 km perjalanan dari pos terdekat. Sejumlah besar RW ini (84 RW) ada di Jakarta Timur.
Kelurahan yang wilayahnya paling sedikit dalam cakupan layanan pos damkar adalah Ujung Menteng, Jakarta Timur. Hanya satu dari 10 RW yang masuk dalam cakupan layanan. Padahal, berdasarkan penilaian Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Jakarta Timur pada 2020, Ujung Menteng wilayah rawan kebakaran.
Persoalan kebakaran di Jakarta semakin kompleks karena banyaknya kantong-kantong permukiman padat yang sulit diakses mobil pemadam, serta sumber air pemadaman yang minim dan ratusan hidran tak berfungsi.
Distribusi pos yang kurang merata terlihat dari disparitas penambahan cakupan layanan dibandingkan dengan penambahan jumlah pos. Selama tujuh tahun terakhir, jumlah pos damkar telah bertambah 62 pos atau naik 65 persen, dari 95 pos pada 2014 menjadi 157 pada 2021. Namun, penambahan jumlah ini tidak signifikan meningkatkan cakupan layanan; hanya bertambah 9,2 persen.
Distribusi pos yang tidak merata dapat memperlama waktu tanggap dan meningkatkan potensi kerugian. Dua tahun terakhir, rata-rata waktu tanggap kejadian kebakaran 2020-2021 adalah 9 menit 37 detik. Angka ini masih memenuhi pedoman waktu tanggap maksimal 15 menit yang ditetapkan Kementerian PUPR.
Durasi waktu tanggap adalah saat pemadam di pos menerima informasi kebakaran sampai mereka memulai pemadaman di lokasi. Jika suatu wilayah berada di luar cakupan 2,5 km dari pos damkar, durasi waktu tanggapnya semakin panjang dan kerugian semakin besar. Lokasi pos yang tidak merata menyebabkan penanganan yang lebih sulit karena harus menunggu bantuan dari pos lain.
Menilik rekam data kebakaran di Jakarta, rata-rata taksiran kerugian kebakaran selama 2020-2021 adalah Rp 211,31 juta. Namun, angka kerugian akan meningkat lebih dari lima kali lipat (Rp 1,09 miliar) untuk insiden kebakaran yang waktu tanggapnya melebihi rata-rata 9 menit 37 detik. Kerugian juga bisa dipengaruhi oleh faktor lain, seperti obyek yang terbakar.
Jumlah warga terdampak
Menggunakan data durasi operasi (lama waktu pemadaman) dan waktu tanggap dibandingkan dengan jumlah masyarakat terdampak, ditemukan korelasi kuat antara durasi operasi dan waktu tanggap yang lama dengan jumlah masyarakat yang terdampak, dengan nilai korelasi 0,66. Angka 1 menunjukkan korelasi paling kuat. Semakin lama waktu tanggap dan durasi operasi, semakin besar warga yang terdampak.
Di Jakarta, ancaman kebakaran juga akan dipengaruhi oleh kepadatan permukiman. Semakin banyak jumlah bangunan dalam satu area tertentu, jumlah insiden juga ikut naik. Sepuluh kelurahan dengan jumlah petak bangunan terbanyak (lebih dari 15.000) mengalami rata-rata sembilan insiden kejadian. Di sisi lain, 10 kelurahan dengan jumlah petak paling sedikit (kurang dari 1.000) hanya mengalami rata-rata dua kejadian.
Menilik rekam data kebakaran di Jakarta, rata-rata taksiran kerugian kebakaran selama 2020-2021 adalah Rp 211,31 juta. Namun, angka kerugian akan meningkat lebih dari lima kali lipat untuk insiden kebakaran yang waktu tanggapnya melebihi rata-rata 9 menit 37 detik.
Penanggulangan kebakaran di wilayah padat Jakarta semakin dipersulit dengan lebar jalan yang sempit. Menggunakan jaringan jalan OpenStreetMap, diketahui setiap kelurahan di Jakarta memiliki rata-rata 18,6 persen jalan yang tergolong sempit dan tidak bisa dilewati truk damkar. Tanpa jalan yang memadai, damkar sulit melayani dengan baik.
Contohnya di Kelurahan Cempaka Putih Barat, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Dari total panjang jalan di Cempaka Putih Barat, 39 persen jalan sempit. Sepanjang 2020-2021, ada 14 kebakaran dengan total kerugian Rp 24 miliar. Padahal, di Kecamatan Cempaka Putih yang memiliki tiga kelurahan terdapat dua pos pemadam.
Sebaliknya, jika jalannya lebar, respons damkar lebih cepat. Contohnya, Pos Sektor Kebayoran Baru yang harus menanggung beban lebih dari tiga kelurahan. Pos ini menjadi pos paling sibuk se-Jakarta. Namun, waktu tangganya tergolong cepat (7 menit) karena lingkungan jalan yang lebar.
Pemadaman kebakaran di Jakarta juga dipersulit minimnya sumber air yang tersedia. Dari data Dinas Gulkarmat DKI Jakarta ditemukan, terdapat 1.213 hidran di seluruh kota Jakarta. Namun, hanya sekitar sepertiga atau 421 hidran yang berfungsi sempurna. Artinya, hidran tersebut memiliki air, kopling untuk pemasangan selang, dan meteran. Bahkan, menurut petugas di lapangan, sungai, selokan, dan empang menjadi pilihan sumber air yang lebih bisa diandalkan.
Kendala lahan
Kepala Dinas Gulkarmat DKI Jakarta Satriadi Gunawan mengakui, pos pemadam kebakaran belum terdistribusi merata. Ketersediaan lahan dan personel untuk mengawaki pos menjadi kendala utama. ”Jumlah SDM kami 4.329 orang. Padahal idealnya, kalau mengejar keberadaan di 267 kelurahan, artinya membutuhkan sekitar 11.000 orang,” kata Satriadi.
Rasio petugas dibandingkan dengan populasi Jakarta juga masih lebih rendah ketimbang sejumlah kota besar dunia lainnya. Dengan rasio 2.962 warga per satu orang petugas damkar, Jakarta masih kalah dibandingkan dengan Kuala Lumpur (1.594:1), Bangkok (1.029:1), New York City (774:1), dan Tokyo (336:1).
Idealnya, setiap kelurahan memiliki satu pos damkar. Menurut Peraturan Daerah DKI Nomor 8 Tahun 2008, di tiap kelurahan dibentuk pos pemadam, sementara di tingkat kecamatan terdapat kantor sektor pemadam kebakaran. Namun, dari 267 kelurahan, hanya 143 kelurahan yang memiliki pos damkar. Sementara dari 44 kecamatan di Jakarta, hanya terdapat 29 kantor sektor pemadam kebakaran.
Kondisi paling buruk dihadapi oleh Jakarta Selatan dan Jakarta Timur karena secara rata-rata setiap pos pemadam harus menanggung sekitar dua kelurahan.
Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Endrawati Fatimah, menyebutkan, dalam pedoman Standar Nasional Indonesia Perencanaan Perumahan dan Perkotaan, setiap kelurahan harus menyediakan lahan 200 meter persegi, sementara kecamatan 1.000 meter persegi untuk pos damkar. Menurut dia, ini bisa dilakukan dengan mewajibkan pengembang besar menyediakan lahan bagi pos damkar.