Kebakaran Klasik di Jakarta
Kebakaran permukiman padat di Jakarta adalah masalah klasik. Dibutuhkan penanganan tepat melalui pencegahan dan tindakan intervensi sebelum api membesar.
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran di permukiman padat Jakarta adalah masalah klasik. Satu-satunya penanganan yang tepat adalah pencegahan dan tindakan intervensi sebelum api membesar.
Sekitar pukul 01.00 dini, 20 September 2020, api mulai menjalar di antara rumah semipermanen dan gudang kayu di permukiman padat Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Lima belas jam kemudian, setelah bara api terakhir bisa dipadamkan, ratusan rumah yang dihuni 160 keluarga telah rata dengan tanah.
Sebulan sebelumnya, kondisi yang mirip juga terjadi di Kelurahan Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Sebanyak 200 orang warga RW 10 harus mengungsi meninggalkan rumah mereka akibat kebakaran.
Dua musibah tersebut adalah contoh klasik kebakaran Jakarta; api melalap dengan cepat permukiman warga yang hanya mampu tinggal dalam rumah semipermanen di permukiman padat dengan jalan sempit.
Mengapa kejadian semacam ini terus berulang hingga disebut klasik? Cukup menilik ulang rekam historis kejadian kebakaran sejak 2020 hingga Oktober 2021, ternyata data menunjukkan kaitan kuat antara permukiman padat dan insiden kebakaran.
Kepadatan bangunan permukiman menjadi faktor utama pemicu bahaya kebakaran. Wilayah padat dengan pola bangunan yang tidak teratur dan kualitas bangunan rendah, akan mempercepat penjalaran api. Di sisi lain, wilayah padat juga menyulitkan upaya pemadaman api.
Baca juga:
- Tidak Mudah Mengatasi Kebakaran di Jakarta
- Sudah Gaji UMR, Risikonya Kehilangan Nyawa
- Sulitnya Menambal ”Blank Spot" Layanan Pemadam Kebakaran di Jakarta
Dari data jumlah kebakaran dengan jumlah bangunan per kelurahan di Jakarta ditemukan fakta bahwa semakin padat permukiman, semakin sering terjadi kebakaran. Dengan nilai korelasi 0,51 atau korelasi sedang, kebakaran di Jakarta lebih sering terjadi di daerah permukiman padat.
Dengan melihat data jumlah petak bangunan yang disediakan proyek opensource OpenStreetMap, jumlah insiden kebakaran pun terlihat semakin banyak bersamaan dengan meningkatnya jumlah bangunan per kelurahan.
Dari sejak saya kecil memang sudah langganan (kebakaran), sudah jadi makanan sehari-hari.
Sepuluh kelurahan dengan jumlah kebakaran terbanyak (rata-rata kejadian) memiliki rata-rata jumlah persil 17.836 bangunan. Di sisi lain, 10 kelurahan paling longgar (rata-rata 687 persil bangunan per kelurahan) rata-rata hanya mengalami dua insiden kebakaran.
Menurut Ketua RT 002 RW 008 Kalibaru Abdul Manan (40), kebakaran sudah biasa terjadi sejak puluhan tahun yang lalu di daerahnya. Selain padat, permukiman tersebut menjadi tempat banyak pengolahan kayu. Ini menjadi faktor khusus penyebab kebakaran di Kalibaru. ”Dari sejak saya kecil memang sudah langganan (kebakaran), sudah jadi makanan sehari-hari,” ujar Abdul.
Susah lihat matahari
Hal yang sama pun disampaikan Ketua RT 005 RW 010 Pademangan Barat Satori. Lebar jalan yang sempit menyulitkan mobil damkar. Padahal, lokasi kebakaran tersebut hanya berjarak 500 meter dari Pos Damkar Pademangan Barat.
Wilayah Satori adalah salah satu permukiman padat di Pademangan Barat. Lebar rumah berkisar 2,5-3 meter. Sebagian besar rumah tingkat, lantai satu dibangun dengan bahan bangunan permanen, sedangkan lantai duanya menggunakan bahan kayu.
Jarak dengan rumah di depannya terpisah oleh jalan setapak selebar 1,5 meter. Kadang atap rumah yang berhadap-hadapan bisa saling bersentuhan. Hal inilah yang membuat api cepat menjalar ke segala penjuru saat terjadi kebakaran.
Kalibaru dan Pademangan Barat menjadi kelurahan paling banyak mengalami kebakaran, nomor tiga paling banyak di seluruh Jakarta, dengan 11 kejadian selama 2020-2021.
Dengan 56 bangunan per hektar untuk Pademangan Barat dan 42 bangunan per hektar untuk Kalibaru, kedua kelurahan juga dapat digolongkan permukiman padat karena kepadatan bangunannya di atas 40 bangunan per hektar.
Dua kepala regu dari pos damkar masing-masing kelurahan sepakat bahwa kondisi permukiman yang rapat dan memiliki jalan sempit adalah kendala utama penanggulangan kebakaran di dua kelurahan tersebut.
”Bangunannya semipermanen dan dempet-dempet tidak ada jeda. Bahkan, yang padat itu sampai susah lihat matahari. Pademangan Barat adalah zona merah kebakaran,” kata Kepala Regu A Pos Damkar Pademangan Barat Agus Subiantoro saat ditemui pada Senin (15/11/2021).
Intervensi awal
Dengan kondisi medan kerja yang seperti ini, Agus menilai bahwa satu-satunya penanganan yang tepat untuk permukiman padat adalah pencegahan dan tindakan intervensi sebelum api membesar.
Hal ini dilakukan dengan mengakrabi warga. Melalui program RW Binaan, petugas damkar membentuk forum komunikasi yang melibatkan aparat RT/RW, karang taruna, petugas penanganan prasarana dan sarana omum (PPSU), dan PKK. Sebulan sekali, petugas akan bersilaturahmi dengan warga binaannya.
Bangunannya semipermanen dan dempet-dempet tidak ada jeda. Bahkan, yang padat itu sampai susah lihat matahari.
Menurut Agus, melalui forum komunikasi, masyarakat diharapkan lebih cepat melaporkan kebakaran melalui grup Whatsapp sehingga api bisa ditangani sebelum membesar.
Selain itu, kedekatan dengan petugas memungkinkan masyarakat lebih teredukasi dan tidak mengganggu proses pemadaman kebakaran. ”Kalau mereka kenal kami, kan, mereka jadi segan. Selain itu, kami juga mendekatkan diri pada masyarakat supaya saat terjadi kebakaran, masyarakat bisa membantu petugas, tidak malah mengganggu,” kata Agus.
Komunikasi yang dekat dengan petugas tidak menutup pentingnya kecepatan warga untuk melapor. Satori mengakui, kejadian kebakaran setahun silam menjadi parah akibat terlambatnya warga melapor.
”Tiba-tiba besar enggak ada yang sadar,” kata Satori.
Menurut Kepala Regu B Pos Damkar Kalibaru Eko Darmaji, pelatihan dan pemberian alat pemadam api ringan (APAR) juga menjadi metode yang tepat untuk mencegah kebakaran di permukiman padat.
Namun, menurut Eko, pengadaan program pengisian ulang APAR warga juga perlu diadakan sebagai tindak lanjut dari pemberian alat pemadam tersebut ke warga. Sebab, warga tidak akan mengisi ulang sendiri tabung APAR jika pernah digunakan atau kedaluwarsa.
”APAR setelah dipakai masyarakat enggak diisi ulang, malah dikasih lagi ke kita. Akhirnya banyak yang terbengkalai,” tambah Eko.
Selain faktor fisik permukiman padat, perilaku masyarakat yang tinggal di wilayah padat juga dinilai masih banyak yang belum mempunyai kesadaran untuk mencegah kebakaran.
Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Endrawati Fatimah, sepakat bahwa di wilayah yang risiko kebakarannya tinggi seperti permukiman padat, upaya yang dapat menurunkan bahaya adalah peningkatan kapasitas masyarakat.
Pedoman Pengkajian Umum Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan, risiko bencana semakin besar jika kerentanan tinggi dan kapasitas manusianya rendah. ”Jika bahayanya besar tetapi kapasitas masyarakatnya tinggi, risikonya akan kecil,” kata Endrawati. (PUT/SPW/XNA)