Warga di Kecamatan Sukamulya, Kabupaten Tangerang, Banten, menjawab persoalan sampah dengan inovasi. Mereka tengah mengembangkan mesin pengolahan sampah plastik berbasis teknologi pirolisis dari peralatan sederhana.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
·4 menit baca
Sa’adudin (42) bersama dua rekannya tengah menguji coba kompor rakitan berbahan bakar oli bekas. Setidaknya lima kali mereka menyalakan, menaik-turunkan tekanan, lalu mematikan kompor yang tersusun dari pipa besi, satu tungku, dan botol dengan selang seperti infus.
”Cairan oli bekas harus menetes. Kalau mengalir, kompornya tidak bisa menyala. Satu botol 500 mililiter ini bisa untuk pembakaran empat jam nonstop,” ujar warga Kampung Ceplak, Desa Kaliasin, Kecamatan Sukamulya, Kabupaten Tangerang, Banten, itu sambil membetulkan kain ikat kepalanya, Senin (8/11/2021).
Siang itu, bertempat di Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna (Posyantek) Kembang Padi Kecamatan Sukamulya, mereka tengah mengutak-atik mesin pengolahan sampah plastik berbasis teknologi pirolisis. Teknologi yang mendekomposisi sampah plastik pada suhu tinggi tanpa adanya udara atau dengan udara terbatas sehingga menghasilkan produk padat (arang dan pupuk karbon), gas, serta bahan bakar minyak.
Mula-mula warga setempat mengumpulkan berbagai jenis sampah plastik dari lingkungannya. Paling banyak kantong keresek dan botol atau gelas plastik. Sampah-sampah itu kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaktor yang terbuat dari dandang dengan daya tampung maskimal 5 kilogram (kg).
Sa’adudin lalu menyalakan kompor rakitan berbahan bakar oli bekas. Nyala api membuat jarum termometer mekanik yang terpasang di dandang menyentuh angka 200-400 derajat celsius.
Panas dari pembakaran menghasilkan uap yang masuk ke empat pipa kondensor berbahan alumunium. Tiga pipa terhubung ke tiga tabung kondensor dari kaleng bekas biskuit dengan tulisan sejenis solar, sejenis minyak tanah, dan sejenis bensin. Sementara satu pipa lainnya terhubung ke ban dalam bekas yang menampung gas hasil pembakaran sekaligus pemanas tabung reaktor.
”Penggunaan mesin ini masih skala rumahan. Minimal butuh 1 kg sampah plastik untuk operasional. Maksimal bisa bakar 5 kg sampah plastik selama 8 jam,” tuturnya.
Kami upayakan bisa produksi lima, lalu tawarkan ke desa-desa. Siapa tahu ada pengembang yang tertarik kerja sama dengan badan usaha desa.
Pembakaran 1 kg sampah plastik mampu menghasilkan 300 mililiter hingga 800 mililiter bahan bakar dan arang atau pupuk karbon dari sisa pembakaran. Sampah keresek biasanya menghasilkan sejenis solar berwarna nyaris hitam pekat dengan arang sisa pembakaran, sedangkan gelas plastik menghasilkan sejenis bensin berwarna lebih cerah dengan pupuk karbon sisa pembakaran.
Guru TIK di Madrasah Aliyah Negeri 4 Kabupaten Tangerang itu juga memasang 10 peltier untuk menghasilkan listrik dari panas tabung reaktor. Tegangannya mencapai 220 volt, cukup untuk mengecas gawai, dispenser, dan peralatan listrik seperti mesir bor.
Dari sisi keamanan, mesin tersebut merangkul internet of things berbasis Android. Fungsinya memantau suhu tabung reaktor, kebocoran gas, asap, dan api dari genggaman tangan.
Masalah sampah
Kecamatan Sukamulya terdiri dari Desa Sukamulya, Desa Benda, Desa Bunar, Desa Kubang, Desa Kaliasin, Desa Parahu, Desa Merak, dan Desa Buniayu. Jumlah penduduknya mencapai 69.000 jiwa yang terdiri dari petani, pegawai atau karyawan, dan pedagang.
Dalam sehari mereka menghasilkan berbagai jenis sampah sebanyak 10-15 ton. Dari jumlah itu yang terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir Jatiwaringin sebanyak 9-10 ton. Sisanya berserakan di lahan kosong dekat saluran irigasi atau permukiman warga karena ketiadaan tempat pembuangan lain atau tempat pengelolaan sampah reuse, reduce, dan recycle (TPSR3).
”Sampah belum tertangani maksimal karena keterbatasan armada. Baru ada 14 armada untuk empat kecamatan di wilayah I,” kata Siti Khotimah, Kepala Sub-Bagian Tata Usaha UPTD Pengelolaan Sampah Wilayah I Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Tangerang.
Pengembangan mesin pengolahan sampah plastik berbasis teknologi pirolisis diharapkan bisa menjawab persoalan tersebut. Setidaknya mampu mengurangi volume sampah yang tak terangkut.
Sejak uji coba awal tahun ini, baru warga Desa Kaliasin dan Desa Benda yang menjajal mesin tersebut. Mereka terlebih dulu mengumpulkan sampah ke bank sampah desa. Dari situ sampah plastik dibawa ke posyantek untuk diolah.
”Hasilnya dibagi dua dari harga sampah yang desa beli sebesar Rp 2.000 per kilogram dan untuk kompor pengganti minyak tanah,” ucap Tosim, Ketua Posyantek Kembang Padi, Kecamatan Sukamulya.
Pemanfaatannya masih skala lokal karena minim biaya pengembangan. Alhasil, posyantek belum bisa memenuhi pesanan mesin untuk Desa Kaliasin dan Desa Benda.
Tosim berharap ada bantuan dari pemerintah kabupaten, kecamatan, atau investor untuk pengembangan mesin pengolahan sampah plastik berbasis teknologi pirolisis. ”Kami coba lobi ke anggota Dewan, wakil dan bupati. Mudah-mudahan ada investor sehingga bisa diproduksi ke masyarakat,” lanjutnya.
Camat Sukamulya Yatty Nurul Hayat masih mengupayakan bantuan untuk pengembangan mesin itu. Setidaknya bisa untuk desa-desa se-Sukamulya terlebih dahulu. ”Kami upayakan bisa produksi lima, lalu tawarkan ke desa-desa. Siapa tahu ada pengembang yang tertarik kerja sama dengan badan usaha desa,” katanya.
Ia juga berharap ada perhatian ataupun dukungan lebih dari dinas terkait sehingga mesin tersebut bisa dikembangkan untuk uji kelayakan agar punya hak kekayaan intelektual.
Warga Sukamulya tak muluk-muluk. Mereka ingin mesin pengolahan sampah plastik berbasis teknologi pirolisis bisa berdaya guna maksimal bagi desa sendiri atau percontohan bagi wilayah lain yang punya masalah persampahan.