Sampahku, Tanggung Jawabku
Pertumbuhan penduduk dari 2021 sampai 2023 setidaknya naik 1 persen, jumlah timbunan sampah pun meningkat. Setiap 1 jiwa penduduk menghasilkan sampah sekitar 0,5 kilogram per hari.
Pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan hunian di wilayah peyangga Jakarta seperti Kabupaten Bogor, Jawa Barat, akan berdampak masif pada produksi sampah. Tempat pemprosesan akhir sampah pun terancam penuh bahkan tidak akan mampu menampung sampah yang dihasilkan warga jika tidak ada kesadaraan dan keseriusan bersama menanggulangi masalah sampah yang kian hari semakin mengkhawatirkan.
”Semakin tinggi tingkat populasi dan pengembangan hunian semakin tinggi pula produksi sampah. TPA terancam tidak bisa lagi menampung jika tidak ada tata kelola sampah yang baik dari hulu. Ini tidak saja menjadi ancaman lokal, tetapi global, akan berdampak luas efek sampah ini,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, Asnan dalam webinar dengan tema ”Pentingnya Responsible Waste Management” di Kawasan Perumahan, Kamis (5/11/2021).
Baca Juga: Sampah Bukan untuk Dibuang
Asnan menjelaskan, berdasarkan data, jumlah timbunan sampah di Kabupaten Bogor yang dihasilkan dari jumlah penduduk sekitar rata-rata 5,5 juta jiwa cukup tinggi. Pada 2018, timbunan sampah mencapai sekitar 2.920 ton per hari. Pada 2019 timbunan sampah mencapai 2.983 ton per hari. Pada 2020 jumlah timbunan sampah turun karena pandemi Covid-19 sekitar 2.713 ton per hari. Adapun pada 2021 timbunan sampah sebanyak 2.741 ton per hari, sampah ini tidak hanya dari rumah tangga tetapi juga dari sampah medis seperti masker.
Tidak jauh berbeda dari data itu, DLH Kabupaten Bogor memprediksi, jika laju pertumbuhan penduduk dari 2021 sampai 2023 setidaknya naik 1 persen, jumlah timbunan sampah juga akan meningkat. Sebanyak 1 jiwa penduduk menghasilkan sampah sekitar 0,5 kilogram per hari.
Dari jumlah timbunan sampah per hari mencapai rata-rata 2.741 ton itu, lanjut Asnan, baru 41 persen sampah yang tertangani. Sementara sampah yang dikurangi baru mencapai 11 persen, dan sampah tidak tertangani dan mencemari lingkungan mencapai berkisar 400-500 ton.
Menurut dia, masih banyak sampah yang tidak tertangani karena perilaku memilah sampah belum diterapkan oleh setiap individu, sementara timbulan sampah terus bertambah dan kapasitas TPA semakin terbatas. Kabupaten Bogor saat ini hanya menyalurkan sampah ke satu TPA, yaitu TPAS Galuga. Hal ini tentu menjadi tantangan semua pihak dan membutuhkan kolaborasi untuk menangani permasalahan sampah.
Head of Operational Services Waste4Change Martin Manorek menuturkan, pola lama dalam pengelolaan sampah seperti kumpul, angkut, dan buang, harus ditinggalkan karena itu tidak menyelesaikan masalah terutama di hilir.
”Pola lama itu hanya memindahkan masalah dan menciptakan masalah baru. Sampahku adalah tanggung jawabku. Pola itu harus dilakukan sekarang dengan memulai memilah sampah pribadi atau dari rumah tangga. Sistem pengelolaan sampah di hulu ini harus secara holistik,” lanjutnya.
Jika perilaku atau pola baru itu tidak diterapkan, sampah akan menjadi bencana. Peristiwa di TPA Leuwigajah, Cimahi, Kabupaten Bandung, pada 21 Februari 2005 bisa kembali terulang di TPA-TPA di Indonesia atau di Kabupaten Bogor jika manajemen pengelolaan sampah tidak tertangani dengan baik dari hulunya.
Dari peristiwa ledakan di kawasan TPA Leuwigajah itu, menyebabkan Longsor sampah yang langsung menyapu dua permukiman, yaitu Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Dua permukiman yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari TPA Leuwigajah langsung luluh lantak tertimbun sampah dan menyebabkan ratusan jiwa meninggal.
Gunungan sampah sepanjang 200 meter dan setinggi 60 meter itu diduga goyah karena diguyur hujan deras intensitas tinggi sepanjang hari. Selain itu, konsentrasi gas metan dari dalam tumpukan sampah diduga memicu ledakan.
Tanpa pengelola sampah yang baik, sampah ini akan kami buang 100 persen ke TPA. Ini bukan langkah tepat untuk pembangunan keberlanjutan untuk generasi selanjutnya yang akan terdampak jika tidak ada pengelolaan yang baik.
Dalam survei Badan Pusat Statistik 2014 terkait perilaku masyarakat terhadap pengelolaan sampah, kata Martin, 81 persen tidak memilah sampah, 10 persen memilah dan dicampur kembali, 9 persen memilah dan mendaur ulang, dan 72 persen tidak peduli dengan permasalahan sampah.
Menurut dia, perilaku buruk masyarakat itu menjadi ancaman serius kerusakan lingkungan, tidak hanya terkait semakin penuhnya sampah di TPA sehingga bisa menimbulkan risiko besar bencana, tetapi juga menyebabkan air tanah, sungai, dan laut tercemar sehingga menyebkan penyakit bagi masyarakat. Selain itu, perilaku membuang sampah menyebakan potensi banjir lebih besar.
Asnan melanjutkan, saat ini Kabupaten Bogor memiliki tujuh unit pelaksana teknis (UPT) pengelolaan sampah. UPT pengelolaan sampah tugasnya hanya mengangkut sampah dengan kapasitas berkisar 500-600 ton sampah per hari ke TPAS Galuga.
Jumlah sampah yang besar itu, kata Asnan, setidaknya membutuhkan 5 TPA karena TPAS Galuga tidak lagi mampu menampung sampah. Begitu pula alat berat dan armada pengangkut sampah tidak memadai. Dari kebutuhan sekitar 670 alat berat, saat ini jumlah alat berat hanya 549 alat berat. Begitu pula armada pengangkut sampah hanya 231 unit, sedangkan kebutuhan mencapai 783 armada. Ini belum termasuk sumber daya manusia yang juga kurang.
Asnan menjelaskan, sampah berasal dari aktivitas penduduk Kabupaten Bogor yang sangat besar jumlahnya itu berpotensi sebagai sumber gas metana. Gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan efek rumah kaca, sebagai penyebab terjadinya pemanasan global.
”Bahkan, sampah kategori organik yang dibuang di TPA akan terdekomposisi secara anaerob sehingga menghasilkan gas metana. Menurut Indeks Potensi Pemanasan Global, efeknya 21 kali lebih beracun dibandingkan dengan gas karbon dioksida. Oleh karena itu, masalah sampah ini akan berdampak luas. Sampah ini permasalah global,” tuturnya.
Terkait penanganan sampah, sudah ada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pengelola sampah. Perda ini tidak hanya mengatur upaya pengurangan sampah tetapi juga penanganan sampah melalui reduce, reuse, recyle (3R). Dalam Pasal 14, kawasan permukiman, komersial, industri, fasilitas umum dan sosial, dan lainnya wajib turut dalam upaya penanganan dan pengelolaan sampah.
Asnan melanjutkan, pihaknya akan mempertegas aturan kepada pengembang atau perusahaan perumahan yang berdiri di wilayah Kabupaten Bogor untuk ikut serta dalam pengelolaan sampah mandiri di kawasan perumahannya. Setiap perumahan harus memiliki pengelolaan sampah atau wajib menyediakan TPS. Ini menjadi salah satu syarat pengembang jika ingin mendirikan perumahan.
Tidak hanya itu saja, melalui dana desa Pemda Bogor juga akan mendorong setiap desa bisa mengelola sampah sendiri sebelum kemudian diangkut ke TPAS Galuga. Pengelolaan sampah di perumahan bisa menggunakan lahan dari fasilitas sosial atau umum untuk membuat TPS 3R. Jika tidak ada lahan bisa menggunakan bank sampah untuk pengelolaan sampah organik skala rumah tangga atau individu. Beberapa desa sudah melakukan ini seperti di Ciawi, Sentul, dan Cibinong.
”Kami tahun depan dalam perencanaan peraturan bupati tentang pengelolaan sampah di kawasan perumahan juga. Bank sampah ini menjadi salah satu strategi dalam pengelolaan sampah. Saat ini sudah ada 540 bank sampah. Kami juga mengelar OTT atau operasi bersih karena masih banyak ditemukan warga yang membuang sampah sembarangan. Strategi lainnya penggunaan TPS Nambo,” kata Asnan.
Namun, lanjutnya, berbagai strategi dan upaya dari pemerintah saja tidak akan cukup bahkan tidak bisa langsung mengatasi masalah sampah yang sudah menjadi masalah global. Langkah itu perlu diperkuat oleh kesadaran warga serta kolaborasi semua pihak termasuk swasta. Perilaku hidup bersih dan sehat di masa pandemi harus menjadi kebiasaan baru.
”Dari hal terkecil saja dari kita sendiri. Tidak menyisahkan jajanan atau makan, bawa botol minum sendiri, tidak menggunakan plastik dan bawa tas belanja sendiri, serta perilaku sehat lainnya yang menyelamatkan keluarga dan lingkungan kita,” katanya.
Kolaborasi bersama
Salah satu perumahan yang saat ini ikut berkontribusi dalam mengelola sampah yaitu perumahan Telaga Kahuripan. CEO Telaga Kahuripan, Yulham Ferdiansyah Roestam menuturkan, tren hunian ke depan harus memiliki model dalam pengelolaan sampah karena berdasarkan Perda Nomor 2/2014, pengembang hunian wajib menyertakan site plan pengelolaan sampah. Jika tidak dilakukan pemda tidak akan memberikan izin pembangunan.
Meski begitu, kata Ferdi, ini tidak hanya terkait perda. Pengembang perumahan memang sudah seharusnya menghadirkan pembangunan keberlanjutan dan berkontribusi membantu pemerintah dalam pengelolaan sampah.
”Di Telaga Kahuripan ada 1.100 kepala keluarga (KK). Kami mau menjadi pengembang properti dan hunian yang berkelanjutan dengan keseimbangan ekologi dan tata kelola kawasan yang berketahanan. Tren ke depan hunian harus memiliki model untuk pengelolaan sampah juga. Kami mau meningkatkan nilai yang membeli hunian agar warga hidup bersama alam dan membantu menjaga kebersihan seperti pengelolaan sampah,” ujar Ferdi.
Ferdi menjelaskan tidak hanya bekerjasama dengan Pemda Bogor, pihaknya juga bermitra dengan Waste for Change (w4c) untuk mengelola sampah warga di Telaga Kahuripan. Dari kerja sama itu, tidak hanya berhasil mendata sampah harian warga, tetapi juga dalam hal pemilahan sampah hingga upaya residu sampah 30 persen.
Warga Telaga Kahuripan setiap hari bisa memproduksi sampah 1-2 liter. Dengan jumlah hunian sebanyak 1.100 sampah yang diproduksi mencapai rata-rata sekitar 4.400 liter per hari atau sekitar 1.606.000 liter timbulan sampah per tahun.
”Tanpa pengelola sampah yang baik, sampah ini akan kami buang 100 persen ke TPA. Ini bukan langkah tepat untuk pembangunan keberlanjutan untuk generasi selanjutnya yang akan terdampak jika tidak ada pengelolaan yang baik. Seperti tidak ada tanggung jawab jika semua sampah itu langsung dibuang. Jadi, kami mencoba merubah itu,” lanjutnya.
Ferdi mengaku awalnya menjalankan program pengelolaan sampah tidak mudah. Apalagi mereka tidak memiliki kompetensi dalam mengurus masalah sampah. Banyak penghuni yang keberatan dengan metode iuran sesuai kesepakatan bahkan ada sejumlah penghuni menumpuk sampah di depan rumah sehingga menimbulkan bau tak sedap serta menganggu tetangga lainnya.
Bersama w4c, lanjut Ferdi, dalam perjalanan perlahan mampu merubah pola dan prilaku warga untuk mengelola sampah dan kepedulian terkait sampah mulai meningkat. Selain itu sanksi sosial ternyata turut membantu program penanganan sampah, warga yang awalnya tidak mau iuran akhirnya ikut serta karena merasa tidak nyaman menimbulkan gangguan ke penghuni lainnya.
”Kerja sama kami dengan w4c terkait pemilahan sampah hingga membangun revitalisasi TPS. Kami memiliki TPS sendiri selama 15 tahun akhirnya mulai terkelola dengan baik oleh w4c. 30 persen residu dari TPS itu bisa dikirim ke TPA. Ini tentu kami ingin membantu dan berkontribusi kepada Pemda Bogor dalam mengatasi sampah. Ini bisa dilakukan perumahan lain dengan kerja sama dengan dukungan pemda dan w4c,” katanya.
Dalam operasionalnya, lanjut Martin, tanggung jawab manajemen pengelolaan sampah yang diterapkan di kawasan perumahan oleh w4c mencakup edukasi, pendampingan, dan pemilahan dari sumber. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan sampah secara terpilah dan dibawa ke fasilitas rumah pemulihan material untuk dipilah kembali secara lebih detail dan dikelola menjadi material-material daur ulang.
Baca Juga: Kolaborasi Perkuat Pengelolaan Sampah
Selanjutnya, material-material tersebut didistribusikan ke mitra daur ulang. Terakhir, membuat laporan perjalanan sampah. Pelaporan ini dinilai penting untuk mengetahui berapa jumlah timbulan sampah, berapa yang terkelola, dan berapa sampah yang bisa dikurangi.
”Hal ini sebagai upaya penerapan prinsip-prinsip 3R yang dimulai dari pengurangan sampah,” kata Martin.
Ia melanjutkan, selain menerapkan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab secara menyeluruh, w4c memastikan petugas pengangkut dan pengelola sampah bekerja secara layak. Pihak wfc membekali para petugas dengan seragam dan alat pelindung diri untuk memastikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja mereka.