Serangan Epilepsi Sopir Picu Kecelakaan Bus Transjakarta
Pengemudi bus kehilangan kesadaran ketika mendekati titik tabrak di Halte Cawang Ciliwung.
Oleh
Gesit Ariyanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serangan epilepsi sopir bus Transjakarta, J, menjadi dugaan terkuat penyebab bus tabrak belakang yang menewaskan sopir dan satu penumpang, serta melukai 31penumpang lain. Polisi merekomendasikan PT Transportasi Jakarta atau Transjakarta mengevaluasi syarat keterangan sehat dan pengecekan kesehatan rutin pengemudi.
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Rabu (3/11/2021), mengumumkan hasil penyelidikan kecelakaan dua pekan lalu di Jalan Letjen MT Haryono, Jakarta Timur, yang melibatkan dua bus milik operator Bianglala Metropolitan. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo mengatakan, penyebab kecelakaan diduga kuat faktor manusia.
”Pengemudi bus kehilangan kesadaran ketika mendekati titik tabrak di Halte Cawang Ciliwung. Kehilangan kesadaran diduga akibat serangan epilepsi tiba-tiba karena yang bersangkutan tidak minum obat saraf, yang ditunjukkan dengan tidak adanya obat saraf pada urin dan darah J. Alih-alih melakukan pengereman, malah menambah kecepatan,” ujarnya.
Kesimpulan ini didapat setelah penyelidikan dengan berbagai pemeriksaan saksi, lokasi kejadian, hingga kendaraan. Sebanyak 17 saksi dimintai keterangan, antara lain dari penumpang di saat kejadian, manajemen operator dan Transjakarta, teman J, dan saksi ahli seperti teknisi dan dokter forensik.
Pemeriksaan lokasi kejadian juga dilakukan menggunakan metode Traffic Accident Analysis (TAA) untuk mendapatkan gambaran visual yang bisa membantu mengungkap kecelakaan. Analisis ini juga diperkuat rekaman CCTV yang berada di sekitar lokasi kejadian.
Dua bus yang terlibat tabrakan juga dicek untuk mengetahui ada tidaknya faktor kesalahan teknis kendaraan. Namun, pengecekan menunjukkan kondisi pengereman normal, ban masih baru, sistem kemudi normal, uji kendaraan masih berlaku, dan bus dinyatakan layak jalan.
Sementara dari keterangan saksi teman satu mes J di Ciputat diketahui J pernah mengaku mengidap penyakit saraf dan harus minum obat khusus setiap hari. Ini diperkuat temuan obat kejang fenitoin. Akan tetapi, kandungan obat itu tidak ditemukan dalam tubuh J yang telah meninggal sehingga dipastikan J tidak minum obat sebelum kecelakaan.
Epilepsi yang menyerang sopir 45 tahun karena tidak mengonsumsi obat fenitoin itu diduga membuatnya hilang kendali saat seharusnya mengerem bus. Bus yang dibawanya justru melaju dengan kecepatan 55,4 kilometer (km) per jam, melampaui batas kecepatan bus 50 km per jam di busway.
Dari situ, bus bernomor polisi B 7477 TK itu mendorong bus di depannya hingga maju 25,6 meter. Bus di depannya yang tengah menurunkan penumpang terdorong sampai 17 meter. Akibatnya, bodi depan bus penabrak dan belakang bus yang ditabrak rusak. Sopir J dan satu penumpang busnya meninggal di tempat. Sebanyak 5 penumpang juga alami cedera berat, dan 26 lainnya cedera ringan.
”Kepada yang bersangkutan kami persangkakan dengan Pasal 310 Ayat 4 Undang-Undang Lalu Lintas terkait kelalaian, dengan ancaman penjara 6 tahun dan denda Rp 12 juta. Namun, karena pengemudi telah meninggal, kasus ini dihentikan dengan SP3,” kata Sambodo.
Pengecekan kesehatan
Terkait hasil tersebut, Polda Metro Jaya merekomendasikan empat hal kepada manajemen PT Transjakarta dan operator bus yang bekerja sama. Pertama, meminta adanya pengecekan kesehatan rutin pada pengemudi yang dibantu dengan tenaga medis. ”Yang kami temukan, pengecekan kesehatan yang dicatat di dokumen laporan diisi sendiri oleh pengemudi, bukan dengan tenaga medis,” ujar Sambodo.
Kedua, pengecekan riwayat kesehatan pada saat perekrutan pengemudi harus lengkap dan teliti, bukan dengan surat keterangan sehat dari dokter atau fasilitas kesehatan seperti puskesmas. Ketiga, menyarankan pemeriksaan kesehatan lengkap berkala 6 bulan sekali.
”Keempat, perlu adanya sistem pembatasan kecepatan ketika bus melebihi batas kecepatan. Jangan hanya di ruang kontrol, tetapi di bus juga, apa dengan sinyal lampu, atau bunyi sehingga nyala penumpang bisa mengingatkan pengemudi,” pungkasnya.
Menanggapi rekomendasi tersebut, Direktur Operasi PT Transjakarta Prasetia Budi berjanji akan melakukan upaya perbaikan seperti rekomendasi yang diberikan. Upaya ini juga akan dikomunikasikan dengan operator-operator yang bekerjasama dan mempekerjakan pengemudi.
”Di setiap pool operator yang bekerja sama dengan kami ada apel pagi. Dari kegiatan itu bisa dilihat apa pengemudi layak jalan atau tidak. Ke depannya, kami akan tingkatkan pengecekan kesehatan dengan sediakan alat tensi, oksimeter, dan sebagainya sebagai suatu standar,” tutur Prasetia.
Peningkatan pemantauan status kesehatan juga akan dilakukan di awal pengemudi bergabung. Selama ini, manajemen PT Transjakarta hanya mengecek syarat hasil tes kesehatan secara administratif.
”Nanti akan kami tingkatkan lagi. Tapi, pada dasarnya, pengemudi yang bergabung tidak boleh memiliki riwayat penyakit berat. Memang kalau tanya dokter penyakit seperti epilepsi susah dideteksi karena terkait kelistrikan di otak. Jadi, ini juga butuh keterbukaan dari yang pengemudi,” lanjutnya.